Minggu, 20 Mei 2012

MENCAPAI INDONESIA MERDEKA OLEH BUNG KARNO (9)


Diseberangnya Jembatan Emas
Ya, kaum reformis boleh terus mengejek dan menggerutu, sebagai kaum reformis India dan menggerutu, tapi kemudian kedinginan didalam kabut-pengelamunannya, tatkala Jawaharlal Nehru didalam National conggres yang ke 44 menjatuhkan vonis maha-berat diatas pundak mereka dengan kata-kata : “Saya seorang nasionalis. Tetapi saya juga seorang sosialis dan republikein. Saya tidak percaya pada raja-raja dan ratu-ratu, tidak pun pada susunan masyarakat yang mengadakan raja-raja-industri yang berkuasa lebih lebih besar lagi dari raja-raja dizaman sediakala !…Saya seorang nasionalis, tetapi nasinalisme saya adalah nasionalisme radikal daripada simelarat dan silapar, yang bersumpah membongkar susunan masyarakat yang menolak padanya sesuap nasi !” Memang tiap-tiap orang, didalam abad keduapuluh ini masih berani bernasionalisme ngelamun-ngelamunan dan takut akan nasionalisme-radikalisme yang mentah-mentahan, akhirnya akan kedinginan tertinggal oleh hangatnya proses natuurnya abad keduapuluh bukanlah pengelamunan yang manis sebagai dizaman wayang-wayangan,–natuurnya abad keduapuluh adalah rebutan hidup yang mentah-mentahan. Memang Marhaen bergerak,–begitulah diatas telah saya kemukakan–, tidak karena “ideal-idealan”, tidak karena “cita-citaan”, Marhaen bergerak ialah tak lain tak bukan buat mencari hidup dan mendirikan hidup. Hidup kerezekian, hidup kesosialan, hidup kepolitikan, hidup kekulturan, hidup keagamaan,–pendek-kata hidup kemanusiaan yang leluasa dan sempurna, hidup-kemanusiaan yang secara manusia dan selayak manusia.
Adakah Indonesia-Merdeka bagi Marhaen menentukan hidup-kemanusiaan yang demikian itu ? Indonesia-Merdeka sebagai saya katakan diatas adalah menjanjikan tetapi belum pasti menentukan bagi Marhaen hidup kemanusiaan yang demikian itu. Perjanjian itu barulah menjadi ketentuan, kalau Marhaen mulai sekarang sudah awas dan waspada, sedar dan prayitna, menjaga, menjaga pergerakannya dan menjaring-jaring maksud-maksud pergerakannya itu jangan sampai kemasukan zat-zat yang sebenarnya racun bagi Marhaen dan merusak pada Marhaen. Perjanjian itu barulah menjadi ketentuan, kalau Marhaen sedari sekarang sudah insyaf-seinsyafnya bahwa Indonesia-Marhaen hanyalah suatu jembatan,—sekalipun jembatan emas ! —yang harus dilalui dengan segala keawasan dan keprihatinan, jangan sampai diatas jembatan itu Kereta-Kemenangan dikusiri oleh orang lain selainnya Marhaen. Sekarang jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke Dunia Keselamatan Marhaen, satu kedunia kesengsaraan Marhaen; satu kedunia sama-rata-sama-rasa, satu kedunia sama-ratap-sama-tangis. Jikalah Marhaen, bilamana Kereta itu masuk keatas jalan yang kedua, menuju kealamnya modal Indonesia dan keborjuisan Indonesia ! Oleh karena itu, Marhaen, awaslah awas ! Jagalah yang Kereta Kemenangan nanti tetap didalam kendalian kamu, jagalah yang politieke macht nanti jatuh didalam tangan kamu, didalam tangan besi kamu, tangan baja kamu !
Kamu sekarang mendengar dari kanan-kiri semboyan kerakyatan. Kaum radikal bersemboyan kerakyatan, kaum reformis bersemboyan kerakyatan, kaum banji bersemboyan kerakyatan, ya kaum borjuis dan ningrat pun bersemboyan kerakyatan. Kamu sering mendengar semboyan demokrasi, apakah satu-satunya demokrasi yang bagi Marhaen dan dari Marhaen ? Apakah satu-satunya demokrasi yang oleh partai-pelopor harus dituliskan dengan aksara-aksara api diatas benderanya, sehingga terang bisa terbaca disaat terang, dan lebih terang lagi disaat rintang-rintangan yang gelap gulita ? Didalam revolusi Perancis-pun orang berteriak-teriak demokrasi, berpekik dan bersemboyan demokrasi, bergembar-gembor dan bersumpah demokrasi, tetapi adakah Marhaen Perancis yang ikut-ikut berteriak demokrasi dan membeli dengan darahnya kedatangan demokrasi itu, akhirnya mendapat demokrasi yang sebenar-benarnya,—tidakkah Marhaen Perancis itu sendiri ditelan habis-habisan oleh demokrasi itu yang sampai saban-saban menghantam anak-cucunya dan menelan turun-turunannya !
Ya, marilah kita ingat akan pelajaran revolusi Perancis itu. Marilah ingat akan bagaimana kadang-kadang palsunya semboyan demokrasi, yang tidak menolong Rakyat-jelata bahkan sebaliknya mengorbankan Rakyat-jelata, membinasakan Rakyat-jelata sebagaimana telah terjadi didalam revolusi Perancis itu. Marilah kita awas, jangan sampai Rakyat-jelata Indonesia tertipu oleh semboyan “demokrasi” sebagai Rakyat-jelata Perancis itu, yang akhirnya ternyata hanya diperkuda belaka oleh kaum borjuis yang bergembar-gembor “demokrasi”, —kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan—, tetapi sebenarnya hanya mencari kekuasaan sendiri, keenakan sendiri, keuntungan sendiri ! Riwayatnya penipuan Perancis ini ?
Saya seorang nasionalis, tetapi nasionalisme saya adalah nasionalisme radikal daripada simelarat dan silapar, yang bersumpah membongkar susunan masyarakat yang menolak padanya sesuap nasi! (Soekarno)
Sebelum silamnya abad kedelapanbelas, maka negeri Perancis adalah negeri yang feodal dengan cara-pemerintahan otokrasi : Kekuasaan pemerintahan adalah didalam tangannya seorang-orang raja, yang tiap perkataannya menjadi wet, tiap pendapatnya menjadi hukum, tiap titahnya menjadi nasib seluruh negeri. Ia memandang dirinya sebagai wakil Allah didunia, memandang kekuasaan sebagai gantinya kekuasaan Allah dimuka bumi, ia berkata bahwa sebenarnya “staat” tidak ada, —staat adalah dia sendiri. Dan kekuasaan seorang-diri ini, yang Rakyat-jelata samasekali tidak mendapat bagian seujung kukupan juga, kekuasaan ini ia bentengi dengan kesetiaannya kaum ningrat dan kaum penghulu-agama, ia dibentengi dengan ketuhanannya kaum adel dan kaum geetelijkheid. Teguh maha-teguhlah tampaknya feodalisme ini ditengah-tengah lautan masyarakat Eropa, berdiri seakan-akan batu-karang ditengah lautan itu lebih dari sepuluh abad lamanya, sampai…..sampai pada waktu silamnya abad kedelapanbelas lautan itu sekonyong-konyong bergelombang-gelombangan dan berarusan-arusanm bergelombang membanting diatas karang itu dan memecah segala bagian-bagian dari karang itu.
Apakah yang telah terjadi ? Dari dalamnya dasar-dasarnya lautan masyarakat feodal itu lambat-laun timbullah satu golongan-manusia baru, satu kelas baru, satu elemen baru yang penghidupannya ialah dari mengusahakan tenaga orang lain: kelas baru atau elemen baru daripada kaum borjuis. Mereka punya perusahaan, mereka punya perniagaan, mereka punya pertukangan, mereka punya arti-ekonomi mulai timbul. Tetapi tidak bisa subur perusahaan dan perniagaan ini dan pertukangan ini, selama cara pemerintahan masih cara feodal, selama semua kekuasaan-pemerintahan masih digenggam si-otokrat raja, —selam bukan kaum borjuis sendiri yang mengemudi perahu pemerintahan. Sebab merekalah, hanya merekalah, dan bukan kelas lain, —bukan kelas ningrat, bukan kelas penghulu-agama, bukan pun raja sendiri—, hanyalah merekalah, yang lebih tahu mana hukum-hukum, mana atura-aturan, mana cara-pemerintahan yang paling baik buat suburnya mereka punya perusahaan dan mereka punya perniagaan. Oleh karena itu mereka lalu bersedia-sedia merebut kekuasaan-pemerintahan dari tangan raja, menggugurkan stelsel feodalisme yang menghalang-halangi suburnya mereka punya perusahaan dan perniagaan itu dari singasananya yang ia duduki lebih dari sepuluh abad itu !
Tetapi, ah, kaum borjuis tidak mempunyai kekuatan. Kaum borjuis tidak mempunyai cukup kekuatan untuk menghancurkan sitinggilnya otokrasi yang dibentengi dengan kekuasaannya kaum ningrat dan kaum penghulu-agama itu. Ha, jatulah mereka punya mata pada Rakyat-jelata yang jutaan-jutaan itu. Sejak puluhan tahun kaum borjuis itu memang saban-saban mendengar guruh pelan-pelan yang keluar dari kalangan Rakyat-jelata itu, gemertaknya gigi Rakyat-jelata yang marah karena nasib yang kelewat sengsara. Memang dizaman feodalisme itu Rakyat-jelata ditindas habis-habisan, diperas semua kepunyaannya, dirampas semua hak-haknya sehingga tinggal hak-menurut dan hak-mengambing belaka. Memang Rakyat-jelata sudah lama sekali kesal akan nasib yang lebih jelek daripada nasib binatang itu. Tidakkah gampang kalau kaum borjuis didalam usahanya merebut politieke macht daripada raja dan ningrat, memakai tenaga Rakyat-jelata itu ? Toh, Rakyat-jelata tidak sadar, toh Rakyat-jelata tidak bewust, toh Rakyat-jelata tidak akan tahu-menahu bahwa ia hanya disuruh “mengupas nangka” dan “kena getahnya” saja, —borjuis nanti yang “makan nangkanya” !
Dan borjuis lalu menjalankan kecerdikan ini ! “Hiduplah demokrasi !”, “hiduplah kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan !”, “hiduplah liberte, egalite dan fraternite !”,—semboyan ini ia dengung-dengungkan sehingga memenuhi angkasa, semboyan-semboyan ini ia kobarkan dikalangan Rakyat-jelata. Sebagai simum Rakyat-jelata lantas bergerak, api-kehebatan pergerakannya sampai menjilat langi, bumi dan angkasa Perancis gemetar dan pecah seakan-akan Krisna bertiwikrama. Lautan masyarakat Perancis yang tenang berabad-abad kini menjadi bergelombang-gelombangan molak-malik, —lautan mendidih yang hantam-hantamannya membikin remuknya batu-karang feodalisme: Raja runtuh, kaum ningrat runtuh, kaum penghulu-agama runtuh, otokrasi runtuh, diganti dengan cara-pemerintahan baru yang bernama demokrasi. Dinegeri diadakan parlemen, Rakyat “boleh mengirim utusan-utusannya keparlemen itu”, —diikuti oleh negeri-negeri Eropa Barat dan Amerika, yang semua kini juga meniru bersistem “demokrasi”.
Ya, Inggris kini punya parlemen, Jerman kini mempunyai parlemen, negeri Belanda kini mempunyai parlemen, negeri Amerika, negeri Belgia, negeri Denmark, negeri Swedia, negeri Swiss, —semua “negeri sopan” kini mempunyai parlemen, semua “negeri sopan” kini bersistem “demokrasi”……..
Tetapi…….disemua “negeri-negeri sopan” itu kini hidup dan subur dan merajalela hantu kapitalisme ! Disemua “negeri-negeri sopan” itu kini Rakyat-jelata tertindas hidupnya, nasib Rakyat-jelata nasib kokoro, jumlahnya kaum penganggur yang kelaparan melebihi bilangan manusia. Disemua “negeri-negeri sopan” itu Rakyat-jelata tidak selamat, bahkan sengsara-keliwet-sengsara ! Inikah hasil “demokrasi” yang mereka keramatkan itu ? Inikah “kerakyatan” dinegeri Perancis mereka beli dengan ribuan mereka punya nyawa, dengan ribuan mereka punya bangkai, dengan ribuan pula kepalanya raja dan kaum ningrat ?
Ah, kaum borjuis ! Kaum borjuis telah menipu mereka, memperkudakan mereka, mengabui mata mereka. Demokrasi yang mereka rebut dengan harga nyawa yang begitu mahal itu, demokrasi itu bukanlah demokrasi kerakyatan yang sejati, melainkan suatu demokrasi borjuis belaka, —suatu burgerlijke demokrasi yang untuk kaum borjuis dan menguntungkan kaum borjuis belaka. Ah, parlemen ! Tiap-tiap kaum proletar kini namanya bisa ikut memilih wakil dan ikut dipilih jadi wakil kedalam parlemen itu, tiap-tiap kaum proletar kini namanya bisa “ikut memerintah”. Ya, tiap-tiap kaum proletar kini namanya bisa mengusir minister-minister, menjatuhkan minister-minister jatuh terpelanting dari kursinya. Tetapi pada saat yang namanya bisa menjadi “raja” didalam parlemen itu, pada saat itu-juga ia sendiri bisa diusir dari pekerjaan dimana ia bekerja menjadi buruh dengan upah-kokoro, diusir dilemparkan diatas jalan-rajanya pengangguranm yang basah karena air-mata bini dan anak-anak yang kelaparan ! Pada saat yang ia namanya bisa menjadi “raja” didalam parlemen, pada saat itu-juga ia tak berkuasa sedikit pun juga menuntut upah-perkulian yang agak pantas, tak berkuasa sedikitpun menghalangi, yang stelsel kapitalisme menelan segenap ia punya badan dan segenap ia punya nyawa !

Bahwasanya, kaum Rakyat-jelata yang tadinya dipakai tenaga oleh kaum borjuis untuk merebut “demokrasi”, tetapi yang kemudian ternyata kecele telah mendatangkan demokrasinya kapitalisme, kaum Rakyat-jelata itu kini pantas berbalik menolak demokrasi-palsu itu dengan perkataan-perkataan Jean Jaures, pemimpin kaum buruh Perancis, yang berbunyi: “Kamu, kaum borjuis, kamu mendirikan republik, dan itu adalah kehormatan yang besar. Kamu membikin republik teguh dan kuat, tak boleh dirobah sedikitpun juga, tetapi justru karena itu kamu telah mengadakan pertentangan antara susunan politik dan susunan ekonomi. Karena elgemeen kiesrecht, karena pemilihan umum, kamu telah membikin semua penduduk bisa bersidang mengadakan rapat yang seolah-olah rapat daripada raja-raja. Mereka punya kemauan adalah sumbernya tiap wet, tiap hukum, tiap pemerintahan; mereka mendataris, mereka melepas wetgever dan minister. Tetapi pada saat yang siburuh menjadi tuan didalam urusan politik, pada saat itu juga ia adalah budak-belian diatas lapangan ekonomi. Pada saat yang ia menjatuhkan minister-minister, maka ia sendiri bisa diusir dari pekerjaan zonder ketentuan sedikit juga pun apa yang esok harinya akan di makan. Tenaga-kerjanya hanyalah suatu barang belian, yang bisa dibeli atau ditampik semau-maunya kaum majikan. Ia bisa diusir dari bingikil, karena ia tak mempunya hak ikut menentukan aturan-aturan-bingkil, yang sabar hari, zonder dia tapi buat menindas dia, ditetapkan oleh kaum majikan menurut semau-maunya sendiri”……
Sekali lagi: inikah “demokrasi” yang orang keramatkan itu ? Bolehkah ini demokrasi menjadi impian kita ? Tidak, dan sekali tidak ! Ini tidak boleh menjadi demokrasi yang harus kita ditiru, tidak boleh menjadi demokrasi yang dengan aksara api yang harus dituliskan diatas bendera-bendera partai-pelopornya massa-aksi Indonesia. Sebab “demokrasi” yang begitu hanyalah “demokrasi” parlemen saja, “demokrasi” politik saja. Demokrasi-ekonomi, keRakyatan-ekonomi, kesama-rasa-sama-rataan-ekonomi tidak ada, tidak adapun bau-baunya sedikit juga.

Ya, demokrasi politik itupun hanya bau-baunya saja! Bukan ? —Dinegeri-negeri modenrn itu benar ada perlemen, benar ada “tempat perwakilan Rakyat”, benar Rakyat namanya “boleh ikut memerintah”, tetapi ah, kaum borjuis lebih kaya daripada Rakyat-jelata, mereka dengan harta-kekayaannya, dengan surat-surat-kabarnya, dengan buku-bukunya, dengan madrasah-madrasahnya, dengan propagandis-propagandisnya, dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat kekuasaannya bisa mempengaruhi semua akal fikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua jalannya politik. Mereka misalnya membikin “kemerdekaan pers” bagi Rakyat-jelata menjadi suatu omong kosong belaka, mereka menyulap “kemerdekaan fikiran” bagi Rakyat-jelata menjadi suatu ikatan fikiran, mereka memperkosa “kemerdekaan berserikat” menjadi kedustaan publik. Mereka punya kemauan menjadi wet, mereka punya politik menjadi politiknya staat mereka punya perang menjadi peperangannya “negeri”. Oleh karena itu, benar sekali perkataannya Caillaux, bahwa kini Eropa dan Amerika ada dibawah kekuasaannya feodalisme baru: “Tetapi kini kekuasaan feodal itu tidak digengam oleh kaum tanah sebagai sediakala, kini ia digenggam oleh perserikatan-perserikatan industri yang selamanya bisa mendesakkan kemauannya terhadap staat “. Benar sekali juga perkataan de Brouckere, bahwa “demokrasi” sekarang itu sebenarnya adalah suatu alat kapitalisme, suatu kapitalistische instelling, suatu kedok bagi dictatuur van het kapitalisme ! “demokrasi” yang yang demikian itu harus kita lemparkan samudra, —jauh dari angan-angan dan keinginan massa !
Bagaimana dan demokrasi yang harus dituliskankan diatas bendera kita, —yang harus kita adakan diseberang jembatan-emas ? Demokrasi kita haruslah demokrasi baru, demokrasi sejati, demokrasi yang sebenar-benarnya pemerintahan Rakyat. Bukan “demokrasi” ala Eropa dan Amerika yang hanya suatu “potret dari pantatnya” demokrasi-politik saja, bukan pun demokrasi yang memberi kekusaan 100% pada Rakyat didalam urusan politik saja, tetapi suatu demokrasi politik dan ekonomi yang memberi 100% kekhawatiran pada Rakyat-jelata didalam urusan politik dan urusan ekonomi. Demokrasi politik dan ekonomi inilah satu-satunya demokrasi yang boleh dituliskan diatas bendera partai, —ditulis dengan aksara-aksara-api sebagai diatas saja katakan, agar supaya menyala-nyala tertampak dari ladang dan sawah dan bingkil dan pabrik dimana Marhaen berkeluh-kesah mandi keringat mencari sesuap nasi.

Dengan demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi itu, maka nanti diseberangnya jembatan-emas masyarakat Indonesia bisa diatur oleh Rakyat sendiri sampai selamat, —dibikin menjadi suatu masyarakat yang tiada kapitalisme dan imprealisme. Dengan demokrasi-politik dan ekonomi itu, maka nanti Marhaen bisa mendirikan staat Indonesia yang tulen staatnya Rakyat, —suatu staat yang segala urusannya politik dan ekonomi adalah oleh Rakyat, dengan Rakyat, bagi Rakyat. Bukan sistem feodalisme, bukan sistem mengagungkan raja, bukan sistem konstitusional monarchie yang walau memakai parlemen toh masih memakai raja, bukan pun sistem republik yang sebagai di Perancis-sekarang atau di Amerika-sekarang yang sebenarnya suatu sistem-republik daripada “demokrasinya” kapitalisme, —tetapi sistem politik-ekonomische republik yang segala-galanya tunduk kepada kekhawatiran Rakyat. Urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerja, urusan seni, urusan cultur, urusan apa saja dan terutama sekali ekonomi haruslah dibawah kekhawatiran Rakyat itu: semua perusahaan-perusahaan-besar menjadi miliknya staat, —staatnya Rakyat, bukan staatnya borjuis atau ningrat —, semua hasilhasil perusahaan-perusahaan itu bagi keperluan Rakyat, semua pembahagian hasil itu dibawah pengawasan Rakyat. Tidak boleh ada satu perusahaan lagi yang secara kapitalisme menggemukkan kantong seorang borjuis ataupun menggemukkan kantong burgerlijke staat, tetapi masyarakatnya politiek-economische Republik Indonesia adalah gambarnya satu kerukunan Rakyat, satu pekerjaan-bersama daripada Rakyat, satu kesama-rasa-sama-rataan daripada Rakyat.
Inilah demokrasi sejati yang kita cita-citakan, dan yang saya sebutkan dengan nama-baru sosio-demokrasi. Inilah demokrasi-tulen yang hanya bisa timbul dari nasionalisme Marhaen, dari nasionalisme yang didalam batinnya sudah mengandung keRakyatan-tulen, yang anti tiap-tiap macam kapitalisme dan imprealisme walaupun dari bangsa sendiri, yang penuh dengan rasa-keadilan dan rasa kemanusiaan yang melonjak tiap-tiap sifat keborjuisan dan keningratan, —nasionalisme keRakyatan yang saja sebutkan pula dengan nama-baru sosio-nasionalisme. Hanya sosio-nasionalisme bisa melahirkan sosio-demokrasi, nasionalisme lain tidak bisa dan tidak akan melahirkan sosio-demokrasi. Siapa yang berkemak-kemik “sosio-demokrasi” tetapi dadanya masih berisi sifat-sifat keborjuisannya atau keningratan walau sedikitpun juga, —ia adalah seorang munafik yang bermuka dua !
Nasionalisme partai-pelopor hanyalah boleh satu : sosio-nasionalisme, dan tidak lain ! Lemparkanlah jauh-jauh nasionalisme-keborjuisan dan nasionalisme-keningratan, bantingkanlah menjadi debu nasionalisme-keborjuisan dan nasionalisme-keningratan itu diatas siti buntalannya keRakyatan massa ! Pembaca belum tahu nasionalisme-keborjuisan, belum mengerti nasionalisme-keningratan ? Amboi, masih banyak sekali orang-orang diantara nasionalisten kita, yang saban hari bercita-cita “menasionalismekan” negeri kita menjadi “negeri-besar” seperti Jepang atau Amerika atau Inggris, kagum melihat armadanya yang ditakuti dunia, kota-kotanya yang hebat, bank-banknya yang terbesar diseluruh dunia, benderanya yang berkibar dimana-man, —kagum ini moga-moga negeri Indonesia kelak juga menjadi “negeri-besar” semacam itu. Ah, ini kaum nasionalis-borjuis ! —Mereka tak terkena hati bahwa barang yang dinamakan hebat-hebat itu adalah hasilnya kapitalisme, alat-alatnya kapitalisme, dan bahwa Rakyat-jelata dinegeri-negeri yang disebutkan “negeri jempol” itu adalah tertindas dan sengsara. Memang mereka punya nasionalisme bukanlah nasionalisme kemanusiaan, bukan nasionalisme yang ingin keselamatan massa, mereka punya nasionalisme adalah nasionalisme borjuis yang paling jauh hanya ingin Indonesia-Merdeka saja, dan tidak mau berubah susunan masyarakat sesudah Indonesia-Merdeka. Mereka bisa juga revolusioner, tetapi borjuis-revolusioner, tidak Marhaenistis-revolusioner, tidak sosio-revolusioner[1] !
Dan nasionalisme-kerakyatan ? Haha, itu juga masih banyak sekali pengikutnya. Pengikut nasionalisme ini memang biasanya kaum ningrat, yang darahnya ningrat, adatnya ningrat, hatinya ningrat, segala jasmani dan rohaninya ningrat. Mereka masih dihidup didalam keadaan feodalisme, angler didalam tradisi feodalisme, yang mereka menjadi “kepala-kepalanya” Rakyat, dan mereka menjadi “pohon beringin” yang melindungi Rakyat. Mereka biasanya setia sekali pada kaum pertuanm setia sekali pada kaum yang diatas, —oh, juga dizaman feodalisme mereka setia-tuhu kepada Sang Nata—, tetapi ada diantara mereka yang ngelamun Indonesia-Merdeka. Tapi menurut cita-citanya, didalam Indonesia-Merdeka itu mereka-lah yang harus menjadi “kepala”, mereka-lah yang tetap menjadi kaum memerintah, merekalah !, yang sejak zaman purbakala, sejak feodalisme-Hindu dan sejak feodalisme ke-Islam-an toh sudah menjadi “pohon beringin” yang melindungi kaum “kawulo”.
Awas, kaum Marhaen, awas dengan nasionalisme-keborjuisan dan nasionalisme keningratan itu ! Ikutilah hanya itu partai saja yang benderanya menyala-nyala dengan semboyan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, teriakkanlah semboyan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu dengan suara yang mendengung menggetarkan langit, gemuruh sebagai guruhnya guntur. Dengungkanlah sampai melintasi tanah-datar dan gunung dan samudra, bahwa Marhaen seberangnya jembatan-emas akan mendirikan suatu masyarakat yang tiada keningratan dan tiada keborjuisan, tiada kelas-kelasan dan tiada kapitalisme.
Dan bukan saja mendengungkan suara ! Partai-pelopor dari kini mendidik massa itu kedalam “prakteknya” sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme, “menyediakan” massa untuk laksana janji sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme. Partai-pelopor harus dari kini sudah menebar-nebarkan benih kesama-rata-sama-rasaan didalam kalbunya massa, menebar-nebar-pula benih “gotong royong” didalam hatinya massa, agar supaya massa yang berabad-abad kena penyakit individualisme[2] itu, sudah dari kini mulai menjadi “manusia baru” yang merasa dirinya “manusia masyarakat” yang selamanya mementingkan keselamatan umum. Partai-pelopor harus mendidik teorinya dan prakteknya “kemasyarakatan” itu dengan tak jemu-jemu menunjukkan kejahatan individualisme, membongkar-bongkar kejahatannya kapitalisme, menganjurkan dan memfi’ilkan pekerjaan bersama, mendirikan dan menjalankan koperasi-koperasi yang radikal, mendirikan dan memperjuangkan vakbond-vakbond, dan sarekat-sarekat-tani radikal, —terutama koperasi-radikal, vakbond-radikal, sarekat-tani radikal !—, pendek-kata mulai sekarang dengan cara radikal menjelmakan Insan-manusia-masyarakat didalam tiap-tiap perjuangan, didalam tiap-tiap sepak-terjangnya, didalam tiap-tiap politiknya.
Strijdprogram dan staatprogram partai-pelopor itu harus strij-program dan staatprogram Manusia-masyarakat, strijdprogram dan staatprogram itu haruslah suatu oorlogsverklaring alias pertentangan perang kepada segala macam individualisme. Segala azasnya partai, segala azas-perjuangannya partai, segala taktiknya partai, segala perjuangannya partai, —perjuangan mendatangkan Indonesia-Merdeka, perjuangan memberantas aturan-aturan yang jelek, perjuangan buat perbaikan-perbaikan-ini-hari d.l.s. —, segala gerak-bangkit jasmani dan rohaninya partai itu haruslah suatu hantaman kepada individualisme, suatu malapetaka kepada individualisme, —untuk keprabotan Insan Manusia-masyarakat.
Bahagia partai-pelopor yang demikian itu !
Bahagia massa yang dipelopori partai yang demikian itu !
Hiduplah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi !


Mencapai Indonesia Merdeka
Sekarang, kampiun-kampiun kemerdekaan, majulah kemuka, susunlah pergerakanmu menurut garis-garis yang saya guratkan didalam risalah ini. Hebatkanlah partainya Marhaen, agar supaya menjadi partai-pelopornya massa. Hidupkanlah semua semangat yang ada didalam dadamu, hebatkanlah semua kecakapan-mengorganisasi yang ada didalam tubuhmu, hebatkanlah semua keberanian banteng yang ada didalam nyawamu, tumpahkahlah semangat dan kecakapan-mengorganisasi dan keberanian-banteng itu kedalam tubuhnya partai, tumpahkanlah kelaki-lakian itu kedalam badannya massa, agar supaya massa seolah-olah ketitisan kembali oleh segala kelaki-lakiannya dari zaman sediakala, ketitisan pula oleh kelaki-lakian baru daripada moderne massa-aksi. Kamu kampiun-kampiunnya pena, gerakkanlah penamu setajam ujungnya jemparingnya Rama, kamu kampiun-kampiun organisator, susunlah bentengnya harapan Rakyat menjadi benteng yang menahan gempa, kamu kampiun-kampiunnya mimbar, dengungkanlah suara-bantengmu hingga menggetarkan udara.
Tumpahkanlah segenap jiwa-ragamu kedalam partainya massa, tumpahkanlah segenap jasmani dan rohanimu kedalam perjuangannya massa, tumpahkanlah nyawamu menjadi api-kesadaran dan api-kemauan massa.
Hidupkanlah massa-aksi, untuk mencapai Indonesia-Merdeka !





1)       [1] Buat arti “revolusione” lihat saj punya pledoi
2)       [2] Individualisme=perseorangan diri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar