“Di timur Matahari Mulai Bercah’ya, Bangun Dan Berdiri,
Kawan Semua!…”
Tetapi
hal-hal yang saya ceritakan di atas ini hanyalah kerusakan lahir saja.
Kerusakan batinpun ternayata di mana-mana. Stelsel imperialisme yang
membutuhkan kaum buruh itu, sudah memutarkan semangat kita menjadi semangat
perburuhan samasekali, semangat perburuhan yang hanya senang jikalau bisa
menghamba. Rakyat Indonesia yang sediakala terkenal sebagai Rakyat yang
gagah-berani, yang tak gampang-gampang suka tunduk, yang perahu-perahunya
melintasi lautan dan samudra sampai ke India, Tiongkok, Madagaskar dan
Persia,–Rakyat Indonesia itu kini menjadilah Rakyat yang terkenal sebagai “het
zachtste volk der aarde”, “Rakyat yang paling lemah budi di seluruh muka bumi”.
Rakyat Indonesia itu kini menjadi suatu Rakyat yang hilang kepercayaannya pada
diri sendiri, hilang kepribadiannya, hilang kegagahannya, hilang ketabahannya
sama sekali. “Semangat-harimau” yang menurut katanya profesor Veth adalah
semangat Rakyat Indonesia di zaman sediakala, semangat itu sudah menjadi semangat-kambing
yang lunak dan pengecut.
Dan
itupun belum bencana-batin yang paling besar! Bencana-batin yang paling besar
ialah bahwa Rakyat Indonesia itu percaya, bahwa ia memang adalah
“Rakyat-kambing” yang selamanya harus dipimpin dan dituntun. Sebagai juga
tiap-tiap stelsel imperialisme di mana-mana, maka stelsel imperialisme yang ada
di Indonesiapun selamanya menggembar-gemborkan ke dalam telinga kita, bahwa
maksudnya bukanlah maksud mencari rezeki, tetapi ialah “maksud suci” mendidik
kita dari kebodohan ke arah kemajuan dan kecerdasan. Sebagai juga tiap-tiap
stelsel imperialisme, ia tak jemu-jemu meneriakkan ia punya
“mission-sacree”[i].
Di atas panji-panjinya, imperialisme selamanya adalah tertulis
semboyan-semboyan dan anasir-anasir “beschaving” dan “orde en
rust”,–“kesopanan” dan “keamanan umum”.
“Kesopanan”
dan “keamanan umum”! Tidakkah kita ini katanya Rakyat yang masih bodoh dan
biadab, yang perlu mendapat guru dan perlu mendapat bapak? Amboi, seolah-olah
benar kita pada saat datangnya imperialisme masih bodoh, seolah-olah benar kita
zaman dulu Rakyat biadab! Seolah-olah Rakyat kita tidak pernah mempunyai kultur
yang membikin tercengangnya dunia! Jikalau benar stelsel imperialisme tidak
buat mencari rezeki, tidak buat “urusan-fulus”, tidak buat memenuhi nafsu
perbendaan, jikalau benar stelsel imperialisme dahaga sekali akan “kerja
menyopankan”, apakah sebabnya stelsel imperialisme datang lebih dahulu pada
Rakyat-Rakyat yang justru berketinggian kultur, seperti Indonesia, seperti
India, seperti Mesir, dan tidak pergi saja ke negerinya bangsa Eksimo yang ada
di kutub Utara!
Tidak,
memang tidak! Itu “misi suci” hanyalah omong-kosong belaka, itu
“mission-sacree” hanyalah buat menjaga kedudukannya imperialisme saja. Sebab
tidak ada satu imperialisme di muka bumi yang bisa terus-menerus mengambil
rezeki sesuatu Rakyat, sehingga Rakyat itu tahu dan insyaf bahwa rezekinya
diambil dan diangkuti; tidak ada satu imperialisme yang “tahan lama”, bilamana
Rakyang insyaf bahwa badannya adalah sebagai pohon yang dihinggapi kemadean
yang hidup daripada ia punya zat-zat-hidup. Maka oleh karena itulah Rakyat
lantas tak henti-henti diinjeksi, bahwa imperialisme datangnya ialah buah
memenuhi suatu “misi yang suci” mendidik Rakyat itu dari kebodohan ke arah
kecerdasan, mendidik Rakyat itu dari kemunduran ke arah kemajuan. Dan Rakyat
lantas percaya akan “misi suci” itu: imperialisme tidak lagi dipandang olehnya
sebagai musuh yang harus dienyahkan selekas-lekasnya, tidak sebagai kemadean
yang menghinggapi tubuhnya, imperialisme lantas dipandang olehnya sebagai
sahabat yang harus diminta terima kasih..
Pergerakan memang bukan tergantung dari
adanya seseorang pemimpin, bukan bikinannya seseorang pemimpin, pergerakan
adalah bikinannya nasib kita yang sengsara. Ia pada hakekatnya adalah usaha
masyarakat sakit yang mengobati diri sendiri.
Jawaharlal
Nehru, itu pemimpin Hindustan yang kenamaan, pernah berkata: “Kebesarannya
negeri dan Rakyat kita adalah sudah begitu dalam terbenamnya oleh
kabut-kepurbakalaan, dankebesarannya imperialisme adalah begitu sering kita
lihat sehari-hari, sehingga kita lupa bahwa kita bisa besar, dan mengira bahwa
hanya kaum imperialis saja yang bisa pandai.” Perkataan Jawaharlal Nehru ini,
yang menggambarkan kerusakan batinnya Rakyat Hindustan, satu per satunya
bolehlah juga dipakai untuk Rakyat Indonesia sekarang ini. JUga kita lupa bahwa
kita bisa menjadi besar, juga kita lupa bahwa kemunduran kita ialah karena kita
terlalu lama sekali kena pengaruh imperialisme, juga kita lupa bahwa kemunduran
kita itu bukan suatu kemunduran yang memang karena natur, tetapi ialah suatu
kemunduran yang karena imperialisme, suatu kemunduran bikinan, suatu kemunduran
“cekokan”, suatu kemunduran injeksian yang berabad-abad. Juga kita mengira,
bahwa hanya kaum imperialisme saja yang bisa pandai, bahwa hanya mereka saja
yang bisa berilmu, bisa membikin jalan, bisa membikin kapal, bisa membikin
listrik, bisa membikin kereta-api dan auto dan bioskop dan kapal udara dan
radio,–dan tak pernah satu kejap mata kita bertanya di dalam batin, apakah kita
kini juga tidak bisa mengadakan semua hal itu, umpamanya kita tidak tiga ratus
tahun di “sahabati” imperialisme? Ya, juga kita percaya, bahwa kita sekarang
ini belum boleh merdeka dan berdiri sendiri…
Bahwasanya,
memang sudah “makan” sekali injeksian imperialisme itu. Kita kini sangat
gampang dilipat-lipat,–“plooibaar” en “gedwee”—“buntutnya tekanan yang
berabad-abad”, sebagai Schmalhausen mengatakannya. Kita ini sudah 100% menjadi
Rakyat kambing. Kita kini kaum putus-asa, kita kaum zonder kepribadian, kita
kaum penakut, kita kaum pengecut. Kita kaum be-roch budak, kita banyak yang
jadi penjual bangsa. Kita hilang samasekali kelaki-lakian kita, kita hilang
sama-sekali rasa-kemanusiaan kita. Oleh karena itu, jika terus-menerus begitu,
kita akan binasa samasekali tersapu dari muka-bumi, dan pantas binasa di dalam
lumpur perhinaan dan nerakanya kegelapan.
Tetapi
. . . Alhamdulillah, di Timur matahari mulai bercah’ya, fajar mulai
menyingsing!
Obat
tidur imperialisme yang berabad-abad kita minum, yang telah menyerap di dalam
darah daging kita dan tulang sumsum kita, ya, yang telah menyerap di dalam roch
kita dan nyawa kita, obat tidur itu perlahan-lahan mulai kurang dayanya.
Semangat-perlawanan yang telah ditidurkan nyenyak samasekali, kini mulai sadar
dan berbangkit. Semangat perbudakan mulai rontok, dan timbul bersemi semangat
baru yang makin lama makin besar dan bersirung. Bukan semangat yang mengeluh
karena tahu akan kerusakan nasib lahir dan nasib batin; tetapi semangat yang
membangkitkan pengetahuan itu, menjadi kemauan berjuang dan kegiatan berjuang.
Bukan semangat yang menangis, tetapi semangat yang terus menitis menjadi wil, menjadi daad. Memang bukan
waktunya lagi kita mengeluh: bukan waktunya lagi kita mengaduh, walaupun
kerusakan nasib kita itu seakan-akan memecahkan kita punya nyawa. Kita tak
dapat terlepas dari keadaan sekarang ini dengan mengeluh dan menangis, kita
hanyalah bisa keluar daripadanya dengan bercancut-tali-wanda, dengan berjuang,
berjuang dan sekali lagi berjuang. Kita harus berjuang habis-habisan tenaga,
berjuang walaupun nafas hampir pecat dari kita punya dada. Kita harus meniru
ajarannya itu orang Hindu yang berkata: “Kita sekarang tidak boleh
berkesempatan lagi untuk menangis, kita sudah kenyang menangis. Bagi kita
sekarang ini bukan saatnya buat lembek-lembek-hati. Berabad-abad kita sudah
lembek sehingga menjadi seperti kapuk dan agar-agar. Yang dibutuhkan oleh tanah
air kita kini ialah otot-otot yang kerasnya sebagai baja, urat-urat syaraf yang
kuatnya sebagai besi, kemauan yang kerasnya sebagai batu-hitam yang tiada
barang sesuatu bisa menahannya, dan yang jika perlu, berani terjun ke dasarnya
samudra!”
Alhamdulillah,
kini fajar mulai menyingsing! Pergerakan memang pasti lahir, pasti hidup, pasti
kelak membanjir, walaupun obat tidur yang bagaimana juga manjurnya, atau
walaupun terang-terangan dirintangi oleh musuh dengan rintangan yang bagaimana
juga, selama nasib kita masih nasib yang sengsara. Pergerakan memang bukan
tergantung dari adanya seseorang pemimpin, bukan bikinannya seseorang pemimpin,
pergerakan adalah bikinannya nasib kita yang sengsara. Ia pada hakekatnya
adalah usaha masyarakat sakit yang mengobati diri sendiri. Ia ada kalau
kesakitan masih ada, ia hilang kalau kesakitan sudah hilang. Ia, sebagai
dikatakan oleh seorang pemimpin Jerman “di dalam dunia yang tak adil ini selalu
mengikuti musuhnya sebagai bayangan, yang akhirnya meliputi musuhnya itu
sehingga mati”.
“Tiap-tiap
makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya
berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakkan tenaganya,
jikalau ia sudah terlalu-lalu sekali merasakan celakanya diri yang teraniaya
oleh sesuatu daya yang angkara-murka,–begitulah saya pernah menulis. “Jangan
lagi manusia, jangan lagi bangsa,–walau cacingpun tentu bergerak
berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!”
Memang;
memang! Pergerakan lahir karena pada hakekatnya dilahirkan oleh tenaga-tenaga
pergaulan hidup sendiri. Pemimpin pun bergerak karena hakekatnya tenaga-tenaga
pergaulan hidup itu membikin ia bergerak. Bukan fajar menyingsing karena
ayam-jantan berkokok, tapi ayam jantan berkokok karena fajar menyingsing…
Tetapi
bergerak dan bergerak adalah dua. Benar pergerakan itu pada hakekatnya bikinan
nasib kita, bikinan masyarakat kita, bikinan natur,–tetapi natur sendiri
sering-seringterlalu lambat berjalannya, oleh karena kejadian-kejadian atau
proses-proses di dalam natur itu sering-sering adalah kejadian insting yang onbewust, yakni kejadian
yang “tidak insyaf”. Maka pergerakan kitapun akan terlampau lambat jalannya,
pergerakan kitapun akan sebagai orang yang pada malam gelap gulita zonder obor
berjalan di atas jalan kecil yang banyak batu dan banyak tikungan, pergerakan
kitapun akan “pergerakan insting” saja, jikalau pergerakan kita itu hanya
onbewust alias “tidak insyaf”, yakni suatu pegerakan yang “yah… bergerak karena
sengsara”, tetapi tidak insyaf dengan tajam akan apa yang dituju dan bagaimana
harus menuju. Baru jikalau kita berjalan membawa obor, mengetahui persis apa
yang kita tuju, mengetahui persis di mana letaknya jalan yang kencang,
mengetahui persis segala apa yang akan kita jumpai; baru jikalau kita tidak seolah-olah
lagi di dalam malam yang gelap-gulita, tetapi seolah-olah di dalam siang hari
yang terang-benderang,– baru jikalau sudah demikian itu kita bisa mencapai apa
yang kita maksud dengan sekencang-kencangnya, selekas-lekasnya,
sehatsil-hatsilnya. Oleh karena itulah kita harus mempunyai bentukan pergerakan
yang saksama, konstruksi pergerakan yang saksama,–bentukan atau konstruksi
pergerakan yang harus cocok dan sesuai dengan hukum-hukumnya masyarakat dan
terus menuju ke arah doelnya masyarakat, yakni masyarakat yang selamat dan
sempurna.
Dengan
bentukan atau konstruksi pergerakan yang seksama itu maka pergerakan kita bukan
lagi suatu pergerakan yang onbewust,
tetapi suatu pergerakan yang bewust sebewust-bewustnya, insyaf
seinsyaf-insyafnya. Dengan ke-bewust-an dan keinsyafan yang demikian itu, maka
pergerakan kita lalu berarti mempercepat jalannya proses natur, suatu
pergerakan yang memikul natur dan terpikul natur. Dengan ke-bewust-an dan
keinsyafan yang demikian itu pergerakan kita juga lalu menjadi tidak bisa
ditundukkan, tidak bisa dipadamkan, on-overwinnelijk,–sebagai natur!
Ia
bisa sebentar dirubuhkan, ia bisa sebentar dibubarkan, ia bisa sebentar
seolah-olah dihancurkan, tetapi saban-saban kali ia juga akan berdiri lagi dan
berdiri lagi, dan maju terus ke arah maksudnya. Ia sekali-sekali seperti binasa
samasekali karena terhantam dengan segala kekuatan duniawi yang musuh punya,
tetapi kemudian daripada itu ia toh akan muncul lagi dan berjalan lagi. Sebagai
mempunyai kekuatan rahasia, sebagai mempunyai kekuatan penghidup, sebagai
mempunyai “aji-panca-sona” dan “aji-candabirawa”, maka pergerakan yang memikul
natur dan terpikul natur itu tak bisa dibunuh, dan malahan ia makin lama makin
membanjir. Sebagai natur sendiri, ia tidak boleh tidak pasti datang pada
maksudnya!
Oleh
karena itu, kaum Marhaen, besarkanlah hatimu, besarkanlah ketetapan tekadmu,
besarkanlah kepercayaanmu akan tercapainya kamu-punya cita-cita. Bukan hanya
suatu peribahasa saja, kalau saya mengatakan fajar telah menyingsing.
Pergerakan kita sudah mulai berbentuk, emoh akan haluan yang hanya “cita-cita”
saja. Pergerakan kita itu sudah mulai jadi pergerakan sebagai yang saya
maksudkan di atas tadi. Garis-garis besar dari bentukan atau konstruksi itu
kini terletak di hadapanmu, tergurat di dalam risalah yang kecil ini. Bacalah
risalah ini dengan teliti dan seksama, simpanlah segala ajaran-ajarannya di
dalam fikiran dan kalbumu, kerjakanlah segala ajaran-ajaran itu dengan
ketetapan hati dan ketabahan tekad. Haibatkanlah pergerakanmu menjadi pergerakan
yang bewust dan
insyaf, yang karenanya akan menjadi hebat sebagai tenaganya gempa.
Fajar
mulai menyingsing. Sambutlah fajar itu dengan kesadaran, dan kamu akan segera
melihat matahari terbit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar