Machtsvorming, Radikalisme, Aksi-Massa
Sana
mau kesana, sini mau kesini,–begitulah gambarnya pertentangan disesuatu koloni.
Pertentangan inilah yang tadi membawa kita keatas padangnya politik selfhelp dan non-cooperation. Tetapi
pertentangan itu membawa kita juga kedalam kawah candradimukanya politik-machtsvorming, radikalisme
dan massa-aksi.
Apa
artinya machtsvorming
itu ? Machtsvorming
adalah berarti vormingnya
macht,
pembikinan tenaga, pembikinan kuasa. Machtsvorming
adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita. Paksaan
ini adalah perlu, oleh karena “sana mau kesana, sini mau kesini”. Dengarkanlah
apa yang tempo hari saya katakan dalam saya punya pledoi :
“Machtsvorming, pembikin
kuasa,—oleh karena soal kolonial adalah soal kuasa, soal macht. Machtsvorming, oleh karena
seluruh riwayat dunia menunjukkan, bahwa perubahan-perubahan besar hanyalah
diadakan oleh kaum yang menang, kalau pertimbangan akan untung rugi
menyuruhnya, atau kalau sesuatu macht
menuntutkannya.
“Tak
pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan relanya kemauan
sendiri, “—“nooit heefteen
klasse vrijwillig van haar bevoorrechte positie afstand gedaan,”
begitulah Karl Marx berkata….. Selama Rakyat Indonesia belum mengadakan suatu macht yang maha sentosa,
selama Rakyat itu masih saja tercerai-berai dengan tiada kerukunan satu sama
lain, selama Rakyat itu belum bisa mendorongkan semua kemauannya dengan suatu
kekuasaan yang teratur dan tersusun,–selama itu maka kaum imprealisme yang
mencari untung sendiri itu akan tetaplah memandang kepadanya sebagai seekor
kambing yang menurut, dan akan terus mengabaikan segala tuntutan-tuntutannya.
Sebab, tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia adalah merugikan kepada imprealisme;
tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia tidaklah akan diturutinya, kalau kaum
imprealisme tidak terpaksa menurutinya. Tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia
adalah buahnya desakan yang Rakyat itu jalankan,–tiap-tiap kemenangan Rakyat
Indonesia itu adalah suatu afgedwongen
concessie ![1]”
Dan jikalau kita bergerak, maka haruslah
selamanya kita ingat, bahwa cita-cita kita dapat terkabul, selama kita belum
mempunyai kekuasaan yang perlu untuk mendesakkan terkabulnya cita-cita itu.
[Soekarno]
Menjadi
dus: machtsvorming
adalah perlu oleh karena, berhubung dengan adanya antitesa antara sana dan
disini, kaum sana tidak mau dengan kerelaannya kemauan sendiri tunduk kepada
kita, jika tidak ada paksa dengan desakan yang ia tak dapat menahannya. Dan
oleh karena desakan itu hanya bisa kita jalankan bilamana kita mempunyai
tenaga, yakni bilamana kita mempunyai kekuatan, mempunyai kekuasaan, mempunyai macht, maka kita harus
menyusun macht
itu,–mengerjakan machtsvorming
itu dengan segiat-giatnya dan serajin-rajinnya !
Kita
harus jauh dari politiknya kaum lunak, yang selamanya mengira, bahwa sudah
cukuplah dengan menyakinkan kaum sana itu tentang keadilannya kita punya
tuntutan-tuntutan: mereka mengira, bahwa kaum sana itu, asal saja sudah
“berbalik fikiran” tentu akan menuruti segala kita punya kemauan. Amboi jikalau
benar sana begitu, barangkali Indonesia sudah lama merdeka ! Jika kaum
sana benar begitu, maka kita semua boleh tidur, dan hanya satu dua orang saja
daripada kita boleh “bicara” dengan kaum sana itu, “membalikkan fikirannya” !
Tetapi keadaaan yang senyatanya tidak begitu. Keadaan yang senyatanya ialah,
bahwa kaum sana disini itu tidak buat mendengarkan keadilannya kita punya
tuntutan, tidak pun buat menurut kita punya tuntutan itu bilamana “sudah
ternyata adilnya”, tetapi ialah tak lain tak bukan buat urusan sendiri, buat
kepentingan sendiri, buat keuntungan sendiri,–adil atau tidak adil. Keadaan
yang senyatanya ialah, bahwa “sana mau kesana, sini mau kesini”.
Maka
oleh karena itulah kaum Marhaen Indonesia, yang didalam politiknya selamanya
harus jauh sekali daripada pengalaman yang bertentangan dengan keadaan yang
nyata, yang selamanya harus berdiri diatas bumi yang nyata dan tidak boleh
terapung-apung diatas awannya gagasan, harus menolak politik otak-angin
daripada kaum lunak itu, dan menjalankan politik mentah sementah-mentahnya,
yaitu: menyusun dimuka machtnya
imprealisme itu machtnya
kaum Marhaen pula. Memang yang sebenar-benarnya disebutkan politik, itu
bukanlah kepandaian putar lidah, bukan kepandaian menggerutu dengan hati dendam
terhadap pada kaum disana, bukan kepandaian tawar-menawar, tetapi politik buat
kaum Marhaen hanyalah menyusun machtsvorming
dan mengusahakan machtsvorming
itu,–machtsvorming
yang terpikul oleh azas yang radikal. Jawaharlal Nehru, itu pemimpin Rakyat
India, pernah berkata: “Dan jikalau kita bergerak, maka haruslah selamanya kita
ingat, bahwa cita-cita kita dapat terkabul, selama kita belum mempunyai
kekuasaan yang perlu untuk mendesakkan terkabulnya cita-cita itu. Sebab kita
berhadap-hadapan dengan musuh, yang tak sudi menuruti tuntutan-tuntutan kita,
walaupun sekecil-kecilnya. Tiap-tiap kemenangan kita, dari yang besar-besar
sampai kecil-kecil, adalah hasilnya desakan dengan kita punya tenaga. Oleh
karena itu “teori” dan “prinsip” saja buat saja belum cukup. Tiap-tiap orang
bisa menutup dirinya didalam kamar, dan menggerutu “ini tidak menurut teori”
“itu tidak menurut prinsip”. Saya tidak banyak menghargakan orang yang
demikian itu. Tetapi yang paling sukar ialah, dimuka musuh yang kuat dan
membuta-tuli ini, menyusun suatu macht
yang terpikul oleh prinsip. Keprinsipilan dan keradikalan zonder machtsvorming yang bisa
menundukkan musuh didalam perjuangan yang hebat, bolehlah kita buang kedalam
sungai Gangga. Keprinsipilan dan keradikalan yang menjelmakan kekuasaan itulah
kemauan Ibu !”
Perkataan
Jawaharlal Nehru ini adalah perkataan yang cocok sekali buat perjuangan Marhaen
di Indonesia melawan musuh yang juga kuat dan membuta-tuli itu. Juga kita kaum
Marhaen Indonesia tak cukup dengan menggerutu saja. Juga kita harus menjelmakan
azas atau prinsip kita kedalam suatu machtsvorming
yang maha kuasa. Juga kita harus insyaf seinsyaf-insyafnya, bahwa
imprealisme tak dapat dikalahkan dengan azas atau prinsip saja, melainkan
dengan machtsvorming yang terpikul oleh azas atau prinsip itu!
Yang
terpikul oleh azas atau prinsip ! Sebab “machtsvorming”
yang tidak terpikul oleh azas atau prinsip, sebenarnya bukan machtsvorming,
bukan pembikinan kuasa ! ” Machtsvorming”
yang zonder azas
atau prinsip, yaitu ” machtsvorming”
yang opportunis alias tawar-menawar, yang sikapnya sebentar begini sebentar
begitu menurut angin-nya kaum sana, yang tidak perempuan tidak laki-laki,– “machtsvorming” yang
demikian itu bukan suatu macht
yang mau menundukkan kaum sana, tetapi suatu bola yang dipermainkan oleh kaum
sana belaka. Tetapi machtsvorming kita haruslah machtsvorming yang terpikul oleh suatu azas:
azas antitesa antara sana dan sini, azas kemerdekaan-nasional, azas
keMarhaenan, azas bukan tawar-menawar tapi mau menggugurkan stelsel
kapitalisme-imprealisme samasekali, azas mau mendirikan suatu masyarakat-baru
diatas runtuhan-runtuhannya kapitalisme-imprealisme itu, yang terpikul oleh
kesama-rasa-sama-rataan. Azas inilah yang boleh dicakup dengan satu perkataan
saja, yaitu perkataan radikalisme. Radikalisme,—terambil dari perkataan radix,
yang artinya akar–, radikalisme haruslah azas machtsvorming Marhaen: berjuang tidak
setengah-setengahan tawar-menawar tetapi terjun sampai keakar-akarnya kesengitan
antitesa, tidak setengah-setengahan hanya mencari “untung ini hari” saja tapi
mau menjebol stelsel
kapitalisme-imprealisme sampai keakar-akarnya, tidak setengah-setengahan mau
mengadakan perubahan-perubahan yang kecil-kecil saja tapi mau mendirikan masyarakat
baru samasekali diatas akar-akar yang baru, –berjuang habis-habisan tenaga
membongkar pergaulan hidup sekarang ini sampai keakar-akarnya untuk mendirikan
pergaulan hidup baru diatas akar-akar yang baru. Radikalisme ini harus menjadi
nyawanya machtsvorming
Marhaen. Marhaen harus menolak dengan kejijikan segala sikap
setengah-setengahan yang tidak berjuang tetapi hanya tawar-menawar, Marhaen
harus mengusir dari kalangan Marhaen segala opportunisme, reformisme, dan possibilisme yang
selamanya menghitung-hitung untung rugi sebagai juru kedai yang takut uangnya
hilang sekepeng. Marhaen harus mengusir jauh-jauh segala politik yang mau
menutupi atau menipiskan antitesa antara sana dan sini itu, Marhaen malahan
harus menajamkan antitesa antara sana dan sini itu, –tidak mau berdamai
tawar-menawar dengan kaum sana itu, tetapi berjuang habis-habisan dengan kaum
sana walau kemuka pintu-gerbangnya nerakapun juga adanya. Marhaen harus dengan
sekelabatan matanya saja mengerti, bahwa perjuangannya, yang bermaksud membongkar
kapitalisme-imprealisme sampai keakar-akarnya itu, tidak akan bisa berhasil
dengan politik reformisme yang mau “berniaga” dengan kaum kapitalisme itu, yang
isme-nya mau digugurkan itu. Marhaen harus mengambil perkataannya Karl
Leibknecht, bahwa “perdamaian antara Rakyat-jelata dengan kaum atasan adalah
berarti mengorbankan Rakyat-jelata itu”,—membinasakan Rakyat-jelata itu.
Marhaen dus, untuk mengulangi lagi, harus berjuang zonder damai sampai
keakar-akarnya kesengitan antitesa, berjuang zonder damai menjebol
keakar-akarnya stelsel
kapitalisme-imprealisme, berjuang zonder damai menanamkan akar-akarnya
pergaulan hidup yang baru,—berjuang zonder damai dengan bersemangat radikalisme
dan sepak-terjang radikalisme !
Tetapi
bagaimanakah jalan-jalannya kaum Marhaen menjelmakan machtsvorming yang
berazaskan radikalisme itu ? Tidak ada jalan dua, tidak ada jalan tiga,
melainkan ada satu jalan saja: jalannya massa-aksi. Dengan massa-aksi kaum
Marhaen bisa mengobar-ngobarkan semangatnya sampai kepuncak angkasa, dengan
massa-aksi mereka bisa menghebatkan kemajuannya menjadi sehebatnya gelombang
samudra, dengan massa-aksi mereka bisa mengolah mereka punya tenaga menjadi
tenaganya gempa. Dengan massa-aksi mereka bisa menyusun-nyusun punya geest, mereka punya will, mereka punya daden,—dengan massa-aksi
mereka bisa menyusun mereka punya machtsvorming sampai sekuasa-kuasanya.
Machtsvorming bukanlah penyusun tenaga wadag saja, machtsvorming adalah juga
penyusun tenaga semangat, tenaga kemauan, tenaga roch, tenaga nyawa. Rohani dan
jasmaninya massa menjadilah seolah-olah disiram air Kahuripan didalam
massa-aksi itu. Apa yang Marhaen satu persatunya tidak bisa menciptakan, apa
yang Marhaen satu persatunya bisa “menyemangatkan” dan “memaukan”, dapatlah
diciptakan oleh luluhan Marhaen yang sudah menjadi massa itu. Semangatnya
massa, kemauannya massa, keberaniannya massa, “apinya” massa, bukanlah sama
dengan semangat atau kemauannya Marhaen satu persatu, bukan sama dengan
jumlahnya semangat atau kemauan Marhaen-Marhaen itu semuanya,—tetapi massa
seolah-olah mempunyai “semangat-massa” sendiri, “kemauan-massa”
“keberanian-massa” sendiri, “api-massa” sendiri, yang lebih-lebih hebat
daripada jumlah semangat-semangat atau kemauan-kemauan itu adanya. “Api-massa”
inilah melahirkan “perbuatan-perbuatan massa” yang hebatnya bisa sampai
mengoyahkan sendi-sendinya masyarakat, ia, sampai menggugurkan masyarakat
dengan segala sendi-sendi dan alas-alasnya.
Sebab,
apakah arti massa itu ? massa bukanlah Cuma “Rakyat-jelata yang berjuta-juta” saja,
massa adalah Rakyat-jelata yang sudah terluluh mempunyai semangat satu, kemauan
satu, roch dan jiwa satu. Massa adalah deeg,
djeladren,luluhan. Ia dus bukan gundukan Rakyat-jelata saja yang
berlainan-lainan semangat dan kemauan, ia bukan misalnya gundukan Rakyat-jelata
apada waktu hari Lebaran,—yang sebagian ingin pergi kekuburan, yang sebagian
ingin pergi berjalan-jalan pamer pakaiannya yang baru, yang sebagian ingin
menemui pamili keluarganya untuk bersilahturrahmi—, ia adalah suatu luluhan
yang satu semangatnya, satu kemauannya, satu tekadnya, satu rohani dan
jasmaninya. Ia didalam riwayat-dunia selamanya adalah gundukan Rakyat-jelata,
yang karena sama-sama menderita tindasan daripada kaum atasan dan sama-sama
menderita nasib sengsara yang seolah-olah tak dapat terpikul lagi, sama-sama
pula timbul rasa-kemarahannya, sama-sama timbul kehendaknya melawan keadaan
yang menyengsarakan mereka itu, sama-sama berjuang membongkar keadaan
itu,—sama-sama terluluh menjadi satu luluhan radikal yang gerak-bangkit bergelora
sebagai ombak membanting di pantai.
Inilah
yang dinamakan massa-aksi : aksinya Rakyat-jelata yang sudah terluluh menjadi
jiwa baru, melawan sesuatu keadaan yang mereka tidak sudi pikul lagi. Memang
massa-aksi selamanya radikal. Memang massa-aksi adalah selamanya membuka dan
menjebol akar-akarnya sesuatu keadaan. Memang massa-aksi adalah selamanya mau
menanam akar-akarnya keadaan yang baru. Perubahan-perubahan yang besar dalam
riwayat dunia selamanya diparajikan oleh massa-aksi,—begitulah saja diatas tadi
berkata. Memang massa-aksi tidak bisa hebat kalau setengah-setengahan,
massa-aksi tidak bisa kalau hanya mau mengejar “keuntungan-keuntungan
kecil-ini-hari” saja. Massa-aksi barulah dengan sesungguh-sungguhnya
berderus-derusan menjadi massa-aksi, jikalau Rakyat-jelata itu sudah berniat
membongkar samasekali keadaan tua diganti samasekali dengan keadaan yang baru.
“Een nieuw levensideaal moet
de massa aanvuren”, “suatu cita-cita pergaulan hidup baru harus
menyala didalam dadanya massa”, begitulah menurut seorang pemimpin besar
syaratnya massa-aksi. Maka oleh karena itulah bagi kaum Marhaen satu kali akan
datang saatnya, yang juga massa-aksi kita akan hidup dan bangkit
sehebat-hebatnya: Kita punya cita-cita, kita punya idealisme bukanlah suatu
idealisme politik saja, kita punya idealisme bukanlah “Indonesia-Merdeka” saja,
kita punya idealisme adalah idealisme masyarakat-baru, suatu social idealisme yang
gilang-gemilang. Social-idealisme
inilah yang menjadi motor pertama kita punya massa-aksi !
Kaum
lunak disini juga sering mengemak-kemikkan perkataan “massa-aksi”. Kaum lunak
disini juga mau mengadakan “massa-aksi” . Amboi ! Seolah-olah massa-aksi bisa
dipisahkan daripada radikalisme. Seolah-olah Rakyat-jelata bisa menjadi massa
karena cita-cita yang bukan cita-cita Rakyat-jelata, yakni cita-cita
“bank-bank-an”, “rumah-sakit-rumah-sakitan”, “warung-warungan”. Seolah-olah
apinya Rakyat-jelata bisa dipasang dan dijadikan api-massa dengan api
melempemnya politik “pelan-pelanan” yang tidak bermaksud lenyap kapitalisme-imprealisme
sampai keakar-akarnya. Seolah-olah massa-aksi bisa”dibikin” dengan mereka punya
politik yang sampai kiamat “berfikir” dan “menghitung-hitung”. Seolah-olah
riwayat-dunia tidak saban-saban menunjuk, bahwa “nimmer kan de massa langs den weg der zuiver
verstandelijke berekening tot heroische daden bezield worden”,
yakni bahwa “massa tak pernah bisa disuruh melahirkan perbuatan-perbuatan besar
dengan politik menghitung-hitung ! “[i]
O,
kini kita mengerti : mereka memang tidak tahu apakah massa-aksi itu ! Mereka
mengira, bahwa massa-aksi adalah vergadering-openbaar
yang berbarengan ! Mereka mengira sudah “mengadakan massa-aksi”, kalau sudah
mengadakan rapat-rapat-umum dimana-mana ! Haha, mereka mengira bahwa
“massa-aksi” itu boleh mulai pukul sembilan pagi dan berhenti pukul satu siang
! Kalau begitu gampang membikin massa-aksi, kalau begitu gampang membikin
massa-aksi boleh “diperintahkan” menurut “sakersa-kersanya saja” juragan
pemimpin, barangkali massa-aksi di Indonesia sehebat-hebatnya, dan…….Indonesia
sudah merdeka ! Tetapi tidak ! –Massa-aksi bukan “vergadering-vergadering-openbaar yang
berbarengan” harus mulai pukul sembilan teng pagi-pagi ! Massa-aksi tidak bisa
“diperintahkan” atau “dibikin” orang, tidak bisa dipabrikkan oleh pemimpin,
tidak bisa “harus mulai pukul sembilan teng”, massa-aksi adalah didalam
hakekatnya bikinan masyarakat yang mau melahirkan masyarakat baru, dan
karenanya butuh akan “seorang paraji”. Massa-aksi adalah aksinya Rakyat-jelata
yang, karena kesengsaraan, telah terluluh menjadi satu jiwa baru yang radikal,
dan bermaksud “memarajikan” terlahirnya masyarakat baru!
Tidak
! Kaum lunak dengan kelunakannya itu memang tidak bisa “mengadakan” massa-aksi,
mereka memang tidak bisa menjadi motornya massa-aksi, memang tidak bisa
terpanggil oleh riwayat untuk menjadi motornya massa-aksi,—walaupun misalnya
perhimpunannya beranggota ribuan, ketian, jutaan ! Sebab—tadi sudah saja
terangkan—, massa-aksi meminta radikalisme, berisi radikalisme, vooronderstellen radicalisme.
Paling mujur kaum lunak itu dengan kelunakannya, kalau bisa menggerakkan
beribu-ribu Rakyat-jelata, hanya melahirkan massa-aksi belaka.
Apakah
massale actie ?
Massacale actie adalah “pergerakan” Rakyat, yang benar orangnya ribuan atau
ketian atau jutaan, yang benar jumlah orangnya besar sekali, tapi yang tidak
radikal, tidak sociaal-revolutionair,
tidak bermaksud membongkar akar-akarnya masyarakat-tua, untuk mendirikan
masyarakat baru dengan akar-akar yang baru. Massale
actie bukan luluhan Rakyat-jelata yang menyala-nyala apa-massanya,
bukan massa didalam makna djeladren
atau deeg
yang satu jiwanya dan satu nyawanya, melainkan hanya gerombolan Rakyat belaka
yang tidak bernyawa satu. Massale
actie tak bisa melahirkan masyarakat baru, dan memang bukan
parajinya masyarakat baru. Lihatlah misalnya pergerakan Rakyat Indonesia dulu,
tatkala Sarekat Islam baru lahir di dunia. Lihat pula pergerakan Rakyat di
Ngajodya sekarang, yakni di Matarram. Ribuan, ketian, laksaan, jutaan Rakyat
sama bergerak, jutaan Rakyat sama “beraksi”,—tetapi aksinya itu hanyalah suatu massacale actie belaka.
Aksinya bukan suatu massa-aksi, oleh karena tidak bersifat luluhan tapi
bersifat gerombolan, tidak sociaal-radicaal
tapi sociaal-behoundend,
tidak bermaksud membuang segenap masyarakat tua tapi hanya bermaksud menambal
amohnya masyarakat itu.
Massa-aksi
dan massacale actie,—hendaklah
pemimpin-pemimpinnya kaum Marhaen senantiasa memperhatikan perbedaannya antara
dua perkataan itu. Hendaklah pemimpin-pemimpin itu jangan lekas tersilaukan
mata, kalau melihat “banyak orang” sama “bergerak”, dan lantas mengira : “ha,
Indonesia kini lekas merdeka”. Sebab “banyaknya orang”, misalnya dizaman baru
munculnya Sarekat Islam didunia, tatkala semua haluan ada gerombolan menjadi
satu, tatkala disitu ada kaum Marhaennya, ada kaum priayayinya, ada kaum
saudagarnya, ada kaum borjuisnya, tatkala Sarekat Islam menjadi gado-gado
haluan Islamisme, nasionalisme dan “sosialisme”, tatkala dus pergerakan Sarekat
Islam itu bukan pergerakan luluhan tapi hanya suatu pergerakan gerombolan,
bukan massa-aksi tetapi massale
aksi,—adakah banyaknya orang dipergerakan Sarekat Islam itu bisa
memarajikan masyarakat baru, bahkan : adakah pergerakan Sarekat Islam itu bisa
mendatangkan perubahan-perubahan yang agak besar ? Adakah, begitulah saya
malahan bertanya, Sarekat Islam itu bisa membangkitkan massa-aksi ? Tidak,
pergerakan Sarekat Islam yang dulu itu tidak bisa membangkitkan massa-aksi,
tidak bisa menjadi motornya massa-aksi, oleh karena tidak berdiri diatas
pendirian yang radikal. Ia tidak berdiri diatas antitesa sana-sini, ia tidak
berprogram Indonesia-Merdeka, ia tidak berprogram terang-terangan mau menjebol
semua akar-akarnya stelsel
kapitalisme-imprealisme, ia tidak politiek-radicaal,
tidak sociaal-radicaal.
Oleh
karena itu, maka partai Marhaen yang bermaksud menjadi partai pelopornya
massa-aksi, haruslah selamanya mempunyai azas-perjuangan dan program yang 100%
radikal: antitesa, perlawanan zonder damai, kemarhaenan, melenyapkan cara
susunan masyarakat sekarang, mencapai cara susunan masyarakat baru,—itu semua
harus tertulis dengan aksara yang berapi-apian diatas benderanya partai dan
diatas panji-panjinya partai. Tetapi azas, azas-perjuangan dan program yang
dituliskan diatas bendera dan panji itu akan tidak banyak berarti, akan
seakan-akan omong kosong, akan tinggal aksara yang mati belaka, jikalau tidak
kita kerjakan dengan habis-habisan kita punya enenrgi,—membanting kita punya
tulang, memeras kita punya keringat, mengulur-ulur kita punya tenaga
menjelmakan segala apa yang termaktub didalamnya dan segala apa yang dijanjikan
kepada massa. Azas, azas-perjuangan dan program itu akan tinggal aksara yang
mati, jikalau kita tidak berjuang dengan segala keuletannya dan kegagahannya
partai pahlawan yang lebih sanggup disuruh bekerja mati-matian daripada disuruh
berhenti, berjuang mengerjakan segala kewajibannya suatu partai pelopor, yakni
berjuang membangkitkan massa-aksi dan mengomando massa-aksi kearah surganya dan
kemenangan.
Dan
bagaimana partai-pelopor harus berjuang ? Partai-pelopor pertama-tama harus
menyempurnakan diri sendiri. Ia belum bisa menjadi partai-pelopor yang
sempurna, sebelum ia sendiri sempurna didalam keyakinannya, didalam
disiplinnya, didalam organisasinya, didalam rohaninya dan jasmaninya. Oleh
karena itu ia pertama-tama harus memperkokoh rohani dan jasmaninya sendiri
lebih dulu, membikin dan menjaga yang segenap sifat-hakekatnya, segenap
wezennya, adalah teguh dan kokoh sebagai baja.
Rohani
dikokohkan dengan penjuluhan teori kepada anggota-anggotanya, penjuluhan dengan
kursus dan majalah dan lain sebagainya tentang segala seluk-beluknya nasib
mereka, musuh mereka, perjuangan mereka, agar supaya semua anggota partai
menjadi satu keyakinan, satu semangat, satu kemauan-maha-hebat mau berjuang
habis-habisan menundukkan musuh yang kini nyata-nyata angkara-murkanya, melalui
jalan yang kini nyata-nyata terang dan manfaatnya. Hanya dengan penjuluhan
teori yang demikian itu,—teori yang radikal—, maka partai-pelopor bisa
mengeraskan rohaninya baja, dan bisa menuntun massa kedalam perjuangan yang
radikal. “Ohne radikale Theorie keine radikale
Bewegung”, “zonder teori-radikal mustahil ada pergerakan-radikal”,
adalah suatu ucapan Marx yang jitu dan berisi kebenaran yang senyata-nyatanya.
Segala seluk-beluk pergerakan, seluk-beluknya azas, azas perjuangan dan
program, segala seluk-beluknya, strategi dan taktik haruslah menjadi satu
keyakinan yang terang-benderang bagi segenap partai,satu zat perjuangan yang menyerapi
darah dagingnya segenap anggota partai, sehingga partai menjadi satu jiwa yang
yakin dan tak kenal akan sjakwangsangka.
Tiap-tiap anggota partai yang nyeleweng kearah reformisme, tiap-tiap fikiran
yang nyeleweng kearah reformisme, tiap-tiap fikiran yang nyeleweng kearah
reformisme harus “diuji” sebersih-bersihnya, dan kalau tidak bisa menjadi
“bersih” ditendang dari kalangan partai zonder pardon dan zonder ampun !
Pembaca
membantah : kalau begitu tidak ada demokrasi didalam kalbunya partai ! Memang !
Partai didalam kalbu sendiri tidak boleh berdemokrasi didalam makna “semua
fikiran boleh merdeka”,—tidak boleh berdemokrasi didalam makna segala
“isme” boleh leluasa,—partai hanyalah mengenal satu fikiran dan satu isme
: fikiran dan isme radikal yang 100% tanggung mengalahkan musuh. Demokrasi yang
boleh dalam kalbunya partai-pelopor bukan demokrasi biasa, demokrasi
partai-pelopor itu adalah demokrasi yang dengan bahasa asing dinamakan democratisch-centralisme :
suatu demokrasi, yang memberi kekuasaan pada pucuk-pimpinan buat menghukum
tiap-tiap penyelewengan, menendang tiap-tiap anggota atau bagian-partai yang
membahayakan strijdpositienja
massa. “Didalam partai tak boleh ada kemerdekaan fikiran yang semau-maunya
saja; kokohnya persatuan partai itu adalah terletak didalam persatuan
keyakinan”. Inilah ajaran seorang pemimpin besar tentang kepartaian yang sangat
harus diperhatikan. Tiap-tiap penyelewengan tak boleh diampuni; tiap-tiap
penyelewengan harus didenda dengan dampratan yang sepedas-pedasnya atau tendangan
yang sesegera-segeranya. Sebab partai-pelopor yang didalam kalbunya sendiri
masih sleweng-sleweng,
partai-pelopor yang didalam kalangan sendiri masih ragu-ragu, partai-pelopor
yang demikian itu mustahil bisa mempelopori massa !
Dan
bukan saja menghukum menyeleweng kearah reformisme ! penyelewengan kearah
anarcho-syndicalisme-pun, penyelewengan kearah amuk-amukan zonder fikiran,
penyelewengan kearah perbuatan-perbuatan atau fikiran-fikiran cap mata-gelap,
harus juga dikoreksi dan mendapat dampratan. Penyelewengan inilah yang sering
mengeluarkan tuduhan “penghianatan” alias “verraad”
kalau partai menurut keyakinannya tak dapat tahu bedanya antara kekirian
radikal dan kekirian desosial,—antara kekirian yang memikul dan terpikul natuur
dan kekirian yang memikul dan terpikul hawa nafsu amarah yang tak terimbang.
Partai yang sehat selamanya harus memerangi dua macam penyelewengan
itu,—selamanya strijden naar
twee froten—, agar supaya ia bisa menjadi satu penunjuk jalan
radikal yang teguh dan yakin bagi banjirnya massa-aksi yang
bergelombang-gelombang menuju kelautan merdeka.
Oleh
karena itulah maka salah satu syaratnya partai-pelopor adalah disiplin.
Disiplin, disiplin yang kerasnya sebagai baja, disiplin yang zonder ampun dan
zonder pardon menghukum tiap-tiap anggota yang berani melanggarnya, adalah
salah satu nyawa dari partai-pelopor itu ! Bukan saja disiplin terhadap pada
ideologinya radikalisme; bukan saja disiplin terhadap pada “bagian teori”
daripada radikalisme. Tetapi juga disiplin terhadap pada segala halnya partai :
disiplin teori, disiplin teori, disiplin organisasi, disiplin taktik, disiplin
propaganda,—pendeknya partai disegala urat-uratnya dan syaraf-syarafnya harus
sebagai suatu mechanisme yang tiap-tiap skrup dan tiap-tiap rodanya berdisiplin
hingga seksama.
Dalam
pada itu partai tidak boleh menjadi mesin yang tak bernyawa dan tak berubah.
Partai yang demikian adalah partai yang tak hidup, dan tofan-zaman akan
segeralah menyapunya dari muka bumi. Partai yang memikul dan terpikul natuur
haruslah hidup sebagai natuur sendiri, ber-evolusi sebagai natuur sendiri. Yang
harus dicegah dan diperangi bukanlah hidupnya partai, bukanlah evolusinya
partai, bukanlah levensprocesnya partai. Yang harus dicegah dan diperangi ialah
penyakitnya partai, penyakit penyelewengan yang membahayakan sehatnya
badan-radikalisme itu. Juga natuur sendiri tidak pernah sleweng-sleweng, juga
natuur sendiri selamanya memerangi tiap-tiap penyakit ! Tiap-tiap barang baru
yang menyuburkan dan menyehatkan badan-radikalisme itu haruslah diterima dengan
gembira, tetapi tiap-tiap penyakit badan itu harus lekas diobati dengan “kejam”
dan zonder ampun. Centralisme
yang harus ada didalam kalbunya partai bukanlah centralismenya seorang
diktator, centralisme
itu harus democratisch
centralisme yang partai sendiri menjadi cakrawartinya. Tetapi
sebaliknya demokrasi yang harus didalam kalbunya partai bukanlah pula demokrasi
yang memberi keleluasaan pada segala apa saja, demokrasi itu haruslah centralistische democratie yang
memerangi segala penyakit radikalisme !
Democratie-centralisme dan centalistische democratie ,—itulah sifatnya
partai-pelopor bagian kedalam. Tapi bagaimana partai-pelopor itu mempelori
massa ? Bagaimana sikapnya keluar ? Sikap partai keluar haruslah selamanya
cocok dengan kemauan-yang-onbewust
daripada massa, cocok dengan instinctnya
massa. Tidak boleh sedikit pun ia menyimpang daripada instinct ini, tidak boleh
sedipun juga ia menghianati instinct
ini. Sebab instinctnya
massa itulah yang dinamakan “kekuatan-rahasia” daripada masyarakat. Siapa yang
menjelajahi kekuatan-rahasia ini, menghianati kekuatan-rahasia ini, akan
segeralah mengalami yang ia lindas oleh rodanya masyarakat, hancur-lebur
menjadi debu. Yang harus dikerjakan oleh partai-pelopor bukannya menghianati
atau merubah kemauan-yang-onbewust
daripada massa, yang harus dikerjakan olehnya ialah membikin kemauan-yang-onbewust itu menjadi
kemauan-yang-bewust,
memberi “keinsyafan” kepada instinct
itu hingga menjadi kemauan-bewust
yang yakin dan terang. Kekuatan-kekuatan massa yang tadinya tenang seolah-olah
tidur, haruslah dibangun dengan Air-Kahuripannya Keinsyafan menjadi kekuatannya
massa-wil yang bangkit dan tak dapat terhalang, ya, yang malahan bila sudah
matang sematang-matangnya, menjadi massa-wil yang kehebatan bangkit bisa
menggetarkan dunia.
Inilah
pekerjaan partai-pelopor yang pertama : mengolah kemauan-massa yang tadinya onbewust itu hingga
menjadi kemauan-massa bewust.
Bentukan dan kontradiksinya perjuangan harus ia ajarkan pada massa dengan jalan
yang gampang dimengerti dan yang masuk sampai kehati-hatiannya dan
akal-semangatnya. Ia harus membuka-buka mata massa, menggugah-gugah keyakinan
massa, mengobar-ngobarkan semangat massa tentang segala seluk-beluknya nasib
dan perjuangan massa. Ia harus memberi keinsyafan tentang apa sebabnya massa
sengsara, apa sebabnya kapitalisme-imprealisme bisa merajalela, apa sebabnya
harus menuju kejembatan Indonesia-Merdeka, bagaimana jembatan itu harus
dicapai, bagaimana membongkar akar-akarnya kapitalisme. Ia pendek-kata harus memberi
pendidikan dan keisyafan pada massa buat apa ia berjuang, dan bagaimana ia
harus berjuang. Dengan banyak propaganda, massa harus dibuka matanya, dirobek
kudung ke-onbewustannya
sehingga menjadi bewust
melihat segala rahasianya dunia : rapat-rapat umum harus mendengung-dengungkan
seruan partai sampai kepuncak angkasa, surat-surat majalah dan selebaran harus
terbang kian kemari sebagai daun sejati yang tertiup angin dimusim kemarau,
demontrasi-demonstrasi harus beruntun-runtunan sebagai runtunannya ombak
samudra. Dengan jalan yang demikian itu,—dengan bersikap cocok dengan instinctnya massa dan membewustkan instinct massa itu—,
dengan jalan yang demikian itu, tidak boleh tidak, massa tentu lantas
mengindahkan seruannya partai, tentu langsung memandang kepada partai itu
sebagai suatu pelopor yang ia dengan penuh kepercayaan suka mengikuti. Diantara
obor-obornya pelbagai partai yang masing-masing mengaku mau menjuluhi
perjalanan Rakyat, massa lantas melihat hanya satu obor yang terbesar nyalanya
dan terterang sinarnya, satu obor yang terdepan jalannya, yakni obornya kita
punya partai, obornya kita punya radikalisme !
Tetapi
memberi keinsyafan saja belum cukup, memberi ke-bewust-an saja belum cukup. Keinsyafan
adalah benar sangat menghebatkan kemauan massa, keinsyafan adalah sangat
mengobarkan semangat massa, keinsyafan adalah benar sangat membajakan
keberanian massa,—mengusir tiap-tiap kemauan reformisme dari darah-daging
massa—, tetapi keinsyafan sepanjang teori saja belum bisa cukup. Rakyat barulah
menjadi radikal didalam segala-galanya kalau keinsyafan itu sudah dibarengi
dengan pengalaman-pengalaman sendiri, yakni dengan ervaringen sendiri. Pengalaman-pengalaman
inilah yang sangat sekali membuka mata massa tentang kekosongan dan kebohongan
taktik reformisme,—meradikalkan semangat massa, meradikalkan kemauan massa,
meradilkalkan keberanian massa, meradikalkan ideologi dan activiteitnya massa.
“Bukan saja Rakyat tak dapat menulis dan membaca, tetapi juga Rakyat yang
terpelajar, haruslah mengalami diatas kulitnya sendiri, betapa kosong, bohong,
munafik, dan lemahnya politik tawar-menawar, dan sebaliknya betapa kaum borjuis
saban-saban menjadi gemetar bilamana dihadapi dengan suatu aksi yang radikal,
yang hanya kenal satu hukum,—hukumnya perlawanan yang tak mau kenal damai”.
Inilah ajaran pemimpin besar yang tadi juga sudah sekali saja pinjam
perkataannya. Oleh karena itu, partai-pelopor tidak harus hanya membuka mata
massa saja;—partai-pelopor harus juga membawa massa keatas padangnya
pengalaman, keatas padangnya perjuangan. Diatas padangnya perjuangan inipun
partai-pelopor ini pun mengolah tenaganya massa, memelihara dan
membesar-besarkan kekuatannya, mengukur-ukur dan menakar-nakar keuletannya
massa, menggembleng kekerasan-hati dan energinya massa,—men-“train” segala
kepandaiannya dan keberaniannya massa untuk berjuang. “Lebih menggugahkan
keinsyafan daripada semua teori adalah perbuatan, perjuangan. Dengan
kemenangan-kemenangan perjuangannya melawan simusuh, maka partai menunjukkan
kepada massa betapa besar kekuatannya massa itu, dan oleh karenanya pula,
membesarkan rasa-kekuatan massa dengan sebesar-besarnya. Tetapi sebaliknya
juga, maka kemenangan-kemenangan ini hanyalah bisa terjadi karena suatu teori,
yang memberi penjuluhan kepada massa, bagaimana caranya mengambil hasil yang
sebanyak-banyaknya daripada kekuatan-kekuatannya setiap waktu”,—begitulah
perkataan salah seorang pemimpin lain, dengan sedikit perubahan.
Hanya
begitulah sikap yang pantas menjadi sikap suatu partai-radikal yang dengan
yakin mau menjadi partai-pelopornya massa : menjuluhi massa, dan berjuang
habis-habisan dengan massa; menjuluhi massa sambil berjuang dengan
massa,—berjuang dengan massa sambil menjuluhi massa. Didalam perjuangan ini
partai-pelopor harus selamanya mengarahkan mata massa dan perhatian massa
kepada maksud yang satu-satunya harus menjadi idam-idaman massa : gugurnya stelsel
kapitalisme-imprealisme via jembatan Indonesia-Merdeka. Partai-pelopor haruslah
selamanya tetap mengonsentrasikan semangat massa, kemauan massa, energi massa
kepada satu-satunya maksud itu,—dan tidak lain. Tiap-tiap penyelewengan harus
ia buka kedoknya dimuka massa, tiap-tiap penghianatan kepada radikalisme harus
ia hukum dimuka mahkamatnya massa, tiap-tiap keinginan akan “menggenuki”
untung-untung-kecil-hari sekarang harus ia bakar diatas dapurnya massa,
tiap-tiap aliran yang hanya mau menambal masyarakat-amoh ini harus ia musnahkan
dengan simumnya radikalisme massa. Satu tujuan, satu arah perlawanan, satu
tekad pergulatan, dan bukan dua-tiga, yakni tujuan radikal,—zonder banyak
menoleh-noleh melihat dan menggenuki hasil-hasil-kecil-ini-hari!
Dus
massa tidak boleh beraksi buat hasil-hasil-kecil-ini-hari ! Tidak begitu, sama
sekali tidak begitu ! Massa hanya tidak boleh menggenuki aksi buat
hasil-hasil-kecil itu, sehingga lantas lupa akan maksud besar yang
tadi-tadinya, atau menomor-duakan maksud-besar yang tadi-tadinya itu. Massa
sambil berjalan harus tetap menuju dan mengarahkan matanya kearah puncak gunung
Indonesia-Merdeka, memandang hasil-hasil-kecil-itu hanya sebagai bunga-bunga
yang ia sambil lalu petik dipinggir jalan. Sebab, selamanya, stelsel
kapitalisme-imprealisme belum gugur, maka massa tidak bisa mendapatkan
perbaikan nasib yang 100% sempurnanya. Tapi, asal tidak “digenuki”, asal tidak
dinomor-satukan, maka perjuangan untuk hasil-sehari-hari itu malahan adalah
baik juga untuk memelihara strijdvaardigheidnya
massa. Perjuangan untuk hasil-sehari-hari itu malahan harus dijadikan suatu
tempat mengolah tenaga dan mengasah hati,—suatu scholing, suatu training, suatu gemblengan-tenaga didalam
perjuangan yang lebih besar. “ohne
den Kampf fur Reformen gibt es keinen erfolgreichen Kampf fur die
vollkommene Befreiung, onhe den Kampf fur die vollkommene keinen erfolgreiche
Kampf fur Reformen” : —“zonder perjuangan buat kemerdekaan, tiada
kemenangan bagi perjuangan buat perubahan sehari-hari.” Oleh karena itulah
partai-pelopor harus membikin pergerakan massa itu menjadi “nationale bevrijdingsbeweging en
hervormingsbeweging tegelijk”, pergerakan untuk kemerdekaan dan
untuk perbaikan-perbaikan-ini-hari. Ya, partai-pelopor harus mengerti pula
bahwa “die Reform ist ein
Nebenprodukt des radikalen Massenkampfes” yakni bahwa
“Perbaikan-kecil-kecil itu adalah rontokan daripada perjuangan massa secara
radikal”.
Banyak
kaum yang menyebut dirinya kaum : “radikal 100%, yang emoh akan “perjuangan
kecil” sehari-hari itu. Mereka dengan jijik mencibir kalau melihat partai
mengajak massa berjuang buat turunnya belasting, buat lenyapnya herendienst, buat
tambahnya upah buruh, buat turunnya tarif-tarif, buat lenyapnya bea-bea, buat
perbaikan kecil-sehari-hari, dan selamanya dengan angkuh berkata : “Seratus
persen kemerdekaan,—dan hanya aksi buat seratus persen kemerdekaan ! “ Ach,
mereka tidak mengetahui, bahwa didalam radicale
politiek tidak adalah pertentangan antara perjuangan buat
perubahan-sehari-hari dan perjuangan buat kemerdekaan yang leluasa, tetapi
justru disesuatu hubungan yang rapat sekali, suatu “perkawinan” yang rapat
sekali, suatu wisselwerking”
yang rapat sekali. “Zonder perjuangan buat perubahan sehari-hari, tiada
kemenangan bagi perjuangan buat kemerdekaan; zonder perjuangan buat
kemerdekaan, tiada kemenangan bagi perjuangan buat perubahan sehari-hari” !
Inilah a-b-c-nya radicale
actie, inilah ha-na-ca-ra-ka-nya perlawanan radikal :
perlawanan-kecil sebagai “moment”
daripada perlawanan yang besar, perlawanan-kecil sebagai schakel didalam rantai
perlawanan yang besar,—perbedaan sama sekali setinggi langit dengan
“perlawanannya” kaum reformis yang hingga buta menggenuki perjuangan
sehari-hari untuk perjuangan sehari-hari. Semboyannya “kaum 100%” yang berbunyi
: “Seratus persen kemerdekaan, dan hanya aksi buat seratus persen kemerdekaan”,
semboyan itu harus kita koreksi menjadi “seratus persen kemerdekaan, dan aksi
apa saja yang mencepatkan seratus persen kemerdekaan ! “, dan politik
reformisme harus kita enyahkan kedalam kabutnya keadaan, kita usir kedalam
liang-kuburnya kematian,—komedi bodor ketawanya Rakyat. Demikian, dan hanya
demikian partai-pelopor harus bekerja !
Tapi
toh masih ada satu hal lagi dari “kaum 100%” itu yang harus kita koreksi :
mereka biasa sekali mendo’akan Rakyat menjadi lebih sengsara, katanya supaya
Rakyat lantas suka bergerak habis-habisan ! Mereka suka-syukur, kalau belasting dinaikkan, kalau
upah-buruh diturunkan, kalau bea-bea dinaikkan, kalau tarif-tarif ditinggikan,
kalau Marhaen disengsarakan,—semua “supaya Marhaen lebih rajin suka bergerak”.
O, suatu pendirian yang jahat sekali, suatu pendirian yang durhaka sekali.
Orang yang mempunyai pendirian yang demikian itu pantas ditutup didalam penjara
seumur hidup ! Kaum “pemimpin-pemimpin” yang demikian inilah yang selama ini
saya namakan pemimpin-bejat yang kepalanya penuh dengan kebutekannya orang yang
putus-asa, pemimpin-bejat yang pikirannya keblinger
dan penuh dengan “wanhoopstheorie”.
Wanhoopstheorie,
keputus-asaan, oleh karena mereka dengan kesengsaraan Rakyat yang sekarang ini
tidak bisa membewustkan
Rakyat, dan lantas mengharap supaya Rakyat menjadi lebih sengsara, lebih
melarat. Wanhoopstheorie,
oleh karena mereka lekas putus-asa kalau mengalami bahwa Rakyat tak gampang dibewustkan dengan
satu-dua-tiga, dan lantas mengharap supaya Rakyat lebih lagi mendekati maut,
katanya agar Rakyat lantas gampang sedar dan sukar bergerak secara radikal ! O,
pemimpin-bejat ! Pemimpin kejam ! Bergerak tidak buat meringankan nasib Rakyat,
tapi bergerak buat…..bergerak ! “Pemimpin” yang demikian itu boleh sendiri
merasakan apa artinya makan hanya satu kali satu hari ! Mengharap tambahnya
kesengsaraan Rakyat ! Apakah Rakyat kini belum cukup sengsara ? Belum cukup
megap-megap ? Belum cukup dekat dengan maut ? Belum cukup menjatuhkan air-mata
sehari-hari ?
Tambahnya
kesengsaraan diharapkan diharapkan buat tambahnya radikalisme ? Pemimpin-bejat,
buat saja, lemparkanlah kalau perlu semua radikalisme kedalam samudra, asal
kesengsaraan Rakyat hilang ! Pemimpin bodoh, —mengira bahwa kesengsaraan saja
sudah bisa melahirkan radikalisme massa ! Radikalisme massa tidak bisa subur
dengan hanya kemelaratan saja. Radikalisme massa adalah lahir daripada
perkawinannya kesengsaraan massa dengan didikan massa, perkawinannya
kesengsaraan massa dengan didikan massa, perkawinannya kemelaratan massa dengan
perjuangan massa ! jikalau kesengsaraan saja sudah cukup buat melahirkan
radikalisme massa, amboi, barangkali seluruh Rakyat Indonesia kini sudah
radikal “mbahnya radikal, ya barangkali Indonesia sudah merdeka ! Tetapi tidak
! Kesengsaraan saja tidak cukup ! “Kesengsaraan memang benar melahirkan
radikalisme massa, tetapi hanya kalau massa itu tidak memikul kesengsaraan itu
dengan diam-diam nrimo, melainkan berjuang habis-habisan melawan kesengsaraan
itu saban hari “,—begitulah Liebknecht
pernah berkata[ii],
Hanya jikalau kesengsaraan itu dibarengi dengan didikan massa, dibarengi dengan
perjuangan massa, dengan perlawanan massa, dengan aksi massa menentang
kesengsaraan itu, maka kesengsaraan bisa melahirkan dan menyuburkan radikalisme
diantara kalangan massa. Maka olehnya karena itu, dengan kesengsaraan yang
sekarang ini saja,—zonder harus mengharapkan lagi tambahnya, sebagai kaum wanhoopstheorie—,
partai-pelopor sudah bisa membikin seluruh massa menjadi satu lautan
radikalisme yang bergelombang-gelombangan, asal saja ia pandai membuka mata
massa dan pandai mengolah tenaga massa melawan kesengsaraan itu !
Dan
kaum wenhoopstheorie
memberi bukti tidak bisa mengerjakan hal yang belakangan ini. Terkutuklah
mereka kalau lantas mendo’akan tambahnya kesengsaraan Rakyat ! Audzhubillah himinasj sjaitonirrodzjim
!
Tetapi
kaum partai-pelopor yang sejati, kamu harus bisa mengerjakan syarat itu !
Adakanlah propaganda dimana-mana, adakanlah kursus dimana-mana, adakanlah
perlawanan dimana-mana, adakan anak-anak organisasi, adakan vakbond-vakbond dan
sarekat-tani—, adakan majalah-majalah dan pamflet-pamflet dan risalah-risalah,
pendek-kata adakanlah aksi dimana-mana, dan massa yang tadinya tidur
seakan-akan tergendam oleh sapa-mantramnya imprealisme, niscaya akan bangunlah
tertiup oleh angin-hangatnya aksimu itu. Kamu sanggup bekerja,— wahai
bekerjalah menurut perjanjianmu. Bekerjalah dengan segala organisatie-talentmu,
bekerjalah sepuncak keuletanmu, bekerjalah memeras tenagamu menyusun dan
membangkitkan partai beserta vakbond-vakbond
dan sarekat-tani, —sekali lagi terutama vakbond
dan sarekat-tani !—, ya didalam massa-aksi ada faedahnya juga banyak
bergembar-gembor ! Gemborkanlah juga gurungmu sampai suaramu memenuhi alam,
gerakkanlah juga penamu sampai ujungnya menyala-nyala. Kaum reformis
mengejekkan kamu, bahwa kamu terlalu banyak bergembar-gembor ? Haha, itu kaum
ngalamun ! Tidak mengetahui bahwa tiap-tiap massa-aksi ditiap-tiap waktu
pergolakan adalah berupa banyak mengorganisasi dan banyak
bergembar-gembor,—banyak menyusun, banyak mendirikan, banyak kracheten-contructie dan-formatie
dan-combinatie, tetapi juga banyak bergembar-gembor dengan mulut dan pena. Biar
mereka mengejek, biar mereka terus ngelamun, mereka punya politik toh segera
akan kedinginan didalam kabut-pengalamunannya itu. Dan mereka menyebutkan kita
kaum “destructief
“, yakni kaum yang “hanya bisa merusak saja” katanya tidak “contructief” seperti
mereka, yang “politiknya” ada “buktinya” yang berupa rumah-sakit atau
warung-koperasi atau bank atau rumah anak-yatim ?
O,
perkataan jampi-jampi, o, perkataan peneluh, o, perkataan mantram, o, tooverwoord “contructief” dan “destructief “,—begitlah
saya pernah marah-marah dalam S.I.M[iii] dan F.R[iv] Sebagian
besar dari pada pergerakan Indonesia kini seolah-olah kini kena gendhamnya mantram itu !
Sebagian besar pergerakan Indonesia mengira, bahwa orang adalah “contructief” hanya kalau
orang mengadakan barang-barang yang boleh di raba saja, yakni hanya kalau orang
mendirikan warung, mendirikan koperasi, mendirikan sekolah-tenun, mendirikan
rumah anak-yatim, mendirikan bank-bank dan lain-lain sebagainya saja,
—pendek-kata hanya kalau orang banyak mendirikan badan-badan sosial saja ! —,
sedang kaum propagandis politik yang sehari-kesehari “Cuma bicara saja” diatas
podium atau didalam surat-kabar, yang barangkali sangat sekali menggugahkan
keinsyafan politik daripada Rakyat-jelata, dengan tiada ampun lagi diberinya
cap “destructief
“ alias orang “merusak” dan “tidak mendirikan suatu apa” !
Tidak
sekejap mata masuk didalam otak kaum itu, bahwa semboyan “jangan banyak bicara”
bekerjalah !” harus diartikan dalam arti yang luas. Tidak sekejap mata masuk
didalam otak kaum itu, bahwa “bekerja” itu tidak hanya berarti mendirikan
barang-barang yang boleh dilihat dan diraba saja, yakni barang-barang yang tastbaar dan materill.
Tidak sekejap mata kaum itu mengerti bahwa perkataan “mendirikan” itu juga boleh
dipakai untuk barang yang abstrak, yakni bisa berarti mendirikan semangat,
mendirikan keinsyafan, mendirikan harapan, mendirikan ideologi atau geestelijk gebouw atau geestelijke artillerie
yang menurut sejarah-dunia akhirnya adalah salahsatu artillerie yang hebat buat
menggugurkan sesuatu stelsel.
Tidak sekejap mata kaum itu mengerti bahwa terutama sekali di Indonesia dengan
masyarakat yang merk-ketjil
dan dengan imprealisme yang industriil itu, ada baiknya juga kita
gembar-gembor, didalam arti membanting kita punya tulang, mengucurkan kita
punya keringat, memeras kita punya tenaga untuk membuka-bukakan matanya
Rakyat-jelata tentang stelsel
yang mencengkram padanya, menggugah-gugahkan keinsyafan-politik daripada
Rakyat-jelata itu, dibarengi dengan menyusun-nyusunkan segala tenaganya didalam
organisasi-organisasi yang sempurna tekniknya dan sempurna disiplinnya,
misalnya vanbond
dan sarekat-tani, —pendek-kata menghidup-hidupkan dan membesar-besarkan
massa-aksi daripada Rakyat-jelata itu adanya !
Kita
boleh mendirikan warung, kita boleh mendirikan koperasi, kita boleh mendirikan
rumah anak-yatim, kita boleh mendirikan badan-badan ekonomi dan sosial, ya,
kita ada baiknya mendirikan badan-badan ekonomi dan sosial, asal saja
mengusahakan badan-badan-ekonomi dan sosial itu sebagai tempat-tempat
pendidikan persatuan radikal dan sepak-terjang radikal. Kita ada baiknya
mendirikan badan-badan-ekonomi dan sosial itu, asal saja kita tidak
“menggenuki” pekerjaan-ekonomi dan sosial itu menjadi pekerjaan yang pertama, sambil
melupakan bahwa Indonesia-Merdeka hanyalah bisa tercapai dengan politieke massa-actie daripada
Rakyat Marhaen yang hebat dan radikal. Pendek-kata ada baiknya mendirikan
badan-badan-ekonomi dan sosial itu, asal saja kita mengusahakan
badan-badan-ekonomi dan sosial itu sebagai alat-alat daripada politieke massa-actie yang
hebat dan radikal itu ! Kita, kaum massa-aksi, kita jangan terkena “contructivisme” yang
menyuruh kita hanya mendirikan warung-warung dan kedai-kedai saja. Kita harus
insyaf, bahwa contructivisme
kita bukanlah contructivismenya
kaum reformis yang warung-warungan dan kedai-kedaian itu, tetapi ialah contructivismenya
radikalisme : contructivismenya
yang tiap-tiap hal yang ia dirikan, baik wadag
maupun halus, baik benda maupun semangat, adalah dengan tertentu bersifat radicaal-dynamisch
membongkar tiap-tiap batu asalnya gedung stelsel
imprealisme dan kapitalisme.
Contructivisme yang mendirikan!
Tetapi
juga contructivisme
yang membongkar!
Dan
kaum reformis boleh terus mengejek atau menggerutu!
[1] Artinya
concessie : Kalau simusuh, karena desakan kita, lantas menuruti sebagian atau
semua tuntutan-tuntutan kita, maka simusuh itu adalah menjalankan concessive.
[i] August
Bebel
[ii] Die
Verelendung wird zu einer Ursache Radikalisierung der Massen, aber nur deshalb,
weil die Massen die wachsende Verelendung nicht passiv ertragen, sondern einen
taglichen Kampf gegen die Verelendung fuhren.
[iii] Suluh Indonesia Muda”
[iv] Fikiran Ra’jati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar