Minggu, 20 Mei 2012

MENCAPAI INDONESIA MERDEKA OLEH BUNG KARNO (3)


“Indonesia, Tanah yang Mulia, Tanah Kita Yang Kaya; Disanalah Kita Berada Untuk Selama-lamanya!”….
Ya, didalam zaman “normal”, sebelum meleset, ta’lebih dari delapan sen seorang sehari. Dan inipun bukan hisapan-jempol kaum pembohong, bukan hasutannya kaum penghasut , bukan agitasinya pemimpin-agitator. Ini alah suatu kenyataan yang nyata dan yang telah dibuktikan oleh ahli pengetahuan bangsa Belanda sendiri. Memang siapa yang bertulus hati dan bukan orang munafik dan durhaka haruslah mengakui keadaan itu. Memang hanya orang munafik dan durhaka sajalah yang tak berhenti-henti berkemak-kemik: “Indonesia sejahtera, rakyatnya kenyang-senang.”
Tetapi angka-angka tidak dapat dibantah lagi. Dr. Huender telah mengumpulkan angka-angka itu. Ia membikin perhitungan dari semua inkomsten dan iutgavennya kang Marhaen, dari semua masuknya rejeki dan keluarnya rejeki kang Marhaen. Ia mengumpulkan angka-angka perhitungan itu tidak dari “kabar-kabar bikinan”, tetapi dari verslag-verslag resmi sendiri. Ia berdiri seobjektif- objektifnya,—ia sama tengah, tidak menyebelah kesana, tidak menyebelah kesini. Ia oleh karenanya, harus dipercaya oleh tiap-tiap orang yang mau bertulus hati.
Ia membagi pendapatan kang Marhaen itu dalam tiga bagian: pendapatan dari padinya, pendapatan dari palawijanya, pendapatan dari perkuliannya bilamana Marhaen tengah “vrij”. Dan bagaimanakah menurut Dr. Huender rupanya kang Marhaen punya “makan-jalan”? Bagaimanakah pendapatan-pendapatannya itu masing-masingnya? Lihatlah “daftar” dibawah ini:
Ia mendapat padi seharga
f
103.—
Ia mendapat Palawija seharga
F
30.—
Ia mendapat hasil perkulian sejumlah
F
25.—
Ia dus mendapat hasil total jenderal
F
158.—
Zegge: seratus limapuluh delapan rupiah Hindia-Belanda,—didalam zaman sebelum meleset![1] Dan inipun pendapatan kotor. Sebab dari “kekayaan” f 158 itu kang Marhaen masih harus membayar iu punya pengeluaran: membayar ia punya landrente, membayar ia punya pajak kepala, membayar ia punya Inlandse Verponding, membayar ia punya pajak lain-lain. Dari “kekayaan” f 158 itu kang Marhaen menurut Dr. Huendermasih harus mengeluarkan lagi total jenderal f 22.50.[2] Dua puluh dua setengah rupiah dari seratus limapuluh delapan rupiah, pendapatan bersih adalah dus total-jenderal:
F 158 – f 22.50 = f 135.50!
F 135.50 buat dua belas bulan, dan buat makan seanak-bini!
Belum sampai f 12.—sebulan-bulannya!
Belum sampai f 0.40 sehari-harinya!
Belum sampai delapan sen seorang sehari![3]

Sehingga juga didalam hal ini Indonesia pegang rekor; diselurh muka bumi dari barat sampai timur sampai utara sampai selatan tidak ada angka yang begitu rendahnya; dinegeri Bulgaria, negeri yang terkenal paling melarat, orang masih hidup dengan tigabelas sen sehari. Kita tiak heran, kalau Dr. Huender berkata, bahwa Marhaen adalah rakyat “minimum-lijdster”, yaitu rakyat yang sudah begitu keliwat melaratnya, sehingga kalau umpamanya dikurangi lagi sedikit saja bekal hidupnya. Niscaya ia jatuh samasekali, mau samasekali, binasa samasekali!
Dan Dr. Huender-pun tidak berdiri sendiri; puluhan orang bangsa Belanda lain yang juga berpendapat demikian; puluhan orang bangsa Belanda lain yang juga mengakui bahwa Marhaen adalah papa sengsara. Tapi tidak ada gunanya menyebutkan nama-nama itu satu per satu didalam risalah yang akan dibaca oleh kaum Marhaen. Kaum Marhaen sendiri merasakan kepapaan dan kesengsaraan itu saban hari, saban jam, saban menit. Kaum Marhaen sendiri merasakan saban hari, bagaimana mereka kekurangan segala-galanya,—kekurangan bekal hidup, kekurangan pakaian, kekurangan benda rumah tangga, kekurangan bekal pendidikan anaknya, kekurangan tiap-tiap keperluan manusia walau yang paling sederhana jua adanya.
En toh, barangkali risalah ini dibaca oleh pihak “twijfelaars” alias pihak “ragu-ragu” dikalangan kita punya intellectuelen yang karena terampau kenyang “tjekokan kolonial” tidak percaya bahwa Marhaen papa-sengsara? Buat kaum “twijfelaars” itu saja hanya tahu satu obat manjur yang akan melenyapkan segala  keragu-raguannya; buat kaum “twijfelaars” itu saya punya resep hanyalah: “pergilah kekalangan kaum Marhaen sendiri, nyatakanlah hal itu dikalangan kaum Marhaen sendiri!” maka kamu akan melihat dengan mata sendiri, mendengar dengan telinga sendiri, kebenarannya perkataan Professor Boeke yang berbunyi, bahwa hidupnya bapak tani adalah hidupnya “ellending”, hidup yang “sengsara keliwat sengsara”,— atau kebenarannya perkataan Schmalhausen, bahwa masyarakat kita adalah masyarakat “yang hampir tidak ada seorang juapun mempunyai milik apa-apa”.
Dan barangkali ada juga faedahnya bagi kaum ini saja menjadikan lagi beberapa angka? Marilah, jikalau memang begitu, kita sajikan sedikit angka-angka statistik. Marilah kita mengambil angka-angka statistik bikinan pemerintah sendiri.[4] Maka kita disitu menjumpai angka-angka yang tidak banyak beda dari angka-angkanya Dr.Huender tahadi. Kita melihat disitu, bahwa diseluruh Indonesia jumlah Marhaen (semua angka-angka adalah angka-angka zaman “normal”) yang mempunyai perniagaan yang hasilnya lebih dari f 120 setahun hanyalah 1.172.168 orang, dus belum 2 tiap-tiap 100; bahwa ternak Marhaen yang berupa lembu hanyalah 145 per seribu orang.
Kita melihat bahwa jikalau misalnya Kang Marhaen itu menjadi kuli di pabrik gula, upahnya rata-rata hanyalah f 0,45 sehari, dan bahwa jikalau mbok Marhaen yang menjadi kuli, upah ini lantas menjadi rata-rata hanya f 0,37 sehari, artinya, jika dimakan seisi rumah: tak lebih dari f 0.08 atau f 0.09 seorang sehari. Kita melihat bahwa lebarnya milik tanah tiap-tiap orang Marhaen rata-rata hanyalah kurang-lebih satu-bahu, sedang beribu-ribu bahu diberikan erfpacht, sedang dinegeri Belanda orang tani yang miliknya 5 bahu sudah disebutkan “keuterboer”, “tani yang lebih kecil dari kecil”. Kita melihat, bahwa tanah pertanian yang ditanami oleh Marhaen hanyalah rata-rata 0.29 bahu, sehingga Marhaen bukanlah keurterbroer, tetap…tani gurem. Kita melihat,—dan kini kita mengambil permaklumannya volksraad—, bahwa dimana duapuluhlima tahun yang lalu 71% dari kaum Marhaen masih bisa tani melulu, kini tinggal 52% sajalah yang bisa bertani melulu. Kita melihat, … tetapi ah, marilah saja berhenti, marilah saja sudahi “daftar” ini sampai disini saja, —ia menjadi menjemukan!
Marilah kita lebih baik membuka surat-surat kabar, dan kita saban hari bisa mengumpulkan beberapa “sjair megatruth” yang “menarik hati”, yang melagukan betapa hidupnya Kang Marhaen, yang didalan zaman ”normal” sudah ”sekarang makan besok tidak” itu, didalam zaman meleset sekarang ini menjadi lebih-lebih ngeri lagi, lebih-lebih memutuskan nyawa lagi, lebih-lebih megap-megap lagi.
“Darmokondo”, 11 Juli 1932:
“Dikampung Pagelaran Sukabumi ada hidup satu suami isteri bernama Musa dan Unah, dengan ia punya anak lelaki yang kesatu berumur 5 tahun, yang kedua 3 tahun dan yang ketiga baru 1 tahun. Itu familie ada sangat melarat, dan sudah beberapa bulan ia cuma hidup saja dengan daun-daunan dalam hutan, yang ia makan buat gantinya nasi. Lama-kelamaan itu suami-isteri merasa yang ia tidak bisa hidup selama-lamanya dengan Cuma makan itu macam makanan saja. Buat sambung ia punya jiwa serta anak-anaknya, itu suami isteri telah dapatkan satu fikiran, yaitu… jual saja anaknya pada siapa yang mau beli.”


“Pertja Selatan”, 7 Mei 1932:
“pegadaian penuh, sebab tidak ada yang menebus, semua menggadai. Sekarang gadaian kurang. Ini barang aneh! Sebab mustinya naik! Bagi saya tidak aneh. Ini tandanya barang-barang yang akan digadai sudah habis! Tandanya miskin dan habis-habisan!
Didesa orang-orang 2 hari sekali makan nasi, selainnya makan ubi, tales, singkong, jantung pisang.  Sudah sebagai sapi.”
“Aksi”, 14 November 1931:
“didesa Banaran dekat tulung Agung kemarin dulu orang sudah jadi rebut, lantaran ada orang gantung diri.
Duduknya perkara begini: Sudah lama ia seanak bininya merasa sengsara sekali, malahan anaknya yang masih kecil sekali sering diemiskan nasi pada orang sedesa itu. Saben hari ia cari kerja, berangkat pagi pulang sore, tapi sia-sia, tidak ada orang yang butuh kuli. Kemarin dulu ia tidak bepergian, Cuma duduk termenung dirumah saja, rupa-rupanya sudah putus asa dan bingung mendengarkan anaknya menangis minta makan. Tahu-tahu dia sudah ketemu mati (gantung diri).”
“Siang Po”, 23 Januari 1933:
“didekat kota Krawang sudah kejadian barang yang sangat bikin ngenes ati. Ada orang janda namanya Upi, punya anak kecil. Dia punya laki barusan mati, sebab sakit keras yang cuma satu minggu lamanya. Upi memang dari sedari hidupnya dia punya laki ada sangat melarat sekali, tapi sesudah ia jadi janda, kemelaratan rupanya tidak ada batas lagi. Lama-lam Upi sudah jadi putus asa, dan anaknya yang ia cintai itu sudah ia tawarkan sama tuan L.K.B. di Karawang. Ditanya apa sebabnya ia mau jual anaknya, ia tidak mau jawab apa-apa,  Cuma menjatuhkan airmata bercucuran. Tua L.K.B sangat kasihan sama dia, dan kasih uang sekedarnya pada itu janda yang malang.”
“Pewarta Deli”, 7 December 1932:
“Dikota sering ada orang yang menyamperi pintu bui, minta dirawat dibui saja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Dibui masih kenyang makan, sedang diluar belum tentu sekali sehari”….
“sin Po”, 27 Maret 1993:
“Mencuri ayam sebab lapar. Dihukum juga 9 bulan.
Malaise hebat yang mengamuk dimana-mana telah bikin sengsara dan kelaparan penduduk desa Trogong Kebajuran.
Penduduk disitu rata-rata sudah tidak bisa dapatkan uang dan banyak yang kelaparan karena tidak punya duit beli makanan.
Salah satu orang nama pungut juga alamkan kesukaran yang hebat. Ia punya bini dan dua anak, sedang penghasilan sama sekali telah kepepet berhubung dengan jaman susah. Sementara itu ia punya beras dan makanan sudah habis.
Apa boleh buat, saking tidak bisa tahan sengsara karena sudah 2 hari tidak punya beras, pada satu malam ia bongkar kandang ayam dari tetangganya nama Djaja dan dari ia timpa 2 ekor ayam.
Itu binatang kemudian ia jual di pasar buat 3 pitjis dan dari itu uang ia beli beras 15 cent.
Belakangan pungut ditangkap da dibui. Pada tanggal 25 Maret ia mesti menghadap pada landraad di Mr. Cornelis dan pungut aku  saja betul telah tolong itu 2 ekor ayam sebab sudah 2 hari ia tidak makan.
Landraap anggap ia terang bersalah ambil ayamnya lain orang dan pungut dihukum 9 bulan. Anak bininya menangis diluar ruangan landraap! (Rep.)”
Enz., enz., enz.!….
Aduhai,— dan didalam zaman air-mata ini, dimana Marhaen terpaksa hidup dengan sebenggol seoaran sehari, dimana beban-beban yang harus dipikul Marhaen semakin menjadi berat, dimana menurut verslag voorzitter Kleine welvaartcommissie penghasilan dari perusahaan-perusahaan kecil didesa-desa dan dikampung-kampung sudah turun dengan 40 sampai 70%, dimana kesengsaraan sering membikin Marhaen menjadi putus-asa dan gelap mata, sebagai ternyata dari kabr-kabar diatas, — didalam zaman air mata ini Marhaen ditanah Jawa masih harus memelihara juga hidupnya ribuan orang kuli kontrakan, yang dipulangkan dari Deli  dan lain sebagainya zonder tunjangan sepeserpun jua, yan seolah-olah untuk membuktikan isinya peribahasa: “habis manis sepah dibuang.” Ya, semelarat-melaratnya Marhaen , maka Marhaen selamanya masih “ridla membahagi kemelaratannya itu dengan orang yang lebih melarat lagi daripadanja”,— begitulah Schmalhausen menulis. Ya, imperialisme mengetahui ketinggian budi Marhaen itu: kuli-kuli yang ia lepas tidak usah diambil pusing, —toh nanti mereka dapat makan juga dari kawan-kawannya didesa-desa dan dikampung-kampung! Sedang kaum “werkloos” bangsa asing disini mendapat tunjangan. Sedang kaum “werkloos” dihampir tiap-tiap negeri yang sopan mendapat penyambung nyawa. Sedang kaum “werkloos” dinegeri Belanda mendapat uitkering f 2.—sehari. Sedang…ja sedang Kang Marhaen, walaupun umpamanya ia tidak “werkloos”. Walaupun ia membanting-tulang dan mandi keringat diatas ladangnya dari subuh sampai maghrib, harus tahan nyawanya dengan sebenggol sehari….
Aduhai, kemanakah Marhaen harus menyimpankan nyawanya yang penuh dengan keteduhan itu? Yang penuh dengan ratap dan penuh dengan tangis, penuh dengan kemalangan dan penuh dengan kesedihan, penuh dengan sakit dan penuh dengan lapar? Didalam zaman “normal”. Bilamana kaum imperialis berpesta dan bersuka ria mengekspor barang kehasilannya yang lebih dari f 1. 500.000.000 setahunnya itu, ia hanyalah mendapat nafkah-hidup f 0.08 seorang sehari; didalam permulaannya zaman meleset, menurut “economisch weekblad”, ia hanyalah makan f 0.04 seorang sehari; dan didalam tengah-tengahnya zaman meleset, tatkala menurut angka statistic ekspornya kaum imperialis setahunnya toh masih saja tidak kurang dari f 1. 159.000.000, ia terpaksa mempertahankan nyawanya dengan sebenggol seorang sehari! Garis penghidupannya memang penuh dengan tjorek-tjorek kemalangan; garis penghidupannya itu tidak pernah naik, garis penghidupannya itu senantiasa menurun. Lebih dari seperempat abad yang lalu voorzitter “Mindere welvaartcomissie” telah mengatakan, bahwa ia punya peri-kehidupan adalah didalam “tuitelig evenwicht”, peri-kehidupan yang gampang terpelanting; seperempat abad kemudian orang mengatakan bahwa ia adalah “minimumlidjer”; dan kini tiga-empat tahun kemudian lagi, Marhaen boleh hidup dengan sebenggol sehari dan …memberi juga makan pada ribuan lepasan kuli-kontrak. Didalam tempo yang kurang dari tigapuluh tahun itu, modern-imperialisme, yang senantiasa mengagul-agulkan ia punya “kesopanan” dan “ketenteraman umum”, telah melihat kans “memperbaiki” nasib Marhaen dari setengah hidup menjadi setengah megap-megap!
Tetapi, apakah memang benar, imperialisme samasekali tidak ada “berkah” sedikit juapun bagi kita bangsa Indonesia? Tidakkah ia mendatangkan beberapa kemajuan, mendatangkan pengetahuan, mendatangkan “beschaving”? tidakkah dus modern imperialisme itu “ada baiknya” juga? O, memang, zaman modern imperialisme mendatangkan “beshaving”, zaman modern imperialisme mendatangkan jalan lorong yang indah dan jalan-jalan kereta api yang hebat, zaman modern imperialisme mendatangkan perhubungan kapal yang sempurna, mendatangkan “ketentraman”, mendatangkan “perdamaian”, mendatangkan telepon, mendatangkan telegrap, mendatangkan lampu listrik, mendatangkan radio, mendatangkan kedokteran, mendatangkan keteknikan, ya, mendatangkan kepandaian barang apa saja yang mendekati kepandaiannya jin-peri-perajanganpun,—tetapi, adakah semua hal itu didatangkannya buat keperluan Kang Marhaen? Adakah semua hal itu, sekalipun umpamanya didatangkan buat keperluan Kang Marhaen, bisa ditimbangkan dengan bencana hidup yang disebar-sebarkan oleh modern imperialisme dikalangan Kang Marhaen? Adakah tidak lebih mirip kepada kebenaran, perkataannya Brailsfrod yang berbunyi bahwa: “anugerah-anugerah pendidikan kemajuan dan aturan-aturan bagus yang ia bawa itu hanyalah rontokan-rontokan saja dari ia punya keasikan cari rezeki yang angkara murka itu”?
Lagipula, adakah berhadapan dengan bencana hidup yang disebar-sebarkan oleh modern imperialisme ini Marhaen mendapat cukup hak-hak dari pemerintah yang sekedar boleh dianggap sebagai “obat” bagi hatinya yang luka. Pikiranya juga bingung, perutya yang lapar? Onderwijs? Oh, didalam “abad-kesopanan” ini, —begitulah saja tempohari menjawab—, didalam “abad-kesopanan” ini, menurut angka-angka kantor Statistik orang laki-laki yang bisa membaca dan menulis belum ada 7% orang perempuan belum ada … 0,5%. Pajak-pajak enteng? Menurut penyelidikannya Institute of Financial Investigation dinegeri Tiongkok, Indonesia didalam hal pajak…juga pegang rekor! Kesehatan Rakyat atau hygiene? Diseluruh Indonesia hanyalah ada 343 rumah sakit gupermen, kematian bangsa Bumiputera tak kurang dari 20/1000, dikota besar kadang-kadang sampai 50/1000. Perlindungan kepentingan kaum buruh? Peraturan sociale arbeidswetgeving yang melindungi kaum buruh terhadap pada kaum modal tak ada sama sekali, arbeidsinspectie tinggal namanya saja, hak-mogok, yang didalam negeri-negeri yang sopan bukan soal lagi, dengan adanya artikel 161 bis dari buku hukum siksa musnalah sama sekali daripada realiteit, terkabutkan sama sekali menjadi impian belaka! Kehakiman yang sempurna? Bacalah saja pendapatnya Mr. Sastro Muljono tentang hal ini tatkala membela perkara saja, atau bandingkanlah cara bekerjanya landraad dan Raad van Justitie. Kemerdekaan drukpers dan hak berserikat dan bersidang? Amboi, adakah disini hak kemerdekaan drukpers dan hak berserikat dan bersidang? Adakah disini hak-hak itu, dimana buku hukum siksa masih mentereng dengan artikel-artikel sebagai 153 bis-ter, 154, 155, 156, 157, 161 bis d.l.s., dimana hak “pen-digul-an” masih ada, dimana perkataan “berbahaya bagi keamanan umum” terdengar  sehari-hari, dimana ada persbreidel-ordonnantie, dimana rapat tertutup “kalau perlu” juga boleh dihadiri oleh polisi, dimana stelsel mata-mata boleh dikata sempurna sama sekali, dimana diwaktu yang akhir-akhir ini puluhan openbare vergadering dibubarkan?
“Tidak!  Disini tidak ada hak-hak itu!” dengan macam-macam halangan dan macam-macam ranjau demikian itu, maka kemerdekaan itu tinggal namanya saja kemerdekaan, hak itu tinggal namanya saja hak; dengan macam-macam serimpatan yang demikian, maka kemerdekaan drukpers dan hak berserikat dan bersidang itu menjadi suatu bayangan belaka, suatu impian! Hampir tiap-tiap journalist sudah pernah merasakan tangannya hukum, hampir tiap-tiap pemimpin Indonesia sudah pernah merasakan bui, hampir tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang mengadakan perlawanan radikal lantas saja terpandang “berbahaya bagi keamanan umum”.
O, Marhaen, hidupmu sehari-hari morat-marit dan kocar-kacir, beban-bebanmu semakin berat, hak-hakmu boleh dikatakan tidak ada sama sekali!
Bahwasanya, kamu boleh menjanji:
“Indonesia, tanah jang mulja,
Tanah kita Jang Kaja;
Disanalah kita berada,
Untuk selama-lamanja!”….



[1] Ini pendapatan Marhaen Tani. Kalau diambil semua Marhaen, rata-rata f 161.—
[2] “kerja-desa”,–desa-diensten, misalnya ronda, bikin betul jalan desa, membikin jembatan desa, dll.—oleh Dr.Huender di-“rupakan uang”, lalu dimasukkan disini.
[3] Marhaen, bininya dan anaknya yang rata-rata 3 orang.
[4] Statistich jaaroverzicht tahun 1928

Tidak ada komentar:

Posting Komentar