“Indonesia,
Tanah yang Mulia, Tanah Kita Yang Kaya; Disanalah Kita Berada Untuk
Selama-lamanya!”….
Ya,
didalam zaman “normal”, sebelum meleset, ta’lebih dari delapan sen seorang
sehari. Dan inipun bukan hisapan-jempol kaum pembohong, bukan hasutannya kaum
penghasut , bukan agitasinya pemimpin-agitator. Ini alah suatu kenyataan yang
nyata dan yang telah dibuktikan oleh ahli pengetahuan bangsa Belanda sendiri.
Memang siapa yang bertulus hati dan bukan orang munafik dan durhaka haruslah
mengakui keadaan itu. Memang hanya orang munafik dan durhaka sajalah yang tak
berhenti-henti berkemak-kemik: “Indonesia sejahtera, rakyatnya kenyang-senang.”
Tetapi
angka-angka tidak dapat dibantah lagi. Dr. Huender telah mengumpulkan
angka-angka itu. Ia membikin perhitungan dari semua inkomsten dan iutgavennya
kang Marhaen, dari semua masuknya rejeki dan keluarnya rejeki kang Marhaen. Ia
mengumpulkan angka-angka perhitungan itu tidak dari “kabar-kabar bikinan”,
tetapi dari verslag-verslag resmi sendiri. Ia berdiri seobjektif-
objektifnya,—ia sama tengah, tidak menyebelah kesana, tidak menyebelah kesini.
Ia oleh karenanya, harus dipercaya oleh tiap-tiap orang yang mau bertulus hati.
Ia
membagi pendapatan kang Marhaen itu dalam tiga bagian: pendapatan dari padinya,
pendapatan dari palawijanya, pendapatan dari perkuliannya bilamana Marhaen
tengah “vrij”. Dan bagaimanakah menurut Dr. Huender rupanya kang Marhaen punya
“makan-jalan”? Bagaimanakah pendapatan-pendapatannya itu masing-masingnya?
Lihatlah “daftar” dibawah ini:
Ia mendapat padi seharga
|
f
|
103.—
|
Ia mendapat Palawija seharga
|
F
|
30.—
|
Ia mendapat hasil perkulian sejumlah
|
F
|
25.—
|
Ia dus mendapat hasil total jenderal
|
F
|
158.—
|
Zegge:
seratus limapuluh delapan rupiah Hindia-Belanda,—didalam zaman sebelum meleset![1]
Dan inipun pendapatan kotor. Sebab dari “kekayaan” f 158 itu kang Marhaen masih
harus membayar iu punya pengeluaran: membayar ia punya landrente, membayar ia
punya pajak kepala, membayar ia punya Inlandse Verponding, membayar ia punya
pajak lain-lain. Dari “kekayaan” f 158 itu kang Marhaen menurut Dr.
Huendermasih harus mengeluarkan lagi total jenderal f 22.50.[2]
Dua puluh dua setengah rupiah dari seratus limapuluh delapan rupiah, pendapatan
bersih adalah dus total-jenderal:
F
158 – f 22.50 = f 135.50!
F
135.50 buat dua belas bulan, dan buat makan seanak-bini!
Belum
sampai f 12.—sebulan-bulannya!
Belum
sampai f 0.40 sehari-harinya!
Belum
sampai delapan sen seorang sehari![3]
Sehingga
juga didalam hal ini Indonesia pegang rekor; diselurh muka bumi dari barat
sampai timur sampai utara sampai selatan tidak ada angka yang begitu rendahnya;
dinegeri Bulgaria, negeri yang terkenal paling melarat, orang masih hidup
dengan tigabelas sen sehari. Kita tiak heran, kalau Dr. Huender berkata, bahwa
Marhaen adalah rakyat “minimum-lijdster”, yaitu rakyat yang sudah begitu
keliwat melaratnya, sehingga kalau umpamanya dikurangi lagi sedikit saja bekal
hidupnya. Niscaya ia jatuh samasekali, mau samasekali, binasa samasekali!
Dan
Dr. Huender-pun tidak berdiri sendiri; puluhan orang bangsa Belanda lain yang
juga berpendapat demikian; puluhan orang bangsa Belanda lain yang juga mengakui
bahwa Marhaen adalah papa sengsara. Tapi tidak ada gunanya menyebutkan
nama-nama itu satu per satu didalam risalah yang akan dibaca oleh kaum Marhaen.
Kaum Marhaen sendiri merasakan kepapaan dan kesengsaraan itu saban hari, saban
jam, saban menit. Kaum Marhaen sendiri merasakan saban hari, bagaimana mereka
kekurangan segala-galanya,—kekurangan bekal hidup, kekurangan pakaian,
kekurangan benda rumah tangga, kekurangan bekal pendidikan anaknya, kekurangan
tiap-tiap keperluan manusia walau yang paling sederhana jua adanya.
En
toh, barangkali risalah ini dibaca oleh pihak “twijfelaars” alias pihak
“ragu-ragu” dikalangan kita punya intellectuelen yang karena terampau kenyang
“tjekokan kolonial” tidak percaya bahwa Marhaen papa-sengsara? Buat kaum
“twijfelaars” itu saja hanya tahu satu obat manjur yang akan melenyapkan
segala keragu-raguannya; buat kaum “twijfelaars” itu saya punya resep
hanyalah: “pergilah kekalangan kaum Marhaen sendiri, nyatakanlah hal itu
dikalangan kaum Marhaen sendiri!” maka kamu akan melihat dengan mata sendiri,
mendengar dengan telinga sendiri, kebenarannya perkataan Professor Boeke yang
berbunyi, bahwa hidupnya bapak tani adalah hidupnya “ellending”, hidup yang
“sengsara keliwat sengsara”,— atau kebenarannya perkataan Schmalhausen, bahwa
masyarakat kita adalah masyarakat “yang hampir tidak ada seorang juapun
mempunyai milik apa-apa”.
Dan
barangkali ada juga faedahnya bagi kaum ini saja menjadikan lagi beberapa
angka? Marilah, jikalau memang begitu, kita sajikan sedikit angka-angka
statistik. Marilah kita mengambil angka-angka statistik bikinan pemerintah
sendiri.[4]
Maka kita disitu menjumpai angka-angka yang tidak banyak beda dari
angka-angkanya Dr.Huender tahadi. Kita melihat disitu, bahwa diseluruh
Indonesia jumlah Marhaen (semua angka-angka adalah angka-angka zaman “normal”)
yang mempunyai perniagaan yang hasilnya lebih dari f 120 setahun hanyalah
1.172.168 orang, dus belum 2 tiap-tiap 100; bahwa ternak Marhaen yang berupa
lembu hanyalah 145 per seribu orang.
Kita
melihat bahwa jikalau misalnya Kang Marhaen itu menjadi kuli di pabrik gula,
upahnya rata-rata hanyalah f 0,45 sehari, dan bahwa jikalau mbok Marhaen yang
menjadi kuli, upah ini lantas menjadi rata-rata hanya f 0,37 sehari, artinya,
jika dimakan seisi rumah: tak lebih dari f 0.08 atau f 0.09 seorang sehari.
Kita melihat bahwa lebarnya milik tanah tiap-tiap orang Marhaen rata-rata
hanyalah kurang-lebih satu-bahu, sedang beribu-ribu bahu diberikan erfpacht,
sedang dinegeri Belanda orang tani yang miliknya 5 bahu sudah disebutkan
“keuterboer”, “tani yang lebih kecil dari kecil”. Kita melihat, bahwa tanah
pertanian yang ditanami oleh Marhaen hanyalah rata-rata 0.29 bahu, sehingga
Marhaen bukanlah keurterbroer, tetap…tani gurem. Kita melihat,—dan kini kita
mengambil permaklumannya volksraad—, bahwa dimana duapuluhlima tahun yang lalu
71% dari kaum Marhaen masih bisa tani melulu, kini tinggal 52% sajalah yang
bisa bertani melulu. Kita melihat, … tetapi ah, marilah saja berhenti, marilah
saja sudahi “daftar” ini sampai disini saja, —ia menjadi menjemukan!
Marilah
kita lebih baik membuka surat-surat kabar, dan kita saban hari bisa mengumpulkan
beberapa “sjair megatruth” yang “menarik hati”, yang melagukan betapa hidupnya
Kang Marhaen, yang didalan zaman ”normal” sudah ”sekarang makan besok tidak”
itu, didalam zaman meleset sekarang ini menjadi lebih-lebih ngeri lagi,
lebih-lebih memutuskan nyawa lagi, lebih-lebih megap-megap lagi.
“Darmokondo”, 11 Juli 1932:
“Dikampung
Pagelaran Sukabumi ada hidup satu suami isteri bernama Musa dan Unah, dengan ia
punya anak lelaki yang kesatu berumur 5 tahun, yang kedua 3 tahun dan yang
ketiga baru 1 tahun. Itu familie ada sangat melarat, dan sudah beberapa bulan
ia cuma hidup saja dengan daun-daunan dalam hutan, yang ia makan buat gantinya
nasi. Lama-kelamaan itu suami-isteri merasa yang ia tidak bisa hidup
selama-lamanya dengan Cuma makan itu macam makanan saja. Buat sambung ia punya
jiwa serta anak-anaknya, itu suami isteri telah dapatkan satu fikiran, yaitu…
jual saja anaknya pada siapa yang mau beli.”
“Pertja Selatan”, 7 Mei 1932:
“pegadaian
penuh, sebab tidak ada yang menebus, semua menggadai. Sekarang gadaian kurang.
Ini barang aneh! Sebab mustinya naik! Bagi saya tidak aneh. Ini tandanya
barang-barang yang akan digadai sudah habis! Tandanya miskin dan habis-habisan!
Didesa
orang-orang 2 hari sekali makan nasi, selainnya makan ubi, tales, singkong,
jantung pisang. Sudah sebagai sapi.”
“Aksi”, 14 November 1931:
“didesa
Banaran dekat tulung Agung kemarin dulu orang sudah jadi rebut, lantaran ada
orang gantung diri.
Duduknya
perkara begini: Sudah lama ia seanak bininya merasa sengsara sekali, malahan
anaknya yang masih kecil sekali sering diemiskan nasi pada orang sedesa itu.
Saben hari ia cari kerja, berangkat pagi pulang sore, tapi sia-sia, tidak ada
orang yang butuh kuli. Kemarin dulu ia tidak bepergian, Cuma duduk termenung
dirumah saja, rupa-rupanya sudah putus asa dan bingung mendengarkan anaknya
menangis minta makan. Tahu-tahu dia sudah ketemu mati (gantung diri).”
“Siang Po”, 23 Januari 1933:
“didekat
kota Krawang sudah kejadian barang yang sangat bikin ngenes ati. Ada orang
janda namanya Upi, punya anak kecil. Dia punya laki barusan mati, sebab sakit
keras yang cuma satu minggu lamanya. Upi memang dari sedari hidupnya dia punya
laki ada sangat melarat sekali, tapi sesudah ia jadi janda, kemelaratan rupanya
tidak ada batas lagi. Lama-lam Upi sudah jadi putus asa, dan anaknya yang ia
cintai itu sudah ia tawarkan sama tuan L.K.B. di Karawang. Ditanya apa sebabnya
ia mau jual anaknya, ia tidak mau jawab apa-apa, Cuma menjatuhkan airmata
bercucuran. Tua L.K.B sangat kasihan sama dia, dan kasih uang sekedarnya pada
itu janda yang malang.”
“Pewarta Deli”, 7 December 1932:
“Dikota
sering ada orang yang menyamperi pintu bui, minta dirawat dibui saja, sebab
merasa tidak kuat sengsara. Dibui masih kenyang makan, sedang diluar belum
tentu sekali sehari”….
“sin Po”, 27 Maret 1993:
“Mencuri
ayam sebab lapar. Dihukum juga 9 bulan.
Malaise
hebat yang mengamuk dimana-mana telah bikin sengsara dan kelaparan penduduk
desa Trogong Kebajuran.
Penduduk
disitu rata-rata sudah tidak bisa dapatkan uang dan banyak yang kelaparan
karena tidak punya duit beli makanan.
Salah
satu orang nama pungut juga alamkan kesukaran yang hebat. Ia punya bini dan dua
anak, sedang penghasilan sama sekali telah kepepet berhubung dengan jaman
susah. Sementara itu ia punya beras dan makanan sudah habis.
Apa
boleh buat, saking tidak bisa tahan sengsara karena sudah 2 hari tidak punya
beras, pada satu malam ia bongkar kandang ayam dari tetangganya nama Djaja dan
dari ia timpa 2 ekor ayam.
Itu
binatang kemudian ia jual di pasar buat 3 pitjis dan dari itu uang ia beli
beras 15 cent.
Belakangan
pungut ditangkap da dibui. Pada tanggal 25 Maret ia mesti menghadap pada
landraad di Mr. Cornelis dan pungut aku saja betul telah tolong itu 2
ekor ayam sebab sudah 2 hari ia tidak makan.
Landraap
anggap ia terang bersalah ambil ayamnya lain orang dan pungut dihukum 9 bulan.
Anak bininya menangis diluar ruangan landraap! (Rep.)”
Enz.,
enz., enz.!….
Aduhai,—
dan didalam zaman air-mata ini, dimana Marhaen terpaksa hidup dengan sebenggol
seoaran sehari, dimana beban-beban yang harus dipikul Marhaen semakin menjadi
berat, dimana menurut verslag voorzitter Kleine welvaartcommissie penghasilan
dari perusahaan-perusahaan kecil didesa-desa dan dikampung-kampung sudah turun
dengan 40 sampai 70%, dimana kesengsaraan sering membikin Marhaen menjadi
putus-asa dan gelap mata, sebagai ternyata dari kabr-kabar diatas, — didalam
zaman air mata ini Marhaen ditanah Jawa masih harus memelihara juga hidupnya
ribuan orang kuli kontrakan, yang dipulangkan dari Deli dan lain sebagainya
zonder tunjangan sepeserpun jua, yan seolah-olah untuk membuktikan isinya
peribahasa: “habis manis sepah dibuang.” Ya, semelarat-melaratnya Marhaen ,
maka Marhaen selamanya masih “ridla membahagi kemelaratannya itu dengan orang
yang lebih melarat lagi daripadanja”,— begitulah Schmalhausen menulis. Ya,
imperialisme mengetahui ketinggian budi Marhaen itu: kuli-kuli yang ia lepas
tidak usah diambil pusing, —toh nanti mereka dapat makan juga dari
kawan-kawannya didesa-desa dan dikampung-kampung! Sedang kaum “werkloos” bangsa
asing disini mendapat tunjangan. Sedang kaum “werkloos” dihampir tiap-tiap
negeri yang sopan mendapat penyambung nyawa. Sedang kaum “werkloos” dinegeri
Belanda mendapat uitkering f 2.—sehari. Sedang…ja sedang Kang Marhaen, walaupun
umpamanya ia tidak “werkloos”. Walaupun ia membanting-tulang dan mandi keringat
diatas ladangnya dari subuh sampai maghrib, harus tahan nyawanya dengan
sebenggol sehari….
Aduhai,
kemanakah Marhaen harus menyimpankan nyawanya yang penuh dengan keteduhan itu?
Yang penuh dengan ratap dan penuh dengan tangis, penuh dengan kemalangan dan
penuh dengan kesedihan, penuh dengan sakit dan penuh dengan lapar? Didalam
zaman “normal”. Bilamana kaum imperialis berpesta dan bersuka ria mengekspor
barang kehasilannya yang lebih dari f 1. 500.000.000 setahunnya itu, ia
hanyalah mendapat nafkah-hidup f 0.08 seorang sehari; didalam permulaannya
zaman meleset, menurut “economisch
weekblad”, ia hanyalah makan f 0.04 seorang sehari; dan didalam
tengah-tengahnya zaman meleset, tatkala menurut angka statistic ekspornya kaum
imperialis setahunnya toh masih saja tidak kurang dari f 1. 159.000.000, ia
terpaksa mempertahankan nyawanya dengan sebenggol seorang sehari! Garis
penghidupannya memang penuh dengan tjorek-tjorek kemalangan; garis penghidupannya
itu tidak pernah naik, garis penghidupannya itu senantiasa menurun. Lebih dari
seperempat abad yang lalu voorzitter “Mindere welvaartcomissie” telah
mengatakan, bahwa ia punya peri-kehidupan adalah didalam “tuitelig evenwicht”,
peri-kehidupan yang gampang terpelanting; seperempat abad kemudian orang
mengatakan bahwa ia adalah “minimumlidjer”; dan kini tiga-empat tahun kemudian
lagi, Marhaen boleh hidup dengan sebenggol sehari dan …memberi juga makan pada
ribuan lepasan kuli-kontrak. Didalam tempo yang kurang dari tigapuluh tahun
itu, modern-imperialisme, yang senantiasa mengagul-agulkan ia punya “kesopanan”
dan “ketenteraman umum”, telah melihat kans “memperbaiki” nasib Marhaen dari
setengah hidup menjadi setengah megap-megap!
Tetapi,
apakah memang benar, imperialisme samasekali tidak ada “berkah” sedikit juapun
bagi kita bangsa Indonesia? Tidakkah ia mendatangkan beberapa kemajuan,
mendatangkan pengetahuan, mendatangkan “beschaving”? tidakkah dus modern
imperialisme itu “ada baiknya” juga? O, memang, zaman modern imperialisme
mendatangkan “beshaving”, zaman modern imperialisme mendatangkan jalan lorong
yang indah dan jalan-jalan kereta api yang hebat, zaman modern imperialisme
mendatangkan perhubungan kapal yang sempurna, mendatangkan “ketentraman”,
mendatangkan “perdamaian”, mendatangkan telepon, mendatangkan telegrap,
mendatangkan lampu listrik, mendatangkan radio, mendatangkan kedokteran,
mendatangkan keteknikan, ya, mendatangkan kepandaian barang apa saja yang
mendekati kepandaiannya jin-peri-perajanganpun,—tetapi, adakah semua hal itu
didatangkannya buat keperluan Kang Marhaen? Adakah semua hal itu, sekalipun
umpamanya didatangkan buat keperluan Kang Marhaen, bisa ditimbangkan dengan
bencana hidup yang disebar-sebarkan oleh modern imperialisme dikalangan Kang
Marhaen? Adakah tidak lebih mirip kepada kebenaran, perkataannya Brailsfrod
yang berbunyi bahwa: “anugerah-anugerah pendidikan kemajuan dan aturan-aturan
bagus yang ia bawa itu hanyalah rontokan-rontokan saja dari ia punya keasikan
cari rezeki yang angkara murka itu”?
Lagipula,
adakah berhadapan dengan bencana hidup yang disebar-sebarkan oleh modern
imperialisme ini Marhaen mendapat cukup hak-hak dari pemerintah yang sekedar
boleh dianggap sebagai “obat” bagi hatinya yang luka. Pikiranya juga bingung,
perutya yang lapar? Onderwijs? Oh, didalam “abad-kesopanan” ini, —begitulah
saja tempohari menjawab—, didalam “abad-kesopanan” ini, menurut angka-angka
kantor Statistik orang laki-laki yang bisa membaca dan menulis belum ada 7%
orang perempuan belum ada … 0,5%. Pajak-pajak enteng? Menurut penyelidikannya
Institute of Financial Investigation dinegeri Tiongkok, Indonesia didalam hal
pajak…juga pegang rekor! Kesehatan Rakyat atau hygiene? Diseluruh Indonesia
hanyalah ada 343 rumah sakit gupermen, kematian bangsa Bumiputera tak kurang
dari 20/1000, dikota besar kadang-kadang sampai 50/1000. Perlindungan
kepentingan kaum buruh? Peraturan sociale arbeidswetgeving yang melindungi kaum
buruh terhadap pada kaum modal tak ada sama sekali, arbeidsinspectie tinggal
namanya saja, hak-mogok, yang didalam negeri-negeri yang sopan bukan soal lagi,
dengan adanya artikel 161 bis dari buku hukum siksa musnalah sama sekali
daripada realiteit, terkabutkan sama sekali menjadi impian belaka! Kehakiman
yang sempurna? Bacalah saja pendapatnya Mr. Sastro Muljono tentang hal ini
tatkala membela perkara saja, atau bandingkanlah cara bekerjanya landraad dan
Raad van Justitie. Kemerdekaan drukpers dan hak berserikat dan bersidang?
Amboi, adakah disini hak kemerdekaan drukpers dan hak berserikat dan bersidang?
Adakah disini hak-hak itu, dimana buku hukum siksa masih mentereng dengan
artikel-artikel sebagai 153 bis-ter, 154, 155, 156, 157, 161 bis d.l.s., dimana
hak “pen-digul-an” masih ada, dimana perkataan “berbahaya bagi keamanan umum”
terdengar sehari-hari, dimana ada persbreidel-ordonnantie, dimana rapat
tertutup “kalau perlu” juga boleh dihadiri oleh polisi, dimana stelsel
mata-mata boleh dikata sempurna sama sekali, dimana diwaktu yang akhir-akhir
ini puluhan openbare vergadering dibubarkan?
“Tidak!
Disini tidak ada hak-hak itu!” dengan macam-macam halangan dan macam-macam
ranjau demikian itu, maka kemerdekaan itu tinggal namanya saja kemerdekaan, hak
itu tinggal namanya saja hak; dengan macam-macam serimpatan yang demikian, maka
kemerdekaan drukpers dan hak berserikat dan bersidang itu menjadi suatu
bayangan belaka, suatu impian! Hampir tiap-tiap journalist sudah pernah
merasakan tangannya hukum, hampir tiap-tiap pemimpin Indonesia sudah pernah
merasakan bui, hampir tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang mengadakan
perlawanan radikal lantas saja terpandang “berbahaya bagi keamanan umum”.
O,
Marhaen, hidupmu sehari-hari morat-marit dan kocar-kacir, beban-bebanmu semakin
berat, hak-hakmu boleh dikatakan tidak ada sama sekali!
Bahwasanya,
kamu boleh menjanji:
“Indonesia,
tanah jang mulja,
Tanah
kita Jang Kaja;
Disanalah
kita berada,
Untuk
selama-lamanja!”….
[1]
Ini pendapatan Marhaen Tani. Kalau diambil semua Marhaen, rata-rata f 161.—
[2]
“kerja-desa”,–desa-diensten, misalnya ronda, bikin betul jalan desa, membikin
jembatan desa, dll.—oleh Dr.Huender di-“rupakan uang”, lalu dimasukkan disini.
[3]
Marhaen, bininya dan anaknya yang rata-rata 3 orang.
[4]
Statistich jaaroverzicht tahun 1928
Tidak ada komentar:
Posting Komentar