Minggu, 20 Mei 2012

MENCAPAI INDONESIA MERDEKA OLEH BUNG KARNO (7)


Sana Mau Ke Sana, Sini Mau Ke Sini
Tetapi sekarang timbul pertanyaan: bagaimana kita melaksanakan, menjelmakan, merealisasikan tiga bentukan itu? Bagaimana kita mendatangkan masyarakat yang bebas dari kapitalisme-imperialisme, bagaimana kita yang mewaris politieke macht, bagaimana, lebih dulu, kita mencapai Indonesia Merdeka?
Untuk bisa mencapai Indonesia Merdeka, kita lebih dulu harus mengetahui hakekatnya kedudukan antara imperialisme dan kita, hakekat kedudukan antara sana dan sini. Hakekat kedudukan sana-sini itulah nanti yang menentukan azas-azas-strategi kita, azas-azas-taktik kita. Hakekat kedudukan itulah yang nanti harus menentukan “houding” kita terhaap pada kaum sana itu adanya.
Bagaimana hakekat kedudukan itu? Hakekat kedudukan itu boleh kita gambarkan dengan satu perkataan saja: pertentangan. Pertentangan dalam segala hal. Pertentangan asal, pertentangan tujuan, pertentangan kebutuhan, pertentangan sifat, pertentangan hakekat. Tidak ada perbarengan, tidak ada persamaan sedikitpun antara sana dan sini. Tidak ada persesuaian antara sana dan sini. Antara sana dan sini ada pertentangan sebagai api dan air, sebagai srigala dan rusa, seagai kejahatan dan kebenaran.
Memang riwayat-dunia selamanya menunjukkan pertentangan antara dua golongan. Memang riwayat dunia selamanya menunjukkan adanya suatu golongan “atas” dan adanya suatu golongan “bawah”, yang bertentangan satu sama lain, berantitesis satu sama lain: di zaman feodal golongan ningrat dengan golongan “kawulo”, di zaman kapitalisme golongan kemodalan dengan golongan proletar, di zaman kolonial golongan si penjajah dengan golongan si terjajah. Maka antitesis alias pertentangan yang belakangan inilah yang menguasai segenap sifat hakekatnya perhubungan antara sana dan sini, segenap “wezen-nya” perhubungan antara sana dan sini, sehingga sana dan sini selamanya adalah ketabrakan satu sama lain. Antitesis inilah yang oleh kaum Marxis disebutkan dialektiknya sesuatu keadaan, dialektiknya sesuatu bagian daripada riwayat, dialektiknya sesuatu bagian di dalam gerak bangkitnya alam.
Hakekat kedudukan sana-sini itulah nanti yang menentukan azas-azas-strategi kita, azas-azas-taktik kita.
Maka oleh karena itu buta dan dustalah tiap-tiap orang yang mau memungkiri atau menutupi antitesis itu, buta dan dusta jugalah tiap-tiap siapa saja yang mau menipiskan pertentangan antara dua pihak itu. Buta dan dustalah siapa saja yang mau “mengakurkan” piak sana sini tidak bisa dipungkiri atau ditipiskan antitesanya,–sana dan sini walau sampai ke zaman kiamatpun akan selamanya berhadap-hadapan satu sama lain sebagai singa dan mangsanya. Sana dan sini akan selamanya bertabrak-tabrakan satu sama lain, berantitesis satu sama lain, sehingga akhirnya sana hilang dari hadapan sini sama sekali. Tidakkah sana senang akan terusnya penjajahan Indonesia sampai ke zaman akhirnya alam, tidakkah sana senang akan terusnya kecakrawatian di atas semua bagian daripada masyarakat Indonesia, tidakkah sana hidup justru daripada sini? Tidakkah sebaliknya sini mau selekas-lekasnya merdeka, tidakkah sini mau selekas-lekasnya mencakrawarti masyarakat sendiri?
Buta, seklai lagi butalah siapa saja yang mau memungkiri adanya pertentangan ini, tabrakan ini, antitesis ini,–yang memang sudah karena dialektiknya alam. Tetapi kita, yang justru membentuk pergerakan yang memikul alam dan terpikul alam, memikul natur dan terpikul natur, kita yang tidak mau buta, harus justru mengambil antitesa ini sebagai uger-ugernya semua kita punya azas perjuangan dan semua kita punya taktik. Kita harus justru mengalaskan segala kita punya sepak-terjang di atas dialektika ini, mengalaskan segala kita punya “houding” di atas dialektika ini. Kita harus dengan sekelebatan mata saja sudah mengerti, bahwa dialektika ini adalah menyuruh kita selamanya ngkar daripada kaum sana itu, tidak bekerja bersama-sama dengan kaum sana itu, sebaliknya mengadakan perlawanan zonder damai terhadap pada kaum sana itu,–sampai kepada saat keunggulan dan kemenangan. Kita harus dengan sekelebatan mata saja mengerti, bahwa oleh adanya antitesis ini, kemenangan hanyalah bisa kita capai dengan kebiasaan sendiri, tenaga sendiri, usaha sendiri, kepandaian sendiri, keringat sendiri, fi’il-fi’il keberanian sendiri.
Inilah yang biasanya kita sebutkan politik “percaya pada kekuatan sendiri”, politik “self-help dan non-cooperation”: politik menyusun kita punya masyarakat secara positif dengan tenaga dan usaha sendiri, politik tidak mau bekerja bersama-sama dengan kaum sana di atas semua lapangan perjuangan politik, politik memboikot dewan-dewan kaum sana, baik yang ada di sini maupun yang ada di negerinya kaum sana sendiri. Tentang politik ini tempohari saya pernah menulis:
“Non-kooperasi adalah salah satu azas perjuangan (strijd-beginsel) kita untuk mencapai Indonesia Merdeka. Di dalam perjuangan mengejar Indonesia Merdeka itu kita harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, antara kaum yang menjajah dan kaum yang dijajah, antara overheerser dan overheerste. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang menjadi sebabnya kita punya non kooperasi. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang memberi keyakinan kepada kita, bahwa Indonesia Merdeka tidaklah bisa tercapai, jikalau kita tidak menjalankan politik non-kooperasi. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang buat sebagian besar menetapkan kita punya azas-azas-perjuangan yang lain-lain,–misalnya machtsvorming, massa-aksi, dan lain-lain.
Oleh karena itulah, maka non-kooperasi bukanlah hanya suatu azas perjuangan “tidak duduk di dalam raad-raad pertuanan” saja. Non-kooperasi adalah suatu actief beginsel, tidak mau bekerja bersama-sama di atas segala lapangan politik dengan kaum pertuanan, melainkan mengadakan suatu perjuangan yang tak kenal damai, suatu onverbiddelijkestrijd engan kaum pertuanan itu. Non-kooperasi tidak berhenti di luar dinding-dindingnya raad-raad saja, tetapi non-kooperasi adalah meliputi semua bagian-bagian daripada kia punya perjuangan politik. Itulah sebabnya, maka non-kooperasi adalah berisi radikalisme, impliceren radikalisme,–radikalisme hati, radikalisme pikiran, radikalisme sepak-terjang, radikalisme di dalam semua innerlijke dan uiterlijke houding. Non-kooperasi meminta kegiatan, meminta radicale activiteit.[i]
Salah satu bagian daripada kita punya non-kooperasi adalah tidak mau duduk di dalam dewan-dewan kaum pertuanan. Sekarang apakah Tweede Kamer juga termasuk dalam dewan-dewan kaum pertuanan itu? Tweede Kamer adalah termasuk dalam dewan-dewan kaum pertuan itu. Sebab justru Tweede Kamer itu bagi kita adalah suatu “belichaming”, suatu “pembadanan”, suatu “penjelmaan” daripada koloniserend Holland, suatu “penjelmaan” daripada kekuasaan atau macht yang mengungkung kita menjadi Rakyat yang tak merdeka. Justru Tweede Kamer itu adalah suatu “symbool” daripada koloniserend Holland, suatu “symbool” daripada keadaan yang menekan kita menjadi Rakyat taklukan dan sengsara. Oleh karena itulah maka non-kooperasi kita sudah di dalam azasnya harus tertuju juga kepada Tweede Kamer khususnya dan Staten Generaal umumnya,–ya, harus ditujukan juga kepada semua “belichaming-belichaming” lain daripada sesuatu sistem yang buat mengungkung kita dan bangsa Asia, misalnya Volkenbond dan lain sebagainya.
Anarkisme? Toch Tweede Kamer suatu parlamen? Memang, Tweede Kamer adalah suatu parlamen; tetai Tweede Kamer adalah suatu parlamen Belanda. Memang kita adalah orang anarkis, kalau kita menolak segala keparlamenan. Memang kita orang anarkis, kalau misalnya nanti kita menolak duduk di dalam parlamen Indonesia, yang nota bene hanya bisa berada di dalam suatu Indonesia yang Merdeka, dan yang akan memberi jalan kepada demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Memang! Jikalau seorang Inggris memboikot parlamen Inggris, jikalau seorang Jerman tidak sudi duduk dalam parlamen Jerman, jikalau seorang Prancis menolak kursi dalam parlamen Prancis, maka ia boleh jadi seorang anarkis. Tetapi jikalau seandainya mereka menolak duduk di dalam suatu parlamen daripada suatu negeri yang mengungkung negeri mereka,–jikalau kita bangsa Indonesia sudah di dalam azasnya menolak duduk dalam parlamen Belanda–, maka itu bukanlah anarkisme, tetapi suatu asaz perjuangan nasionalis-non-kooperator yang sesehat-sehatnya!
Lihatlah riwayat perjuangan non-kooperasi di negeri-negeri lain. Lihatlah misalnya riwayat non-kooperasi di negeri Irlandia, –salah satu sumber daripada perjuangan non-kooperasi itu. Lihatlah di situ sepak terjangnya kaum Sinn Fein. “Sinn Fein” adalah mereka punya semboyan,–sinn fein, yang berarti “kita sendiri”.
“Kita sendiri!”, itulah gambarnya mereka punya politik; politik tidak mau bekerja bersama-sama dengan Inggris, tidak mau kooperasi dengan Inggris, tidak mau duduk di dalam parlamen Inggris. “Janganlah masuk ke Westminster, tinggalkanlah Westminster itu, dirikanlah Westminster sendiri!”, adalah propaganda dan aksi yang dijalankan oleh Sinn Fein. Adakah mereka itu kaum anarkis? Mereka bukan kaum anarkis, tetapi kaum nasionalis non kooperator yang prinsipil. Nah, non-kooperasi kita haruslah non-kooperasi yang prinsipil pula.
Orang menganjurkan duduk di Tweede Kamer buat menjalankan politiek-oppositie dan politiek-obstructie, dan memperusahakan Tweede Kamer itu menjadi mimbar perjuangan. Politik yang demikian itu boleh dijalankan, dan memang sering dijalankan pula oleh kaum kiri, sebagai kaum O.SP., kaum komunis, atau kaum C. R. Das cs. di Hindustan yang juga tidak anti parlamen Inggris. Tetapi politik yang demikian itu tidak boleh dijalanan oleh seorang nasionalis-non-kooperator. Pada saat yang seorang nasionalis-non-kooperator masuk ke dalam suatu dewan kaum pertuanan, ya, pada saat yang ia di dalam azasnya suka masuk ke dalam sesuatu dewan kaum pertuanan itu, sekalipun dewan itu berupa Tweede Kamer Belanda atau Volkenbond,–pada saat itu ia melanggar azas, yang disendikan pada keyakinan atas adanya pertentangan kebutuhan antara kaum pertuanan itu dengan kaumnya sendiri. Pada saat itu ia menjalankan politik yang tidak prinsipil lagi, menjalankan politik yang pada hakekatnya melanggar azas non-kooperasi adanya!
Kita harus menjalankan politik non-kooperasi yang prinsipil,–menolak pada azasnya kursi di Volkstraad, di Staten Generaal, di dalam Vokenbond. Dan bagaimana tadi telah saya terangkan, maka perkara dewan-dewan ini hanyalah salah satu bagian saja daripada non-kooperasi kita. Bagian yang terpenting daripada non-kooperasi kita adalah: dengan mendidik Rakyat percaya kepada “kita sendiri”,–untuk meminjam perkataan kaum non-kooperasi Irlandia–, menyusun dan menggerakkan suatu massa-aksi, suatu machtsvorming Marhaen yang hebat dan kuasa!
Pembaca telah ingat: ini adalah sebagian daripada tulisan saya dalam bertukar pikiran dengan Saudara Mohammad Hatta. Pendirian Sudara Mohammat Hatta, yang masih suka masuk parlamen negeri Belanda itu, memang kurang benar, memang menyalahi azas. Partai Sarekat Islam Indonesia pun di dalam kongresnya yang akhir-akhir ini menolak sesuatu kursi di dalam parlamen negeri Belanda itu!
Tetapi bagaimanakah jelasnya “ke-sendirian” yang saya sebutkan di atas tadi? Bagaimanakah jelasnya politik “segala-gala sendiri”, yakni politik “kemampuan sendiri, tenaga sendiri, usaha sendiri, kepandaian sendiri, keringat sendiri, fi’il-fi’il keberanian sendiri” itu tadi?
Bagaimana jelasnya? Jelasnya ialah, bahwa “kesendirian” itu harusnya kepribadian, dan bukan kedirian. Jelasnya ialah, bahwa kita, harus berpolitik kepribadian, dan jangan berpolitik kedirian. Teka-teki? Memang, terdengarnya seperti teka-teki. Terdengarnya seperti kemikan pat-pat-guli-pat. Marilah saya terangkan yang agak jelas: Tentang politik “kesendirian” itu di waktu yang akhir-akhir ini banyak sekali orang yang salah faham. Mereka yang salah faham itu tentu saja orang-orang yang masih hijau di atas lapangan politik, orang-orang yang tua bangka tapi kurang makan garamnya politik, orang-orang yang tiada “benul” sedikitpun tenang urusan politik. Mereka berkata, bahwa kita, karena kita berazas “kesendirian”, tidak boleh mencari perhubungan samasekali dengan lain-lain bangsa. Mereka pernah mengeritik saya, karena saya di dalam sidang pembantu majalah “Suluh Indonesia Muda” telah memasukkan dua orang Tionghoa, yakni Saudara Kwee Kek Beng dan saudara Dr. Kwa Tjoan Siu. Mereka menuduh saya telah melanggar azas “kesendirian” itu!
Mereka dengan tuduhan ini telah membuktikan, bahwa mereka adalah “salah wissel” samasekali, salah faham samasekali, tersesat samasekali. Amboi,–tidak boleh mencari perhubungan samasekali dengan lain-lain bangsa! Inilah “kesendirian” yang sebenarnya kedirian yang setulen-tulennya. “Kesendirian” yang demikian itu, yang mau melepaskan semua perhubungan dengan dunia luaran, yang mau “bersarang” di dalam dunia sendiri, yang mau menutup diri sendiri dengan rasa puas-puas dari segala pengaruhnya dunia sekelilingnya, “kesendirian” yang demikian itu adalah sangat berbau butek seperti baunya hawa gudang yang senantiasa tertutup.
“Kesendirian” yang demikian itu adalah kesendirian orang yang sempit budi.
“Kesendirian” yang demikian itu adalah seperti kesendiriannya katak di bawah tempurung! “Kesendirian” yang demikian itu adalah juga kesendiriannya orang yang tiada benul samasekali tentang radicale taktiek, tiada begug samasekali tentang radicale bevrijdingspolitiek!
Sebab radicale bevrijdingspolitiek adalah justru menyuruh kita mencari perhubungan dengan dunia luaran. Imperialisme yang merajalela di Indonesia hanyalah bisa kita kalahkan dengan selekas-lekasnya, kalau kita berjabatan tangan dengan bangsa-bangsa Asia di luar pagar, mengadakan eenheidsfront, barisan persatuan, dengan bangsa-bangsa Asia di luar pagar. Imperialisme yang kini ada di Indonesia bukan lagi imperialisme Belanda saja seperti sediakala, imperialisme yang kini ada di sini sudahlah menjadi imperialisme internasional yang bermacam-macam warna. Di dalam bagian dua dari risalah ini sudah saya terangkan: Raksasa modern-imperialisme yang ada di sini, kini bukan lagi raksasa biasa, tetapi sudah menjelma menjadi raksasa Rahwana Dasamuka yang sepuluh kepala dan mulutnya,–badannya imperialisme Belanda, tapi badan ini memikul kepala imperialisme Inggris, kepala imperialisme Amerika, kepala imperialisme Jepang, Prancis, Jerman, Italia dan lain-lain: di Sumatera Timur saja jumlahnya modal perkebunan yang bukan modal Belanda adalah f 281.497.000, di tanah Jawa f 214.325.000, di Sumatera Selatan f 33.144.000, di perusahaan minyak nama Shell dan Koninklijke adalah nama yang bukan Belanda lagi. Raksasa Rahwana Dasamuka yang demikian ini tak dapat dikalahkan dengan “kesendirian” yang seperti katak di bawah tempurung. Lenyapkanlah semangat katak itu, lenyapkanlah kedirian itu, tetapi lihatlah betapa Rakyat Inda kini bergulat mati-matian dengan imperialisme Inggris, lihatlah betapa Rakyat Filipina habis-habisan tenaga melawan imperialisme Amerika betapa Mesir menghantam imperialisme Inggris, betapa Indo-China memukul imperialisme Prancis, betapa Tiongkok berkeluh kesah melawan imperialisme internasional dan imperialisme Jepang. Lihatlah, betapa imperialisme-imperialisme yang diusahakan gugurnya oleh bangsa-bangsa tetangga itu, satu per satunya juga duduk di atas masyarakat kita, menjadi kepala-kepalanya Rahwana Dasamuka yang kita musuhi itu! Lemparkanlah semangat katak itu jauh-jauh, dan insyafkanlah betapa faedahnya kita berjabatan tangan dengan bangsa-bangsa tetangga itu, yang sebenarnya satu musuh dengan kita, satu lawan dengan kita, satu seteru, satu tandingan! Lemparkanlah jauh-jauh tempurungmu, dan carilah perhubungan dengan semua musuh-musuhnya Rahwana Dasamuka yang kita musuhi!
Inilah “kesendirian” yang berbedaan bumi-langit dengan kedirian yang sempit-budi. Kesendirian tidak melarang perhubungan dengan lain-lain bangsa, tidak melarang pekerjaan-bersama dengan lain-lain bangsa,–kesendirian hanyalah suatu rasa-kemampuan, suatu rasa-kebisaan, suaru rasa-ketenagaan, suatu rasa-kepribadian, yang menyuruh sebanyak-banyak dan seboleh-boleh berusaha sendiri, tetapi tidak mengharamkan pekerjaan bersama dengan luar pagar bilamana berfaedah dan perlu. Imperialismelah, dan bondoroyotnya imperialismelah yang harus kita ingkari, tetapi musuh-musuh imperialisme adalah kawan kita! Lemparkanlah “kesendirian” yang sempit-budi itu dan ambillah kesendirian yang lebar-budi ini, lemparkanlah kedirian itu dan ambillah kepribadian ini!
O, insyaf, insyaflah bahwa “penjaga” yang menjaga “orde en rust” Indonesia bukanlah lagi “penjaga” Belanda saja! Penjaga “orde en rust” itu, sejak adanya opendeur-politiek yang memasukkan macam-macam imperialisme melalui pintu-gerbang perekonomian Indonesia, adalah penjaga internasional, ang terdiri dari penjaga Belanda, penjaga Inggris, penjaga Amerika, penjaga Prancis, dan lain-lain. Memang justru buat itulah di sini diadakan opendeur-politiek, justru buat teguhnya penjagaan itulah di sini diadakan politik “pintu-terbuka”.[ii] Internasional-imperialisme itu, yang masing-masing kini di Indonesia mempunyai kepentingan yang harus “selamat”, internasional-imperialisme itu kini masing-masing menjaga dengan seawas-awasnya jangan sampai “keselamatan” kepentingannya itu terganggu. Imperialisme-Internasional itu masing-masing berkata: “di Indonesia saya ada menyimpan raja-berana, marilah saya ikut menjaga, jangan sampai raja-berana itu hancur.” Oleh karena itu, tidakkah suatu kebaikan, tidakkan suatu kefaedahan, tidakkah suatu keharusan, yang di muka persekutuan imperialisme-internasional itu kita hadapkan pula persekutuan bangsa-bangsa yang masing-masing juga melawan imperialisme internasional itu? Tidakkah dus di dalam hakekatnya suatu pengkhianatan kepada kita punya Grote Zaak, jikalau kita dimukanya persekutuan imperialisme ini mau berpolitik politiknya kata di bawah tempurung?
Dua belas tahun yang lalu benggol-benggolnya internasional-imperialisme telah berkonferensi bersama-sama di kota Washington guna membicarakan “keadaan-keadaan di benua Asia”. Dua belas bulanyang lalu, lebih sedikit, Albert Sarraut di muka suatu imperialistisch congress di kota Paris memperkuat lagi “pembicaraan” ini: “Negeri-negeri yang berkoloni harus rukun satu sama lain. . . . Mereka kini tak boleh bermusuh-musuhan lagi, tetapi harus bekerja bersama-sama.” Dan duabelas bulan yang lalu pula, Colijn mengeluarkan nyanyian yang sama lagunya. Maka oleh karena itu, jikalau raksasa-raksasa imperialisme bekerja bersama-sama, marilah kita, korban-korbannya raksasa-raksasa-imperialisme itu, juga bekerja bersama-sama. Marilah kita juga mengadakan eenheidsfront daripada prajurit-prajurit kemerdekaan Asia. Jikalau Banteng Indonesia sudah bekerja bersama-sama dengan Sphinx dari negeri Mesir, dengan Lembu Nandi dari negeri India, dengan Liong-Barongsai dari negeri Tiongkok, dengan kampiun-kampiun kemerdekaan dari negeri lain,–jikalau Banteng Indonesia bisa bekerja bersama-sama dengan semua musuh kapitalisme dan internasional-imperialisme di seluruh dunia–, wahai, tentu hari-harinya internasional-imperialisme itu segera terbilang!
Nah, inilah kesendirian yang sejati, kepribadian yang sejati: percaya pada kekuatan sendiri, percaya pada kemampuan sendiri, seboleh-boleh dan sebanyak-banyak bekerja sendiri,–tetapi mata melihat keluar pagar, tangan dilancarkan keluar pagar itu jikalau berfaedah dan perlu. Kepribadian inilah yang harus mengganti kedirian yang bersemangat katak!

[i] Tidak semua orang yang tidak duduk dalam raad atau tidak kerja pada gupermen (misalnya tukang soto), ada orang “non”.

[ii] Pertimbangan lain buat mengadakan opendeur-politiek itu ialah buat mengadakan politiek “evenwicht”, yaitu supaya Indonesia jangan “diambil” oleh suatu imperialism lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar