Sana Mau Ke Sana, Sini Mau Ke Sini
Tetapi
sekarang timbul pertanyaan: bagaimana kita melaksanakan, menjelmakan,
merealisasikan tiga bentukan itu? Bagaimana kita mendatangkan masyarakat yang
bebas dari kapitalisme-imperialisme, bagaimana kita yang mewaris politieke
macht, bagaimana, lebih dulu, kita mencapai Indonesia Merdeka?
Untuk
bisa mencapai Indonesia Merdeka, kita lebih dulu harus mengetahui hakekatnya
kedudukan antara imperialisme dan kita, hakekat kedudukan antara sana dan sini.
Hakekat kedudukan sana-sini itulah nanti yang menentukan azas-azas-strategi
kita, azas-azas-taktik kita. Hakekat kedudukan itulah yang nanti harus
menentukan “houding” kita terhaap pada kaum sana itu adanya.
Bagaimana
hakekat kedudukan itu? Hakekat kedudukan itu boleh kita gambarkan dengan satu
perkataan saja: pertentangan. Pertentangan dalam segala hal. Pertentangan asal,
pertentangan tujuan, pertentangan kebutuhan, pertentangan sifat, pertentangan
hakekat. Tidak ada perbarengan, tidak ada persamaan sedikitpun antara sana dan
sini. Tidak ada persesuaian antara sana dan sini. Antara sana dan sini ada pertentangan
sebagai api dan air, sebagai srigala dan rusa, seagai kejahatan dan kebenaran.
Memang
riwayat-dunia selamanya menunjukkan pertentangan antara dua golongan. Memang
riwayat dunia selamanya menunjukkan adanya suatu golongan “atas” dan adanya
suatu golongan “bawah”, yang bertentangan satu sama lain, berantitesis satu
sama lain: di zaman feodal golongan ningrat dengan golongan “kawulo”, di zaman
kapitalisme golongan kemodalan dengan golongan proletar, di zaman kolonial
golongan si penjajah dengan golongan si terjajah. Maka antitesis alias
pertentangan yang belakangan inilah yang menguasai segenap sifat hakekatnya
perhubungan antara sana dan sini, segenap “wezen-nya” perhubungan antara sana
dan sini, sehingga sana dan sini selamanya adalah ketabrakan satu sama lain.
Antitesis inilah yang oleh kaum Marxis disebutkan dialektiknya sesuatu keadaan,
dialektiknya sesuatu bagian daripada riwayat, dialektiknya sesuatu bagian di
dalam gerak bangkitnya alam.
Hakekat kedudukan sana-sini itulah nanti yang
menentukan azas-azas-strategi kita, azas-azas-taktik kita.
Maka
oleh karena itu buta dan dustalah tiap-tiap orang yang mau memungkiri atau
menutupi antitesis itu, buta dan dusta jugalah tiap-tiap siapa saja yang mau
menipiskan pertentangan antara dua pihak itu. Buta dan dustalah siapa saja yang
mau “mengakurkan” piak sana sini tidak bisa dipungkiri atau ditipiskan
antitesanya,–sana dan sini walau sampai ke zaman kiamatpun akan selamanya
berhadap-hadapan satu sama lain sebagai singa dan mangsanya. Sana dan sini akan
selamanya bertabrak-tabrakan satu sama lain, berantitesis satu sama lain,
sehingga akhirnya sana hilang dari hadapan sini sama sekali. Tidakkah sana
senang akan terusnya penjajahan Indonesia sampai ke zaman akhirnya alam,
tidakkah sana senang akan terusnya kecakrawatian di atas semua bagian daripada
masyarakat Indonesia, tidakkah sana hidup justru daripada sini? Tidakkah
sebaliknya sini mau selekas-lekasnya merdeka, tidakkah sini mau
selekas-lekasnya mencakrawarti masyarakat sendiri?
Buta,
seklai lagi butalah siapa saja yang mau memungkiri adanya pertentangan ini,
tabrakan ini, antitesis ini,–yang memang sudah karena dialektiknya alam. Tetapi
kita, yang justru membentuk pergerakan yang memikul alam dan terpikul alam,
memikul natur dan terpikul natur, kita yang tidak mau buta, harus justru
mengambil antitesa ini sebagai uger-ugernya semua kita punya azas perjuangan
dan semua kita punya taktik. Kita harus justru mengalaskan segala kita punya
sepak-terjang di atas dialektika ini, mengalaskan segala kita punya “houding”
di atas dialektika ini. Kita harus dengan sekelebatan mata saja sudah mengerti,
bahwa dialektika ini adalah menyuruh kita selamanya ngkar daripada kaum sana
itu, tidak bekerja bersama-sama dengan kaum sana itu, sebaliknya mengadakan
perlawanan zonder damai terhadap pada kaum sana itu,–sampai kepada saat
keunggulan dan kemenangan. Kita harus dengan sekelebatan mata saja mengerti,
bahwa oleh adanya antitesis ini, kemenangan hanyalah bisa kita capai dengan
kebiasaan sendiri, tenaga sendiri, usaha sendiri, kepandaian sendiri, keringat
sendiri, fi’il-fi’il keberanian sendiri.
Inilah
yang biasanya kita sebutkan politik “percaya pada kekuatan sendiri”, politik
“self-help dan non-cooperation”: politik menyusun kita punya masyarakat secara
positif dengan tenaga dan usaha sendiri, politik tidak mau bekerja bersama-sama
dengan kaum sana di atas semua lapangan perjuangan politik, politik memboikot
dewan-dewan kaum sana, baik yang ada di sini maupun yang ada di negerinya kaum
sana sendiri. Tentang politik ini tempohari saya pernah menulis:
“Non-kooperasi
adalah salah satu azas perjuangan (strijd-beginsel) kita untuk mencapai
Indonesia Merdeka. Di dalam perjuangan mengejar Indonesia Merdeka itu kita
harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan kebutuhan antara sana dan
sini, antara kaum yang menjajah dan kaum yang dijajah, antara overheerser dan
overheerste. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang menjadi sebabnya kita
punya non kooperasi. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang memberi
keyakinan kepada kita, bahwa Indonesia Merdeka tidaklah bisa tercapai, jikalau
kita tidak menjalankan politik non-kooperasi. Memang pertentangan kebutuhan
inilah yang buat sebagian besar menetapkan kita punya azas-azas-perjuangan yang
lain-lain,–misalnya machtsvorming, massa-aksi, dan lain-lain.
Oleh
karena itulah, maka non-kooperasi bukanlah hanya suatu azas perjuangan “tidak
duduk di dalam raad-raad pertuanan” saja. Non-kooperasi adalah suatu actief
beginsel, tidak mau bekerja bersama-sama di atas segala lapangan politik dengan
kaum pertuanan, melainkan mengadakan suatu perjuangan yang tak kenal damai,
suatu onverbiddelijkestrijd engan kaum pertuanan itu. Non-kooperasi tidak
berhenti di luar dinding-dindingnya raad-raad saja, tetapi non-kooperasi adalah
meliputi semua bagian-bagian daripada kia punya perjuangan politik. Itulah
sebabnya, maka non-kooperasi adalah berisi radikalisme, impliceren
radikalisme,–radikalisme hati, radikalisme pikiran, radikalisme sepak-terjang,
radikalisme di dalam semua innerlijke dan uiterlijke houding. Non-kooperasi
meminta kegiatan, meminta radicale activiteit.[i]
Salah
satu bagian daripada kita punya non-kooperasi adalah tidak mau duduk di dalam
dewan-dewan kaum pertuanan. Sekarang apakah Tweede Kamer juga termasuk dalam
dewan-dewan kaum pertuanan itu? Tweede Kamer adalah termasuk dalam dewan-dewan
kaum pertuan itu. Sebab justru Tweede Kamer itu bagi kita adalah suatu
“belichaming”, suatu “pembadanan”, suatu “penjelmaan” daripada koloniserend
Holland, suatu “penjelmaan” daripada kekuasaan atau macht yang mengungkung kita
menjadi Rakyat yang tak merdeka. Justru Tweede Kamer itu adalah suatu “symbool”
daripada koloniserend Holland, suatu “symbool” daripada keadaan yang menekan
kita menjadi Rakyat taklukan dan sengsara. Oleh karena itulah maka
non-kooperasi kita sudah di dalam azasnya harus tertuju juga kepada Tweede
Kamer khususnya dan Staten Generaal umumnya,–ya, harus ditujukan juga kepada
semua “belichaming-belichaming” lain daripada sesuatu sistem yang buat
mengungkung kita dan bangsa Asia, misalnya Volkenbond dan lain sebagainya.
Anarkisme?
Toch Tweede Kamer suatu parlamen? Memang, Tweede Kamer adalah suatu parlamen;
tetai Tweede Kamer adalah suatu parlamen Belanda. Memang kita adalah orang
anarkis, kalau kita menolak segala keparlamenan. Memang kita orang anarkis,
kalau misalnya nanti kita menolak duduk di dalam parlamen Indonesia, yang nota
bene hanya bisa berada di dalam suatu Indonesia yang Merdeka, dan yang akan
memberi jalan kepada demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Memang! Jikalau
seorang Inggris memboikot parlamen Inggris, jikalau seorang Jerman tidak sudi
duduk dalam parlamen Jerman, jikalau seorang Prancis menolak kursi dalam
parlamen Prancis, maka ia boleh jadi seorang anarkis. Tetapi jikalau seandainya
mereka menolak duduk di dalam suatu parlamen daripada suatu negeri yang
mengungkung negeri mereka,–jikalau kita bangsa Indonesia sudah di dalam azasnya
menolak duduk dalam parlamen Belanda–, maka itu bukanlah anarkisme, tetapi
suatu asaz perjuangan nasionalis-non-kooperator yang sesehat-sehatnya!
Lihatlah
riwayat perjuangan non-kooperasi di negeri-negeri lain. Lihatlah misalnya
riwayat non-kooperasi di negeri Irlandia, –salah satu sumber daripada perjuangan
non-kooperasi itu. Lihatlah di situ sepak terjangnya kaum Sinn Fein. “Sinn
Fein” adalah mereka punya semboyan,–sinn fein, yang berarti “kita sendiri”.
“Kita
sendiri!”, itulah gambarnya mereka punya politik; politik tidak mau bekerja
bersama-sama dengan Inggris, tidak mau kooperasi dengan Inggris, tidak mau
duduk di dalam parlamen Inggris. “Janganlah masuk ke Westminster, tinggalkanlah
Westminster itu, dirikanlah Westminster sendiri!”, adalah propaganda dan aksi
yang dijalankan oleh Sinn Fein. Adakah mereka itu kaum anarkis? Mereka bukan
kaum anarkis, tetapi kaum nasionalis non kooperator yang prinsipil. Nah,
non-kooperasi kita haruslah non-kooperasi yang prinsipil pula.
Orang
menganjurkan duduk di Tweede Kamer buat menjalankan politiek-oppositie dan politiek-obstructie,
dan memperusahakan Tweede Kamer itu menjadi mimbar perjuangan. Politik yang
demikian itu boleh dijalankan, dan memang sering dijalankan pula oleh kaum
kiri, sebagai kaum O.SP., kaum komunis, atau kaum C. R. Das cs. di Hindustan
yang juga tidak anti parlamen Inggris. Tetapi politik yang demikian itu tidak
boleh dijalanan oleh seorang nasionalis-non-kooperator. Pada saat yang seorang
nasionalis-non-kooperator masuk ke dalam suatu dewan kaum pertuanan, ya, pada
saat yang ia di dalam azasnya suka masuk ke dalam sesuatu dewan kaum pertuanan
itu, sekalipun dewan itu berupa Tweede Kamer Belanda atau Volkenbond,–pada saat
itu ia melanggar azas, yang disendikan pada keyakinan atas adanya pertentangan
kebutuhan antara kaum pertuanan itu dengan kaumnya sendiri. Pada saat itu ia
menjalankan politik yang tidak prinsipil lagi, menjalankan politik yang pada
hakekatnya melanggar azas non-kooperasi adanya!
Kita
harus menjalankan politik non-kooperasi yang prinsipil,–menolak pada azasnya
kursi di Volkstraad, di Staten Generaal, di dalam Vokenbond. Dan bagaimana tadi
telah saya terangkan, maka perkara dewan-dewan ini hanyalah salah satu bagian
saja daripada non-kooperasi kita. Bagian yang terpenting daripada non-kooperasi
kita adalah: dengan mendidik Rakyat percaya kepada “kita sendiri”,–untuk
meminjam perkataan kaum non-kooperasi Irlandia–, menyusun dan menggerakkan
suatu massa-aksi, suatu machtsvorming Marhaen yang hebat dan kuasa!
Pembaca
telah ingat: ini adalah sebagian daripada tulisan saya dalam bertukar pikiran
dengan Saudara Mohammad Hatta. Pendirian Sudara Mohammat Hatta, yang masih suka
masuk parlamen negeri Belanda itu, memang kurang benar, memang menyalahi azas.
Partai Sarekat Islam Indonesia pun di dalam kongresnya yang akhir-akhir ini
menolak sesuatu kursi di dalam parlamen negeri Belanda itu!
Tetapi
bagaimanakah jelasnya “ke-sendirian” yang saya sebutkan di atas tadi?
Bagaimanakah jelasnya politik “segala-gala sendiri”, yakni politik “kemampuan
sendiri, tenaga sendiri, usaha sendiri, kepandaian sendiri, keringat sendiri,
fi’il-fi’il keberanian sendiri” itu tadi?
Bagaimana
jelasnya? Jelasnya ialah, bahwa “kesendirian” itu harusnya kepribadian, dan
bukan kedirian. Jelasnya ialah, bahwa kita, harus berpolitik kepribadian, dan
jangan berpolitik kedirian. Teka-teki? Memang, terdengarnya seperti teka-teki.
Terdengarnya seperti kemikan pat-pat-guli-pat. Marilah saya terangkan yang agak
jelas: Tentang politik “kesendirian” itu di waktu yang akhir-akhir ini banyak
sekali orang yang salah faham. Mereka yang salah faham itu tentu saja
orang-orang yang masih hijau di atas lapangan politik, orang-orang yang tua
bangka tapi kurang makan garamnya politik, orang-orang yang tiada “benul”
sedikitpun tenang urusan politik. Mereka berkata, bahwa kita, karena kita berazas
“kesendirian”, tidak boleh mencari perhubungan samasekali dengan lain-lain
bangsa. Mereka pernah mengeritik saya, karena saya di dalam sidang pembantu
majalah “Suluh Indonesia Muda” telah memasukkan dua orang Tionghoa, yakni
Saudara Kwee Kek Beng dan saudara Dr. Kwa Tjoan Siu. Mereka menuduh saya telah
melanggar azas “kesendirian” itu!
Mereka
dengan tuduhan ini telah membuktikan, bahwa mereka adalah “salah wissel”
samasekali, salah faham samasekali, tersesat samasekali. Amboi,–tidak boleh
mencari perhubungan samasekali dengan lain-lain bangsa! Inilah “kesendirian”
yang sebenarnya kedirian yang setulen-tulennya. “Kesendirian” yang demikian
itu, yang mau melepaskan semua perhubungan dengan dunia luaran, yang mau
“bersarang” di dalam dunia sendiri, yang mau menutup diri sendiri dengan rasa
puas-puas dari segala pengaruhnya dunia sekelilingnya, “kesendirian” yang
demikian itu adalah sangat berbau butek seperti baunya hawa gudang yang
senantiasa tertutup.
“Kesendirian”
yang demikian itu adalah kesendirian orang yang sempit budi.
“Kesendirian”
yang demikian itu adalah seperti kesendiriannya katak di bawah tempurung!
“Kesendirian” yang demikian itu adalah juga kesendiriannya orang yang tiada
benul samasekali tentang radicale taktiek, tiada begug samasekali tentang
radicale bevrijdingspolitiek!
Sebab
radicale bevrijdingspolitiek adalah justru menyuruh kita mencari perhubungan
dengan dunia luaran. Imperialisme yang merajalela di Indonesia hanyalah bisa
kita kalahkan dengan selekas-lekasnya, kalau kita berjabatan tangan dengan
bangsa-bangsa Asia di luar pagar, mengadakan eenheidsfront, barisan persatuan,
dengan bangsa-bangsa Asia di luar pagar. Imperialisme yang kini ada di
Indonesia bukan lagi imperialisme Belanda saja seperti sediakala, imperialisme
yang kini ada di sini sudahlah menjadi imperialisme internasional yang
bermacam-macam warna. Di dalam bagian dua dari risalah ini sudah saya
terangkan: Raksasa modern-imperialisme yang ada di sini, kini bukan lagi
raksasa biasa, tetapi sudah menjelma menjadi raksasa Rahwana Dasamuka yang
sepuluh kepala dan mulutnya,–badannya imperialisme Belanda, tapi badan ini
memikul kepala imperialisme Inggris, kepala imperialisme Amerika, kepala
imperialisme Jepang, Prancis, Jerman, Italia dan lain-lain: di Sumatera Timur
saja jumlahnya modal perkebunan yang bukan modal Belanda adalah f 281.497.000,
di tanah Jawa f 214.325.000, di Sumatera Selatan f 33.144.000, di perusahaan
minyak nama Shell dan Koninklijke adalah nama yang bukan Belanda lagi. Raksasa
Rahwana Dasamuka yang demikian ini tak dapat dikalahkan dengan “kesendirian”
yang seperti katak di bawah tempurung. Lenyapkanlah semangat katak itu,
lenyapkanlah kedirian itu, tetapi lihatlah betapa Rakyat Inda kini bergulat
mati-matian dengan imperialisme Inggris, lihatlah betapa Rakyat Filipina
habis-habisan tenaga melawan imperialisme Amerika betapa Mesir menghantam
imperialisme Inggris, betapa Indo-China memukul imperialisme Prancis, betapa
Tiongkok berkeluh kesah melawan imperialisme internasional dan imperialisme
Jepang. Lihatlah, betapa imperialisme-imperialisme yang diusahakan gugurnya
oleh bangsa-bangsa tetangga itu, satu per satunya juga duduk di atas masyarakat
kita, menjadi kepala-kepalanya Rahwana Dasamuka yang kita musuhi itu!
Lemparkanlah semangat katak itu jauh-jauh, dan insyafkanlah betapa faedahnya
kita berjabatan tangan dengan bangsa-bangsa tetangga itu, yang sebenarnya satu
musuh dengan kita, satu lawan dengan kita, satu seteru, satu tandingan!
Lemparkanlah jauh-jauh tempurungmu, dan carilah perhubungan dengan semua musuh-musuhnya
Rahwana Dasamuka yang kita musuhi!
Inilah
“kesendirian” yang berbedaan bumi-langit dengan kedirian yang sempit-budi.
Kesendirian tidak melarang perhubungan dengan lain-lain bangsa, tidak melarang
pekerjaan-bersama dengan lain-lain bangsa,–kesendirian hanyalah suatu
rasa-kemampuan, suatu rasa-kebisaan, suaru rasa-ketenagaan, suatu
rasa-kepribadian, yang menyuruh sebanyak-banyak dan seboleh-boleh berusaha
sendiri, tetapi tidak mengharamkan pekerjaan bersama dengan luar pagar bilamana
berfaedah dan perlu. Imperialismelah, dan bondoroyotnya imperialismelah yang
harus kita ingkari, tetapi musuh-musuh imperialisme adalah kawan kita!
Lemparkanlah “kesendirian” yang sempit-budi itu dan ambillah kesendirian yang
lebar-budi ini, lemparkanlah kedirian itu dan ambillah kepribadian ini!
O,
insyaf, insyaflah bahwa “penjaga” yang menjaga “orde en rust” Indonesia
bukanlah lagi “penjaga” Belanda saja! Penjaga “orde en rust” itu, sejak adanya
opendeur-politiek yang memasukkan macam-macam imperialisme melalui pintu-gerbang
perekonomian Indonesia, adalah penjaga internasional, ang terdiri dari penjaga
Belanda, penjaga Inggris, penjaga Amerika, penjaga Prancis, dan lain-lain.
Memang justru buat itulah di sini diadakan opendeur-politiek, justru buat
teguhnya penjagaan itulah di sini diadakan politik “pintu-terbuka”.[ii]
Internasional-imperialisme itu, yang masing-masing kini di Indonesia mempunyai
kepentingan yang harus “selamat”, internasional-imperialisme itu kini
masing-masing menjaga dengan seawas-awasnya jangan sampai “keselamatan”
kepentingannya itu terganggu. Imperialisme-Internasional itu masing-masing
berkata: “di Indonesia saya ada menyimpan raja-berana, marilah saya ikut menjaga,
jangan sampai raja-berana itu hancur.” Oleh karena itu, tidakkah suatu
kebaikan, tidakkan suatu kefaedahan, tidakkah suatu keharusan, yang di muka
persekutuan imperialisme-internasional itu kita hadapkan pula persekutuan
bangsa-bangsa yang masing-masing juga melawan imperialisme internasional itu?
Tidakkah dus di dalam hakekatnya suatu pengkhianatan kepada kita punya Grote
Zaak, jikalau kita dimukanya persekutuan imperialisme ini mau berpolitik
politiknya kata di bawah tempurung?
Dua
belas tahun yang lalu benggol-benggolnya internasional-imperialisme telah
berkonferensi bersama-sama di kota Washington guna membicarakan
“keadaan-keadaan di benua Asia”. Dua belas bulanyang lalu, lebih sedikit,
Albert Sarraut di muka suatu imperialistisch congress di kota Paris memperkuat
lagi “pembicaraan” ini: “Negeri-negeri yang berkoloni harus rukun satu sama
lain. . . . Mereka kini tak boleh bermusuh-musuhan lagi, tetapi harus bekerja
bersama-sama.” Dan duabelas bulan yang lalu pula, Colijn mengeluarkan nyanyian
yang sama lagunya. Maka oleh karena itu, jikalau raksasa-raksasa imperialisme
bekerja bersama-sama, marilah kita, korban-korbannya
raksasa-raksasa-imperialisme itu, juga bekerja bersama-sama. Marilah kita juga
mengadakan eenheidsfront daripada prajurit-prajurit kemerdekaan Asia. Jikalau
Banteng Indonesia sudah bekerja bersama-sama dengan Sphinx dari negeri Mesir,
dengan Lembu Nandi dari negeri India, dengan Liong-Barongsai dari negeri
Tiongkok, dengan kampiun-kampiun kemerdekaan dari negeri lain,–jikalau Banteng
Indonesia bisa bekerja bersama-sama dengan semua musuh kapitalisme dan
internasional-imperialisme di seluruh dunia–, wahai, tentu hari-harinya
internasional-imperialisme itu segera terbilang!
Nah,
inilah kesendirian yang sejati, kepribadian yang sejati: percaya pada kekuatan
sendiri, percaya pada kemampuan sendiri, seboleh-boleh dan sebanyak-banyak
bekerja sendiri,–tetapi mata melihat keluar pagar, tangan dilancarkan keluar
pagar itu jikalau berfaedah dan perlu. Kepribadian inilah yang harus mengganti
kedirian yang bersemangat katak!
[i]
Tidak semua orang yang tidak duduk dalam raad atau tidak kerja pada gupermen
(misalnya tukang soto), ada orang “non”.
[ii]
Pertimbangan lain buat mengadakan opendeur-politiek itu ialah buat mengadakan
politiek “evenwicht”, yaitu supaya Indonesia jangan “diambil” oleh suatu
imperialism lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar