Sebab-Sebabnya Indonesia Tidak Merdeka
Professor
Veth pernah berkata, bahwa sebenarnya Indonesia tidak pernah merdeka. Dari
zaman purbakala sampai sekarang, dari zaman ribuan tahun sampai sekarang,—dari
zaman Hindu sampai sekarang , maka menurut professor itu Indonesia senantiasa
menjadi negeri jajahan: mula-mula jajahan Hindu, kemudian jajahan Belanda.
Dengan persetujuan yang sepenuh-penuhnya, maka didalam satu bukunya ia
mencantumkan syairnya seorang penyair yang berbunyi:
“Aan
Java’s strand verdrongen zich de volken;Steeds daagden nieuwe meesters over’t meer;
Zij volgden op elkaar, gelijk aan ‘t zwerk de wolken
De telg des lands allen was nooit zijn heer.”
Syair mana berarti:
“Dipantainya tanah Jawa rakyat berdesak-desakan;
Datang selalu tuan-tuannya setiap masa:
Mereka beruntun-runtun sebagai runtutan awan;
Tapi anak-pribumi sendiri ta’pernah kuasa.”
Pendapat
kita tentang pendirian ini? Pendapat kita ialah, bahwa professor yang pandai
itu, yang memang menjadi salah satu “datuk”-nya penyelidikan riwayat kita, ini
kali salah raba. Ia lupa, bahwa adalah perbedaan yang dalam sekali antara
hakekatnya zaman Hindu dan hakekatnya zaman sekarang. Ia lupa, bahwa zaman
Hindu itu tidak terutama sekali berarti suatu pengungkungan oleh kekuasaan
Hindu, yakni tidak terutama sekali berarti suatu machtsusurpatie dari pihak
Hindu diatas puncaknya pihak Indonesia. Ia lupa, bahwa didalam zaman Hindu itu
Indonesia sebenarnya adalah merdeka terhadap pada Hindustan, sedang didalam
zaman sekarang Indonesia adalah tidak merdeka terhadap pada negeri Belanda.
Merdeka
terhadap pada Hindustan? Toh raja-raja zaman purbakala itu mula-mula bangsa
Hindu? Toh kaum ningrat zaman purbakala itu mula-mula bangsa Hindu? Toh
kekuasaan zaman purbakala itu ada ditangannya orang-orang bangsa Hindu? Toh
dus, rakyat jelata zaman purbakala itu diperintah oleh orang-orang bangsa
Hindu? Ya! Merdeka terhadap pada Hindustan, oleh karena kaum yang kuasa didalam
zaman Hindu itu tidaklah terutama sekali kaum “usupator”, tidak terutama sekali
kaum “perebut kekuasaan”, — tidak terutama sekali kaum penjajah. Mereka
bukanlah kaum yang merebut kerajaan, tetapi mereka sendirilah yang mendirikan
kerajaan di Indonesia! Mereka menyusun staat Indonesia, yang tadinya tidak ada
staat Indonesia. Mereka “menemukan” masyarakat Indonesia tidak sebagai suatu
masyarakat yang sudah berupa “negeri”, tetapi suatu masyarakat yang belum
ketinggian susunan. Mereka mendirikan disini suatu keadaban, suatu cultur, yang
bukan suatu cultur “dari atas”, bukan suatu “imperialistische cultuur”, —tetapi
suatu cultur yang hidup dan subur dengan masyarakat Indonesia. Mereka punya
perhubungan dengan Hindustan bukanlah perhubungan kekuasaan, bukanlah
perhubungan pemerintahan , bukanlah perhubungan macht,— tetapi ialah
perhubungan peradaban, perhubungan cultur. Raja-raja zaman perhubungan itu
hanya didalam permulaannya saja orang-orang bangsa Hindu,—raja-raja itu
kemudian adalah orang-orang Hindu-Indonesia, dan kemudian lagi orang-orang
Indonesia-Hindu, yang adat istiadatnya, cara hidupnya, agamanya, culturnya,
kebangsaannya, darahnya, rasnya berganda-ganda kali lebih Indonesia daripada
Hindu. Ya, akhirnya samasekali Indonesia dan hanya “berbau” saja Hindu.
Pendek-kata, didalam zaman purbakala itu negeri Indonesia bukanlah “koloni”
dari negeri Hindu, bukan “kepunyaan” negeri Hindu, bukan jajahan negeri Hindu.
Negeri Indonesia dizaman itu adalah merdeka terhadap pada negeri Hindu adanya!
Negeri
Indonesia ketika itu merdeka,—tetapi penduduk Indonesia, rakyat-jelata
Indonesia, Marhaen Indonesia, adakah ia juga merdeka? Marhaen Indonesia tidak
pernah merdeka. Marhaen Indonesia, sebagai rakyat Marhaen diseluruh Indonesia,
sampai kini belum pernah merdeka! Marhaen Indonesia itu dizaman “Hindu”,
tatkala negeri Indonesia bernama merdeka dari Hindustan, adalah diperintah oleh
raja-rajanya secara feodalisme: Mereka hanyalah menjadi perkakas saja dari
raja-raja itu dengan segala bala-keningratannya, mereka tidak mempunyai hak
menetukan sendiri putih-hitam nasibnya, mereka senantiasa ditindas oleh “kaum
atasan” daripada masyarakat Indonesia itu, sebagaimana kaum Marhaen dimana-mana
negeri dimuka bumi dizaman feodalisme juga menderita nasib tertindas dan
terkungkung. Mereka haruslah hidup dengan selamanya ingat bahwa miliknya dan
nyawanya “nek awan duwekw sang nata, nek wengi duweke dursila”, yakni dengan
selamanya ingat akan nasibnya perkakas, yang banyak kewajibannya tetapi tidak
ada hak-haknya sama sekali. O, Marhaen Indonesia , yang dulu celaka dalam zaman
feodalismenya kerajaan dan keningratan bangsa sendiri, yang kini celaka dalam zaman
modern kapitalisme dan imperialisme,—berjuanglah habis-habisan mendatangkan
nasib yang sejati-jatinya merdeka!
Tetapi
marilah kembali pada pokok pembicaraan: negeri Indonesia, berlainan dengan
pendapat professor veth, dulu adalah negeri yang merdeka. Negeri Indonesia itu
kemudia hilang kemerdekaannya, kemudian menjadi koloni, kemudian menjadi
bezitting, kemudian menjadi negeri-jajahan. Dan bukan negeri Indonesia sahaja!
Seluruh dunia asia kini,—kecuali satu-dua bagian saja,—adalah tidak merdeka.
Mesir tidak merdeka, Hindustan tidak merdeka, Indo-china tidak merdeka,
philipina tidak merdeka, korea tidak merdeka, ya, tiongkok tidak merdeka.
Sebab-sebabnya?
Sebab-sebabnya,
sumber sebab-sebabnya, haruslah kita cari didalam susunan dunia beberapa abad
yang lalu. Tiga empat ratus tahun yang lalu, didalam abad keenam-belas
ketujuh-belas, maka didunia barat adalah selesai suatu
perubahan-susunan-masyarakat: feodalisme Eropah mulai surut sedikit-persidikit,
timbullah suatu kegiatan-pertukangan dan perdagangan, timbullah suatu klasse
pertukangan dan perdagangan, yang giat sekali berniaga diseluruh benua
Eropah-Barat. Dan tatkala klasse ini menjadi sekuat-kuatnya, tatkala mereka
punya kedudukan menjadi kedudukan kecakrawartian, tatkala seluruh masyarakat
Eropah-Barat bersifat mereka punya vroeg-kapitalisme, maka benua Eropah
segeralah menjadi terlalu sempit bagi perniagaanya. Terlalu sempit benua Eropah
itu bagi usahanya berjengkelitan membesar-besarkan tubuh dan anggotanya,
terlalu sempit sebagai padang-permainannya vroeg-kapitalisme tu! Maka timbullah
suatu nafsu, suatu stelsel, mencari padang-padang permainan dibenua-benua
lain,—terutama sekali dibenua Timur, dibenua Asia!
Masih
kecillah imperialisme ini pada waktu itu, jauh lebih kecil daripada
imperialisme-modern dizaman sekarang! En toh dunia Timur waktu itu tiada
kekuatan sedikitpun jua untuk menolak imperialisme yang masih kecil itu?
Dimanakah kekuatan Hindustan? Dimanakah kekuatan Philipina, dimanakah kekuatan
Indonesia,—dimanakah kekuatan masyarakat Indonesia, yang dulu katanya mempunyai
kerajaan-kerajaan gagah-senantausa seperti Sriwidjaya, seperti Mataram kesatu,
seperti Majapahit, seperti Pajajaran, seperti Bintara, seperti Mataram kedua?
Ah,
masyarakat Indonesia khususnya, masyarakat asia umumnya, pada waktu itu
kebetulan sakit. Masyarakat Indonesia pada waktu itu adalah suatu masyarakat
“in transformatie”, yakni suatu masyarakat yang sedang asik “berganti bulu”:
feodalisme-kuno yang terutama sekali feodalismenya Brahmanisme, yang tidak
memberi jalan sedikitpun jua pada rasa-kepribadian, yang menganggap raja
beserta bala-keningratannya sebagai titisan dewa dan menganggap rakyat sebagai
perkakas-melulu daripada “titisan dewa itu,—feodalisme-kuno itu dengan
pelahan-pelahan didesak oleh feodalisme-baru, feodalismenya ke-Islam-an, yang
sedikit lebih demokratis dan sedikit lebih memberi jalan pada rasa kepribadian.
Pertempuran antara feodalisme-kuno dan feodalisme-baru itu, yang pada lahirnya
misalnya berupa pertempuran antara Demak dan Majapahit, atau Banten dan
Pajajaran —, pertempuran antara feodalisme-kuno dan feodalisme-baru itulah
seolah-olah membikin badan masyarakat menjadi “demam” dan menjadi “kurang
tenaga”. Memang tiap-tiap masyarakat “in transformatie” adalah seolah-olah
demam. Dan memang tiap-tiap masyarakat yang demikian itu adalah “abnormal”,
lembek, kurang-tenaga. Lihatlah misalnya “demamnya” dan lembeknya masyarakat
Eropah dizaman abad-pertengahan tatkala masyarakat Eropah pada waktu itu “in
transformatie” dari feodalisme ke-vroeg-kapitalisme, lihatlah “demam”-nya
masyarakat Eropah itu juga satu-setengah abada yang lalu tatkala “mlungsungi”
dari vroeg-kapitalisme ke-modern-kapitalisme, lihatlah “demam”-nya masyarakat
Tiongkok-sekarang yang juga sedang “berganti bulu” masuk ketingkat kapitalisme.
Tubuh masyarakat memang tak beda adri tubuh manusia, tak beda dari sesuatu
tubuh yang hidup, yang juga tiap-tiap saat perubahannya membawa kesakitan dan
kekurangan tenaga!
Herankah
kita, kalau masyarakt Indonesia, yang pada waktu datangnya imperialisme dari Barat
itu kebetulan ada didalam keadaan transformasi, tak cukup kekuatan untuk
menolaknya? Kalau Imperialisme barat itu segera mendapat kedudukan didalam
masyarakat yang sedang bersakit demam itu? Kalau imperialisme barat itu segara
bisa menjadi cakrawarti didalam masyarakat yang lembek itu? Satu-per-satu
negeri-negeri di Indonesia tunduk pada cakrawarti yang baru itu. Satu-per-satu
negeri-negeri itu lantas hilang kemerdekaannya. Satu-per-satu negeri-negeri itu
lantas menjadi kepunyaannya Oost Indische Compagnie. Indonesia yang dahulunya,
undang Professor Veth, adalah Indonesia yang merdeka, pelahan-lahan menjadilah
Indonesia yang semua daerahnya tidak merdeka. Rakyat Indonesia yang dahulunya
berkeluh-kesah memikul feodalismenya kerajaan dan keningratan bangsa sendiri,
kini akan lebih-lebih lagi berkeluh-kesah memikul “berkah-berkahnya” stelsel
imperialisme dari dunia barat. Rakyat Marhaen, sebagai disyairkan oleh
sahabatnya prof. Veth, boleh terus menjanji:
“Tapi anak-pribumi sendiri ta’pernah kuasa”….
“Tapi anak-pribumi sendiri ta’pernah kuasa”….
Inilah
asal-muasalnya kesialan nasib negeri Indonesia! Inilah pokok sebabnya permulaan
negeri Indonesia menjadi negeri yang tidak merdeka: suatu masyarakat sakit yang
kedatangan utusan-utusannya masyarakat yang gagah-perkasa,—utusan-utusan yang
membawa keuletan masyarakat yang gagah-perkasa,—utusan-utusan yang membawa
keuletannya masyarakat yang gagah-perkasa, alat-alatnya masyarakat yang gagah
perkasa, ilmu kepandaiannya masyarakat yang gagah perkasa. Masyarakat yang
sakit itu tidaklah lagi mendapat kesempatan menjadi sembuh,—masyarakat yang
sakit itu malahan makin lama makin menjadi sakit, makin habis semua
“kutu-kutunya” makin habis semua tenaga dan energinya. Tetapi imperialime yang
menghinggapinya itu sebaliknya makin lama makin bersulur dan berakar, melancar-lancarkan
tangannya kekanan-dan kekiri dan kebelakang dan kedepan, melebar, mendalam,
meliputi dan menyerapi tiap-tiap bagian daripada masyarakat yang sakit itu.
Imperialisme yang tatkala baru datang adalah imperialisme yang masih kecil,
makin lama makin menjadi hebat dan besar, menjadi raksasa maha-sakti yang
seakan-akan tak berhingga kekuatan dan energinya. Imperialisme-raksasa itulah
yang kini menggetarkan bumi Indonesia dengan jejaknya yang seberat gempa,
menggetarkan udara Indonesia dengan guruh suaranya yang sebagai
guntur,—mengaut-aut dipadang-kerezekian negeri Indonesia dan rakyat Indonesia.
Imperialisme-raksasa
inilah yang harus kita lawan dengan keberaniannya kesatria yang melindungi
haknya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar