- Oleh : Syamsul Mahmuddin NO. 09 TAHUN XXI/18 - 24 JUNI 2012
- Bhakti Investama beberapa kali dicurigai melakukan
kejahatan korporasi. Pasalnya, tak mungkin praktik tak elok perusahaan
itu bisa mulus bertahun-tahun tanpa ada upaya sistematis dari pengurus
korporasi melakukan perbuatan melawan hukum untuk kepentingan korporasi.
Rabu, 27 Juli 2011. Puluhan demonstran yang menamakan diri Gerakan Nasional Anti Korupsi (Gernas) mendatangi Gedung Media Nusantara Citra (MNC) yang terletak di Jalan Kebun Sirih, Jakarta Pusat. Mereka mengusung poster yang mengundang tawa. Gambar bos besar MNC, Hary Tanoesoedibjo, dengan pakaian seksi. Dalam gambar itu ia hanya memakai celana kolor dan penutup dada.
Massa Gernas dalam aksi itu membeberkan dosa-dosa Hary Tanoesoedibjo yang telah melakukan manipulasi pajak sejak tahun 2001 hingga 2009. Dimana menurut Gernas, Hary Tanoesoedibjo sengaja merekayasa laporan keuangan PT Bhakti Investama ke publik. Divestasi Bhakti Investama sebesar Rp 4,7 triliun dalam laporan tertuang hanya Rp 2,2 triliun. Akibat pengecilan laporan tersebut, negara tak bisa menarik pajak dari Bhakti Investama sebesar Rp 86,6 miliar.
Rekayasa laporan keuangan seperti itu tentu tak bisa mulus tanpa dukungan oknum penyelenggara negara. Bila berpedoman pada adagium tak ada makan siang gratis, maka dukungan itu tentunya harus menggunakan uang suap setiap kali Bhakti Investama diperiksa kewajibannya oleh petugas pajak. Juga suap pada Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Kementerian Keuangan agar penggelapan pajak itu bisa mulus selama 10 tahun.
Kejahatan yang dilakukan oleh Bhakti Investama itu menurut massa Gernas yang berdemonstrasi saat itu, sebenarnya termasuk sebagai kejahatan korporasi. Pasalnya, tak mungkin kejahatan itu mulus selama 10 tahun tanpa ada upaya sistematis dari pengurus korporasi yang mengatasnamakan Bhakti Investama untuk menyuap penyelenggara negara agar bisa lebih sedikit membayar kewajiban pajak kepada negara.
Kesimpulan massa Gernas bahwa kasus divestasi itu kejahatan korporasi memang masuk akal bila memang dilakukan dengan cara menyuap penyelenggara negara. Apalagi, bila berpatokan pada pendapat pakar seperti misalnya Sally A Simpson dan Mardjono Reksodiputro. Dimana intinya, pengurus atau pegawai korporasi melakukan suap kepada penyelenggara negara untuk kepentingan korporasi bukan keuntungan pribadi, bisa disebut sebagai kejahatan korporasi.
Kembali ke kasus Divestasi Bhakti Investama, setelah aksi Gernas banyak LSM melakukan aksi serupa yang mendesak agar Hary Tanoesoedibjo dan Bahkti Investama diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di antaranya, LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang pada Juli 2011 silam sempat melaporkan kasus divestasi tersebut ke Kejagung dan KPK.
Setelah sempat memanas di ruang publik selama beberapa pekan, aksi Gernas dan MAKI tersebut perlahan mulai dilupakan. Begitu juga dengan kejahatan korporasi yang dituduhkan kepada Bhakti Investama. Persis seperti dugaan kejahatan korporasi yang sempat dialamatkan beberapa pihak kepada Bhakti Investama ketika Kejagung mengusut kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sismibakum) Kementerian Hukum dan HAM pada Juli 2010 silam.
Saat itu ketika Kejagung mulai membidik Hartono Tanoesoedibjo, banyak pakar berpendapat bahwa kasus Sisminbakum adalah kejahatan korporasi yang dilakukan oleh Bhakti Investama. Alasannya sangat sederhana dan masuk akal. PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) adalah perusahaan yang sengaja dibentuk oleh Bhakti Investama untuk mengelola Sisminbakum di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Dugaan Bhakti Investama melakukan kejahatan korporasi beranjak dari fakta PT SRD melakukan pungutan paksa dan ilegal saat mengutip biaya akses fee sebesar Rp1,35 juta setiap notaris melakukan pengesahan badan hukum. Pungutan paksa itu terlihat karena publik tak punya pilihan lain karena sistem pengesahan manual sudah ditutup. Sedangkan ilegal karena pungutan paksa itu dilakukan tanpa persetujuan DPR sebagaimana ketentuan undang-undang.
Nah beranjak dari fakta yang membuat pungutan yang dilakukan PT SRD bisa dikualifisir sebagai pungutan liar atau pungli, banyak pihak berpendapat bahwa pertanggungjawaban hukum atas perbuatan tersebut tak bisa hanya dibebankan kepada Yohannes Waworuntu, Dirut PT SRD ketika mengelola Sisminbakum. Alasannya, pungutan yang dilakukan PT SRD adalah pungutan yang dilakukan oleh perusahaan yang secara ilegal menarik pungutan.
Pakar hukum bisnis, Hotma Timbul, sebagaimana dikutip dari sebuah situs pada Juli 2010 silam dengan tegas menyebut kasus ini sebagai corporate crime. “Tidak masuk akal dari PT SRD hanya direktur utamanya saja yang bersalah. Penyidik semestinya mengecek ke mana sebagian besar aliran dana PT SRD. Dari situ akan ketahuan, siapa yang memakai PT SRD sebagai kedok untuk ‘merampok’ duit rakyat,” ujarnya saat itu.
Analisis Hotma masuk akal. Apalagi Yohannes sendiri setelah diputuskan Mahkamah Agung (MA) bersalah dan dihukum lima tahun penjara serta membayar kerugian negara sebesar Rp 378 miliar, langsung buka suara siapa sebenarnya otak intelektual di balik PT SRD. Yohannes bahkan menyampaikan banyak dokumen, termasuk ke KPK, yang menempatkan Hartono Tanoesoedibjo dan Hary Tanoesoedibjo yang berperan utama di PT SRD.
Bukti besarnya peran kakak adik tersebut dalam PT SRD terlihat dari dokumen yang ada dalam berkas perkara salah satu tersangka korupsi Sisminbakum yang sudah berada di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa Hartono Tanoesoedibjo dan Bhakti Asset Management (BAM) adalah pemegang saham PT SRD. Komposisinya, Hartono Tanoesoedibjo menguasai 1 persen saham dan BAM menguasai 99 persen saham.
BAM adalah unit usaha PT Bhakti Capital Indonesia Tbk, anak perusahaan PT Bhakti Investama Tbk. Selain PT Bhakti Capital, ada dua lagi ‘anak’ Bhakti Investama yakni PT Global Mediacom Tbk yang menaungi MNC dan PT Citra Marga Nusaphala Persada yang mengelola jalan tol. Adapun presiden direktur PT Bhakti Investama adalah Hary Tanoesoedibjo. Bahkan sampai awal Juni 2010 Hary masih tercatat sebagai Komisaris Utama grup Bhakti.
Yohannes yang pernah diwawancarai FORUM juga mengaku sekedar ‘bumper’ di PT SRD. Selain pengelolaan keuangan PT SRD dikuasai Hartono Tanoesoedibjo, ia juga pegawai Bhakti Investama yang dimutasi ke PT SRD. Bukti mutasi tersebut adalah surat yang dibuat kepala personalia PT SRD, Andreas Murcuanto, tertanggal Mei 2002 yang menyebutkan Yohannes adalah general manager Bhakti Investama yang dimutasi ke PT SRD. - Namun sayangnya, upaya Kejagung menyeret Hartono Tanoesoedibjo ke
pengadilan akhirnya kandas setelah kejaksaan ragu-ragu meneruskan berkas
perkara pengusaha itu ke pengadilan. Tidak lama setelah itu, satu
persatu perkara tersangka korupsi Sisminbakum yang sudah diputuskan
terbukti korupsi di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, akhirnya di
Mahkamah Agung dibebaskan baik di tingkat kasasi maupun peninjauan
kembali (PK).
Mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham Romli Atmasasmita dan Zulkarnain Yunus, misalnya, setelah dinyatakan terbukti korupsi di pengadilan tingkat pertama dan banding, di tengah pemberkasan perkara korupsi Hartono Tanoesoedibjo tiba-tiba dilepaskan MA dari tuntutan hukum. Begitu juga dengan Yohannes yang sempat diputuskan MA dalam putusan kasasi bersalah, dalam putusan PK malah dibebaskan.
Ujungnya, seperti diduga, perkara Hartono Tanoesoedibjo bersama perkara mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra dan mantan Ketua Koperasi Pegawai Pengayoman Departeman Kehakiman (KPPDK) Ali Amran Djannah dihentikan penyidikannya oleh Kejagung 31 Mei 2012 silam. Konsekuensinya, Bhakti Investama dan pemiliknya untuk sementara lolos dari kejaran penegak hukum. - www.forumkeadilan.com
Sabtu, 30 Juni 2012
BHAKTI INVESTAMA DAN TUDUHAN KEJAHATAN KORPORASI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar