Proklamasi 17 Agustus 1945, kata Soekarno,
adalah peristiwa revolusi. Sebab, hari itu merupakan langkah pertama ke arah
tujuan yang revolusioner: masyarakat adil dan makmur alias sosialisme.
Hari itu, kata Soekarno, Indonesia
lepas dari imperialisme bangsa lain. Proses untuk lepas dari imperialisme itu
adalah proses revolusioner. Sebab, sebagaimana dikutip Bung Karno dari Karl
Marx, tidak ada suatu klas yang dengan suka rela menyerahkan kedudukannya yang
istimewa.
Sebagai revolusi, yakni menjebol dan
membangun, maka proklamasi 17 Agustus punya tugas: menjebol kolonialisme dan
imperialisme, dan kemudian membangun negara Indonesia merdeka.
Soekarno meletakkan proklamasi 17
Agustus 1945—sering disebut “Revolusi Agustus”—sebagai bagian dari tahapan
revolusi Indonesia. Soekarno sendiri menggariskan, revolusi Indonesia
memerlukan dua tahap/fase untuk menuju pada masyarakat sosialis.
Revolusi memerlukan fase/tahapan
Setiap revolusi, kata Soekarno,
bukanlah sebuah “kejadian”, melainkan sebuah “proses”. Di sini, Soekarno
menyebut revolusi sebagai sebuah proses dinamis dan dialektis: proses menjebol
dan membangun.
Proses itu memerlukan waktu panjang:
puluhan tahun, seratusan tahun. Soekarno pun mencontohkan: revolusi Perancis
berjalan 80 tahun, revolusi Rusia memerlukan waktu 40 tahun, dan revolusi Tiongkok
juga memerlukan puluhan tahun.
Revolusi itu juga akan melalui
fase-fase atau tahapan. Soekarno mengibaratkannya dengan tahap perkembangan
manusia: anak-anak, dewasa, dan masa-tua. Dalam setiap perkembangan itu
terdapat perbedaan kuantitatif dan kualitatif.
Demikian juga dengan perkembangan
masyarakat. Bagi Soekarno, sebuah masyarakat komunal—yang didalamnya berlaku
“sama rasa sama rata”– tidak bisa meloncat langsung ke sosialisme.
Soekarno mengatakan begini:
“Apakah satu masyarakat, yang di
dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme, —
yang di dalamnya ada “sama rasa sama rata”, tetapi yang di dalamnya misalnya
orang harus berjalan kaki atau menaiki gerobak-kerbau kalau hendak pergi dan
Bandung ke Surabaya karena tidak ada auto (mobil, ed.) atau kereta-api; yang di
dalamnya orang harus hidup dalam gelap-gulita pada waktu malam karena tidak ada
listrik ataupun minyak-tanah; yang di dalamnya orang bodo plonga-plongo karena
tidak ada percetakan yang mencetak buku-buku atau surat-surat-kabar; yang
didalamnya orang harus menderita banyak penyakit oleh karena tidak ada pabrik
yang membuat keperluan pengobatan; yang di dalamnya tiap-tiap tahun di
tiap-tiap sungai orang harus lagi-lagi membuat bendungan air pengairan oleh
karena di dalam tiap-tiap musim-hujan dam-dam semuanya dadal sebab tidak
terbuat dari besi dan beton; yang di dalamnya produksi sawah paling mujur hanya
padi sekian kwintal sebau dan palawija sekian pikul sebau oleh karena pertanian
masih dijalankan seperti di jaman Nabi Adam, dan tidak ada alat-alat untuk
mengolah sawah-sawah itu secara semanfaat-manfaatnya; pendek-kata: satu
masyarakat kuno-kuno-mbahnya-kuno, zonder auto, zonder kereta-api, zonder
pabrik-pabrik, zonder surat-surat-kabar, zonder radio, zonder rumah-rumah-sakit,
zonder kapal-kapal, zonder korek-api, zonder potlod, zonder buku-buku, zonder
aspal, zonder sepeda, zonder semen, zonder sekolahan, zonder ……..ya entah
zonder apapun namanya lagi, — dapatkah masyarakat yang demikian itu, walaupun
di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme,
dan ada “sama rasa sama rata”, — dapatkah masyarakat demikian itu bernama
masyarakat yang “berkesejahteraan sosial?”
Bagi Soekarno, masyarakat seperti di
atas tidak bisa menghadirkan “kesejahteraan sosial”. Masyarakat seperti di atas
tidak akan bisa hidup atau berdiri teguh di tengah alam kapitalistis seperti
sekarang. Masyarakat yang seperti itu, kata Soekarno, sangat gampang menjadi
mangsanya imperialisme, yang sedikit-banyaknya akan dibanjiri barang-barang
modern buatan industri kapitalis.
Soekarno mendefenisikan sosialisme
sebagai adanya kepemilikan terhadap pabrik-pabrik atau alat produksi secara
kolektif; industrialisme yang kolektif; produksi yang kolektif; dan distribusi
yang kolektif.
Soekarno mengatakan:
“alat-alat-teknik, dan terutama sekali semangat gotong royong yang telah
masak, itulah soko-gurunya pergaulan hidup sosialistis. Sosialisme adalah
kecukupan berbagai kebutuhan dengan pertolongannya modernisme yang telah dikolektivisir.
Sosialisme adalah “redelijk gemak”,— sosialisme adalah “keenakan-hidup
yang pantas”.
Karena itu, di mata Soekarno,
sosialisme memerlukan syarat-syarat objektif: kemajuan tenaga-tenaga produksi,
kesadaran rakyat untuk bergotong-royong, dan kehidupan politik yang sudah
sangat demokratis.
Dengan demikian, masyarakat
semi-jajahan dan bekas jajahan—yang benar-benar belum bersih dari sisa-sisa
penjajahan—tidak bisa langsung meloncat menuju sosialisme.
Soal tahapan ini, Soekarno
menjelaskan, kita bisa meneruskan tingkatan revolusi yang satu ke tingkatan
revolusi yang lain (uninterupted), tetapi tidak bisa melangkahi satu tingkatan
revolusi atau memborong dua tingkatan revolusi itu sekaligus. Setiap tahap
revolusi bisa saja dipercepat, tetapi lagi-lagi harus memperhitungkan situasi
dan hukum objektif perkembangan masyarakat setempat.
Setiap tingkatan revolusi, kata
Soekarno, punya periode dan kewajiban tersendiri, sesuai dengan tahap
perkembangan historis dan kontradiksi pokok yang dihadapinya. Oleh karena itu,
Soekarno mengatakan, soal revolusi bukan soal “main radikal-radikalan” atau
klaim paling revolusioner. Akan tetapi, Soekarno menganggap tugas seorang
revolusioner adalah mengerti hukum-hukum revolusi dan hukum perkembangan
objektif dari sejarah.
Dua tahap Revolusi
Soekarno membentangkan revolusi
Indonesia mesti melalui dua tahap: revolusi nasional demokratis dan sosialisme.
Pada tahap pertama, yakni revolusi
nasional-demokratis, tugas pokok kita adalah menghancurkan sisa-sisa feodalisme
dan imperialisme. Dengan demikian, revolusi tahap pertama ini bersifat nasional
dan demokratis.
Sifat nasionalnya terletak pada
tugas pokoknya menghancurkan kolonialisme dan imperialisme. Sedangkan watak
demokratisnya terletak pada penentangannya terhadap keterbelakangan feodal,
otoritarianisme, dan militerisme.
Revolusi nasional akan menghasilkan
negara nasional yang merdeka dan berdaulat. Pada tahap itu, semua
sisa-sisa kolonialisme di lapangan ekonomi, politik, dan sosial-budaya akan
dilikuidasi. Negara merdeka inilah kelak senjata untuk menyiapkan syarat-syarat
tahap sosialis.
Akan tetapi, seperti ditekankan
Soekarno, revolusi nasional bukan berarti sekedar “indonesianisasi”. Tidak
sekedar mengganti kepemilikan perusahaan asing dengan orang Indonesia. Tidak
pula sekedar mengganti pegawai kolonial dengan orang-orang Indonesia. Akan
tetapi, esensi revolusi nasional adalah menghancurkan nilai-nilai, kebiasaan,
dan praktek sistim kolonialisme dan imperialisme di lapangan ekonomi, politik,
dan sosial-budaya.
Sedangkan revolusi demokratis akan
menghasilkan negara Indonesia yang benar-benar demokratis, yang terbebas dari
keterbelakangan feodal dan kungkungan segala bentuk kediktatoran.
Pada tahap ini, akan dijalankan
revolusi agraria yang akan membebeskan berpuluh-puluh juta kaum tani. Di sini,
kepemilikan tanah akan didemokratiskan dan akan dipergunakan untuk kepentingan
rakyat. Tanah, seperti ditegaskan Soekarno, tidak boleh menjadi alat
penghisapan.
Pasal 33 UUD 1945 itu letaknya di
fase transisi dari nasional demokratis menuju sosialisme. Jadi, pasal 33 UUD
1945 adalah usaha memberantas kapitalisme dan menyiapkan basis menuju
sosialisme.
Salah satu turunan pasal 33 UUD 1945
adalah UU pokok agraria (UUPA) tahun 1960. Tugas pokok UUPA adalah melikuidasi
sistem pertanahan berbau feodal dan kolonialistik. Tetapi, secara bersamaan,
UUPA 1960 juga menyiapkan basis menuju sosialisme.
Tahap kedua revolusi indonesia
adalah revolusi sosialis. pada tahap ini, perjuangan pokok diarahkan untuk
menghilangkan segala bentuk “I’exploitation de I’homme par I’homme” dan
bentuk-bentuk penghisapan lainnya.
Di dalam Manipol 1959 ditegaskan,
“hari depan revolusi Indonesia adalah sosialisme”. Soekarno merumuskannya
sebagai “sosialisme Indonesia”, yakni sosialisme yang disesuikan dengan
kondisi-kondisi di Indonesia.
Menentang Fasensprong dan
Evolusionisme
Soekarno seorang materialis
historis. Ia belajar dari Marx tentang hukum-hukum objektif perkembangan
sejarah. Dari sinilah Soekarno menentang keras pendapat kaum fasensprong
dan evolusionisme.
Soekarno menjelaskan pandangan
evolusionisme sebagai berikut: “masyarakat ini bertumbuh dari satu tingkat
secara evolusioner cepat atau tidaknya evolusi ini tergantung daripada keadaan
kelain tingkat. Dikatakan, masyarakat manusia ang dulunja agraris, secara
evolusioner dengan sendirinya masuk kedalam tingkat fase industri kecil. Di
tingkat industri kecil, bercampur dengan tingkat agraris ini, dengan sendirinya
nanti otomatis evolusioner masuk dalam tingkatan industri kapitalis. Dan dari
tingkatan industri kapitalis itu secara evolusioner dengan sendirinya masuk
didalam alam sosialis.”
Soekarno tidak setuju dengan
pandangan ini. Menurutnya, masyarakat agraris tidak akan serta-merta menuju
industrialisasi kapitalis, apalagi menuju sosialisme. Sebab, perkembangan
masyarakat Indonesia, juga tenaga-tenaga produktifnya, dirintangi oleh
sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme/imperialisme.
Selain itu, evolusionisme berarti
tidak menghancurkan sarana-sarana lama, yakni feodalisme dan kolonialisme,
dengan sesuatu yang baru. Tidak ada penjebolan masyarakat lama dan pembangunan
masyarakat baru. Akibatnya, evolusionisme lebih mirip dengan “menyerahisme”.
Sementara itu, pendapat lainnya
adalah fasensprong, yakni bahwa masjarakat agraria kita bisa melompat
kemasjarakat sosialis tanpa harus melalui kapitalisme.
Teori ini juga dibantah oleh Bung
Karno. Fasensprong mengabaikan fase revolusi nasional demokratis. Bagi
pendukung fasensprong, di negeri semi-jajahan seperti Indonesia, yang
dianggapnya ‘mata-rantai terlemah kapitalisme’, ada peluang untuk meloncat
langsung ke sosialisme.
Akan tetapi, bagi Soekarno,
sosialisme tidak akan bisa dibangun tanpa menghancurkan sepenuhnya feodalisme
dan kolonialisme/imperialisme. Soekarno mengatakan, sosialisme hanya akan
menjadi obrolan omong-kosong ketika hanya sedikit saja orang yang bisa membaca;
rumah-rumah hanya diterangi oleh lampu minyak-kelapa, ibu-ibu masih meniup-niup
api dapur untuk memasak, dan ibu-ibu masih memintal atau menjahit sendiri
tiap-tiap baju anaknya.
Sosialisme, kata Soekarno, memerlukan
kemajuan teknik dan klas pekerja yang terorganisir. Sebab, prinsip sosialisme
adalah: setiap orang bekerja sesuai kemampuan dan menerima sesuai hasil
kerjanya. Maka, harus ada kemajuan tenaga-tenaga produktif secara
besar-besaran, agar bisa berproduksi secara melimpah dan memenuhi kebutuhan
rakyat. Tanpa itu, sosialisme hanya akan berarti kemiskinan, kelaparan, dan
keterbelakangan.
Soekarno sangat menyadari, kemajuan
tenaga-tenaga produktif dihambat oleh sisa-sisa feodalisme dan imperialisme.
Imperialisme hanya menjadikan Indonesia sebagai penyedia bahan baku bagi
industri kapitalis, pasar bagi hasil produksi negara imperialis, penyedia
tenaga kerja murah, dan tempat penanaman modal asing.
TIMUR SUBANGUN, Anggota Partai
Rakyat Demokratik (PRD)
Sumber : m.berdikarionline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar