Oleh : Syamsul Mahmuddin
FORUM KEADILAN NO. 06 TAHUN XXI/28 MEI - 03 JUNI 2012
-
Dari 151 BUMN hanya satu saja yang untung. Sisanya
menggerogoti APBN. Semua BUMN tersebut tidak untung karena disisipi
kepentingan pengumpulan logistik parpol dan elit politik..
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana ketentuan UU No.19/2003 tentang BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan jenisnya, BUMN ada yang berbentuk persero dengan sedikitnya 51 persen sahamnya dikuasai negara dan berbentuk perusahaan umum yang seluruh modalnya dimiliki negara.
Menilik data dari Kementerian BUMN, saat ini terdapat 151 BUMN yang terbagi berdasarkan sektor-sektornya. Yakni, sektor aneka industri, asuransi, energi, industri strategis, kawasan industri dan perumahan, kehutanan, konstruksi, logistik dan jasa sertifikasi, pembiayaan, penunjang pertanian, perbankan, percetakan dan penerbitan, perikanan, perkebunan, pertambangan, prasarana angkutan, sarana angkutan dan pariwisata, serta telekomunikasi.
Data yang dikutip dari Kementerian BUMN, pada akhir tahun 2010, total aset BUMN mencapai Rp2.382,83 triliun. Total aset BUMN itu berarti setara 20,53% dari Gross Domestic Product (GDP) yang pada tahun 2010 nilainya mencapai Rp6.119 triliun. Kendati demikian, tampilan angka tersebut tak seindah di lapangan. Virus korupsi dan politisasi masih merasuk dalam tubuh BUMN. Apalagi menjelang Pemilu 2014.
“Bayangkan, dari ratusan BUMN tersebut hanya satu BUMN yaitu PT Bank Mandiri, yang menghasilkan untung. Sisanya, hanya menggerogoti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mengapa BUMN-BUMN itu rugi, karena dijadikan sapi perah oleh elit penguasa dan partai pendukungnya,” ujar politisi PDIP, Eva K Sundari, kepada FORUM, Jum’at pekan lalu.
Banyaknya BUMN rugi menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, beberapa waktu lalu, berawal dari kaderisasi koruptor-koruptor muda di institusi negara dan BUMN. Menurutnya, banyak koruptor muda muncul dari proses regenerasi korupsi tersebut. “Mereka pasti punya planning. Korupsi itu kan struktural dan memerlukan sejumlah unsur sehingga memerlukan sinergi. Karena ada sinergi maka (mereka) juga melakukan program,” kata Busyro.
Busyro tak asal ngecap. Dalam kurun 2008-2011, KPK telah membuat tujuh pejabat BUMN dihukum karena terlibat kasus korupsi. Kasus pertama, pada 2008, KPK membongkar kasus suap Strategic Business Unit (SBU) II wilayah Jawa Bagian Timur PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Setelah menyeret General Manager PGN wilayah II Jawa Timur, Trijono, KPK menyeret Direktur Utama PT PGN, Washington Mampe Parulian Simanjuntak.
Saat pembacaan vonis 3,5 tahun terhadap Washington, majelis hakim menyebutkan terungkap fakta bahwa terdakwa meminta para pimpinan proyek (pimpro) menyetor uang untuk biaya operasional, yang diantaranya disetorkan ke DPR. Para pimpinan proyek ini kemudian meminta sejumlah rekanan mengumpulkan uang. Uang dari enam pimpro total Rp2,425 miliar lalu disetorkan kepada anggota Komisi VIII, DPR Hamka Yamdu dan Agusman Effendy.
Di luar itu, nama BUMN PT Adhi Karya (Persero) Tbk juga kerap disebutkan oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Menurut Nazaruddin, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum adalah pihak yang memuluskan langkah PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dalam proyek Stadion di Hambalang, Sentul, Bogor senilai Rp1,2 triliun. BUMN pun akhirnya identik dengan politisasi dan korupsi.
Juga BUMN lain yang juga masuk KPK adalah PT Pertamina (Persero), yaitu, kasus dugaan penerimaan suap Tetraethyl Lead (TEL) tahun 2005 dari PT Innospec oleh pejabat Pertamina. Direktur Pengolahan Pertamina Suroso Atmomartoyo ditetapkan sebagai tersangka. Mantan Dirut Pertamina Ari Hermanto Soemarno pun pernah diperiksa KPK dalam kasus tersebut.
Tak ada asap tanpa api, begitu pepatah berbunyi. Mencuatnya perilaku korup sejumlah pejabat BUMN diduga terjadi karena adanya muatan kepentingan yang disisipkan dalam tubuh BUMN itu sendiri, sejak pengangkatan para pejabatnya. Setiap pengangkatan direksi sebuah BUMN, ujung-ujungnya adalah untuk keperluan pengumpulan logistic parpol tertentu untuk menghadapi pemilu.
Sebut saja kasus Megananda Daryono. Pangkat terakhir Megananda, Deputi Menteri BUMN Bidang Industri Primer. Saat pensiun ia diangkat menjadi Direktur Utama Holding BUMN Perkebunan. Pengangkatan Megananda bersandar pada Peraturan Menteri Negara BUMN SK-88/MBU/2012 oleh Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Alasannya, Megananda memiliki pengalaman dalam mengelola industri perkebunan.
Pembentukan Holding BUMN Perkebunan secara mendadak, dan tampilnya ´tangan kanan´ Dahlan itu, mengundang tanya banyak pihak. Pengangkatan Megananda yang ditopang Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, dan Dipo Alam itu, diduga berkaitan dengan aksi pengumpulan logistik kekuatan politik tertentu untuk menghadapi Pemilu 2014. Oleh karena itu ketentuan usia maksimal direksi 58 tahun pun ditabrak walau Megananda sudah berusia 60 tahun.
Atau soal Ismed Hasan Putro, yang baru saja menjabat sebagai Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Ismed adalah mantan wartawan Jawa Pos dan pendiri lembaga Masyarakat Profesional Madani (MPM). Ismed yang dulu berkoar-koar soal BUMN jadi bancakan parpol kini belakangan mengaku tak tahu fenomena itu.”Saya gak tahu ya kalau perusahaan BUMN sering menjadi tempat cari uang partai,” ujarnya seperti dikutip sebuah situs berita.
Motif seperti ini sebenarnya sudah lama menjadi rahasia umum dan seakan-akan sudah menjadi garis nasib semua BUMN mulai sejak pertama kali didirikan sampai sekarang. “Ya, kita tahulah untuk apa seseorang itu ditunjuk sebagai komisaris maupun direksi di sebuah BUMN. Kalau ada kader partai maka BUMN jadi ajang politisasi dan ladang mencari uang untuk kepentingan partai,” ujar Eva.
Menurut Eva, praktik menjadikan BUMN sebagai sapi perah adalah warisan budaya orde baru yang masih dimanfaatkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang berkuasa dua periode terakhir ini. BUMN bukan lagi digunakan untuk hajat hidup orang banyak, tapi untuk kepentingan partai politik dan kroni-kroni Presiden. “Lihat, staf khusus Presiden SBY seperti Andi Arief dan Julian Pasha oleh SBY diangkat jadi komisaris di BUMN,” ujarnya.
Nah perilaku SBY yang masih meneruskan tradisi buruk orde baru ini, menurut Eva, justru membuat SBY menjadi tersandera sendiri. Elit-elit politisi pendukungnya kemudian meminta bagian pula. “Bila SBY bisa, mengapa Hatta Rajasa, tidak bisa pula menitipkan orangnya di BUMN, misalnya,” ujar Eva saat ditanya FORUM mengenai dugaan adanya sejumlah tender di Pertamina yang diatur pemenangnya oleh orang titipan Hatta Rajasa.
Begitu juga dengan partai politik lain yang mendukung SBY. Bila Partai Demokrat bisa menguasai BUMN, mengapa partai koalisi lain tidak. Akibatnya, BUMN-BUMN tersebut dibagi-bagi kepada orang-orang dari parpol anggota koalisi. “Bahasa awamnya, bila Demokrat dapat BUMN mengapa, misalnya, PAN, Golkar atau PPP, tidak dapat pula. Akhirnya yang terjadi adalah konspirasi garong,” jelas Eva lagi.
Dilanjutkan Eva, untuk menghentikan kebiasaan mempolitisasi dan menjarah BUMN tersebut tergantung kepada integritas presiden. Bila presidennya bisa memberikan contoh baik dan tidak melakukan mallpraktik dalam pengelolaan BUMN, maka kebiasaan itu akan hilang. “Kurang bagus apalagi UU yang kita buat. Namun selalu saja dilanggar karena rendahnya etika dan integritas presiden,” katanya.
Ini sebabnya, Eva pesimis kebiasaan mallpraktik pengelolaan BUMN ini akan bisa dihentikan dengan mengandalkan partai politik. Alasannya, parpol dan presiden sudah tersandera tindakan mereka sendiri terhadap BUMN menjadi lingkaran setan mallpraktik. “Satu-satunya harapan untuk mengubah ini hanya lah pada kekuatan civil society seperti pers sebagai lembaga penekan,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar