Anak kerang sedang merintih
kesakitan karena didalam tubuhnya ada sebutir pasir yang melekat menusuk
,sehingga membuat tubuhnyater luka dan
berdarah. Ditengah rintihan menahan pedih dan rasa sakit anak kerang memohon
dengan sangat kepada ibunya agar berkenan mengeluarkan sebutir pasir tersebut
karenarasa perih dan pedih tidak tertahankan ,
semakin lama tidak kuat lagi menahan rasa sakit.
Namun ibunya berujar “Anakku, kita sudah ditakdirkan tidak
memiliki tangan, sehingga ibu tidak memiliki kemampuan untuk mengambil sebutir
pasir yang ada dalam tubuhmu, karena itu berupayalah semampumu untuk menahan
rasa sakit dan menerima keadaan serta takdir kita yang tidak memiliki tangan,
untuk mengurangi rasa sakit dan perih keluarkanlah lendirmu membasahi
sekeliling tubuhmu terutama untuk membasahi
sekitar letak pasir tersebut dengan demikian semoga rasa sakit yang kau rasakan dapat berkurang.
Hari
berganti hari anak kerang itupun menjalani hidupnya dengan menanggung beban penuh
rasa sakit, dan berupaya sekuat tenaga bertahan menahan penderitaan ini seiring
berharap suatu ketika akan muncul mukjijat atau dewa penolong, namun ditengah
penderitaan ini adakalanya muncul juga perasaan protes terhadap takdir yang
diterimanya, “betapa tidak sempurnanya hidupku” keluhnya, dan disaat lain
mengumpat “Maha pencifta tidak adil….!!!”. Dan banyak lagi ungkapan rasa kesal yang
dikeluarkannya.
Namun pada
kenyataanya umpatan dan rasa sesal itu mubajir dan sia-sia, perjalanan
kehidupan ternyata terus berjalan dan berlangsung sesuai dengan ritmenya tanpa
peduli sejauh mana sesuatu tertinggal,
anak kerang akhirnya berpikir bahwa bukan dunia yang menyesuaikan diri dengan
kita tetapi kita yang dituntut untuk segera menentukan sikap serta melakukan
tindakan yang mampu mengatasi tantangan hidup, harus mampu menghadapi
penderitaan sebagai sebuah problem kehidupan yang mesti ditaklukkan dengan
memecahkan masalah dan mengambil keputusan, dan tanpa diduga setelah beberapa
waktu kemudian ternyata sebutir pasir yang ada didalam tubuh kerang itu berubah
wujud menjadi sebutir permata. Dan dari hari ke hari permata itu semakin besar
dan indah.
Akhirnya
permata itu menjadi sebuah benda abadi yang tidak lapuk di musim hujan dan
tidak retak dikala musim kemarau, abadi sepanjang masa dan berharga nilainya.
Anak kerang tersebut kemudian berubah wujud menjadi sebuah permata yang
berharga dan diburu umat manusia, nilainya kian berharga dan lebih berharga
daripada kerang-kerang lain yang hanya
menjadi santapan manusia bahkan banyak kerang lainnya dijemput ajal sebelum
usianya tua sehingga belum sempat memahami arti hidup sesungguhnya.
Padahal
hidup ini begitu indah dan terlampau sayang untuk tidak dinikmati dan dijalani,
sehingga tidak berlebihan jika Chairil Anwar pernah berujar “Aku ingin hidup
seribu tahun lagi…..”. Kata-kata ini
memang terlalu hiperbolik, tetapi jika kita berkenan sejenak saja untuk
melakukan permenungan dan mencoba merangkai serpihan-serpihan pengalaman hidup
menjadi sebuah kalimat ajimat yang menjadi motif kehidupan, dari sekian banyak
penderitaan dan rasa sesal yang pernah kita rasakan, diantara semua perasaan
sedih itu pasti ada sesuatu hikmat yang bisa kita jadikan sebagai motivasi
meningkatkan daya juang kita menaklukkan rintangan dan beban dalam kehidupan
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar