Dalam suatu penerbangan yang memakan waktu cukup
lama dari Amerika ke Indonesia, Prof. Jeffrey A.Winters se-pesawat
dengan sejumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Paman Sam
itu. Karena penerbangan yang memakan waktu lama, Winters punya waktu
yang cukup untuk berdiskusi dengan mereka di dapur pesawat. Dari
beberapa mahasiswa itu, ada satu orang yang menarik perhatian Winters.
Dia mengatakan, untuk mengatasi kesemrawutan pemerintahan, Indonesia
lebih baik di-out sourcing saja. Ya, ibarat ada pekerja luar yang
menangani suatu pekerjaan di salah satu kantor di Indonesia.
‘’Tetapi langkah ini dianggap tidak nasionalis,’’ kata Jeffrey Winters saat berbicara di Unhas, 18 April 2011.
Tampil dengan topik ‘’Demokrasi Tanpa Hukum, Indonesia Hadapi
Oligarki’’, Jeffrey Winters seolah mampu menghipnotis sekitar seratusan
audiens yang memadati Ruang Senat Unhas. Didampingi Wakil Rektor IV
Unhas Prof.Dr.Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. dan Pembaantu Dekan I
Fisipol Unhas Prof.Dr.Armin Arsyad, M.Si, Winters mengawali dengan
mengatakan bahwa seorang temannya menyarankan agar dia tidak datang di
Makassar. Mahasiswa Makassar, kata temannya itu, terkenal tajam dan
provaktif. Tetapi dia sendiri menangkis dengan menyebutkan, dirinya
senang dengan mahasiswa yang berani bertanya dan bertindak. Sebab, masa
depan bangsa dan negara ini akan ditentukan di tangan mereka. Jangan
setengah-setengah.
Menyinggung masalah oligarki yang menjadi tema orasinya, dia
menyebutkan, konsep oligarki masih perlu dikaji ulang. Oligarki sudah
dikenal sejak zaman Plato dan Aristoteles. Keduanya sudah memperkenalkan
kekuasaan ini ribuan tahun silam. Oligarki adalah kekuasaan pada
segelintir orang yang berbeda dengan konsep demokrasi. Oligarki
berkompetisi dengan kekuasaan yang mayoritas. Kekuasan oligarki harus
dikendalikan dengan kekuasaan para elite, meski dalam aspek mayoritas
oligarki dan elite berbeda.
Oligarki sangat ditentukan oleh power. Juga kekayaan, status. Keluarga
tidak cukup 100% penting, tetapi ada yang lebih. Karisma juga termasuk
syarat tumbuhnya kekuasaan oligarki, meski memerlukan power individu,
namun ada kaitan langsung dengan mobilisasi bersama banyak orang. Salah
satu ciri karisma dan power adalah apa yang dilakukan Mahatma Gandhi
(India). Dia memiliki banyak pengikut. Soekarno juga memiliki konsep
ini.
Jabatan juga masuk sebagai prasyarat munculnya oligarki, sebab bisa
memerintah orang lain. Posisi resmi hingga dapat menyebabkan powermeter
naik Hanya saja pejabat bisa on/off. Dia memberikan contoh terhadap
George W.Bush yang digantikan Barack Obama. Simpati orang terhadap Bush
berubah segera dalam hitungan menit, begitu Obama muncul.
Power kekuasaan sangat kuat. Power berdasarkan posisi resmi (coersif,
kekerasan), material yang merupakan the power of wealth (kekuatan
kekayaan). Oligarki kuat karena kaya, meski kerap jadi problem. Sebab,
konsentrasi uang hanya ada pada beberapa pihak saja. Ini akan
menyebabkan muncul ancaman terhadap si kaya lainnya. Inilah yang
menyebabkan lahirnya wealth defence. Yang membuat oligarki frustrasi
adalah ancaman horizontal, saling serang, the attacking is other,
antar-oligark.
‘’Jangan mau jadi orang kaya, karena akan menghadapi ancaman dari mana
saja dan harus diantisipasi, apalagi tidak ada stratifikasi dalam
politik,’’ sebut maha guru dari Department of Politics Northwestern
University, Evanston, USA tersebut.
Sebelum tahun 1970, Indonesia belum mengenal oligarki. Stratifikasi
kekayaan dimulai selama Orde Baru. Soeharto-lah yang menciptakan
oligarki dan dikendalikan oleh kelompok baru ini. Para oligark
terkendali secara personal, tidak melalui institusi hukum.
Mempertahankan kekayaan, termasuk dalam bentuk politics of proximity.
Oligarki pada masa Soeharto, jika dua orang berselisih, salah seorang di
antaranya pasti digebukin, Oligarki menjadi sangat jinak dan tidak
berani macam-macam. Satu oligark (pelaku) yang mencoba macam-macam akan
tahu akibatnya atau apa yang terjadi.
Ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru dibagi habis ke dalam cara ini.
Semuanya, sebenarnya diselesaikan dengan cara ‘bapak’. Lingkaran satu
dan dijinakkan secara personal.
Aspek proximity adalah siapa dekat itu yang penting. Tentu mereka yang
lebih kaya. Itu akan membuat dia lebih aman dan oligarknya akan senang.
Yang mengganggu oligarki Soeharto, kata Winters, adalah anak-anaknya
yang mulai besar. Begitu anaknya muncul oligarki Soeharto terganggu.
Tidak tahu siapa yang berkuasa.
Oligarki ini sampai pada tahun 1998. Anaknya yang jadi gangguan,
menurut Jeffrey Winters, bagus kalau anak-anaknya dikirim ke luar
negeri. Itu pasti bagus.
Pada tahun 1998, ada dua transisi yang sangat penting. Kesatu, dari
diktator ke demokrasi dilakukan secara radikal. Menghabisi real
oligarkhi. Oligarki jinak ke oligarki liar membuat gangguan besar sekali
di Indonesia. Oleh sebab itu, kini banyak orang mengatakan ‘rindu pada
Orde Baru’. Pemuda Indonesia mengalami frustrasi tinggi. Tentang mencari
solusi Indonesia ke depan yang tidak maju-maju. Seperti komentar salah
seorang mahasiswa Indonesia yang se-pesawat dengan Winters dari Amerika,
mungkin ada baiknya Belanda masuk 50 tahun lagi di Indonesia. Itu
berarti tidak ada harapan di Indonesia.
Winters menyimpulkan, melalui demokrasi jalan terbaik mencari
solusinya, tetapi banyak juga yang menyalahkan demokrasi. Indonesia
akhirnya terjebak pada masa transisi dari oligarki jinak ke oligarki
liar. Padahal, demokrasi Indonesia lebih hebat dari Amerika Serikat.
Mengapa? Indonesia bisa memilih presiden secara langsung, di AS tidak.
Kedua, Indonesia bisa memilih calon presiden lebih dari dua, di AS hanya
dua.
Oligarki di Indonesia lebih besar dan bervariasi serta tidak
bersenjata. Bandingkan dengan oligarki di Filipina, tetapi bersenjata
hingga di daerah-daerah. Indonesia justru di pusat. Di Filipina ada
basis-basis di provinsi. Setiap pemilihan umum rata-rata ada pembunuhan
terhadap calon presiden lain. Jumlahnya rata-rata 100-150 orang. Jadi
sangat violence, karena punya milisi.
Satu keuntungan di Indonesia, papar Winters, oligarki tidak bersenjata.
Buahnya jatuh ke oligark. Di Indonesia sebenarnya tidak ada people
power movement. Sebab, gerakan itu hanya sebentar saja. Yang ada hanya
mobilisasi last minute, karena pengaruh dari luar. Banyak pihak yang
mendorong, baik mahasiswa, aktivis, langsung bubar semuanya setelah itu.
Oligarki muncul karena tidak ada sistem hukum yang kuat dan independen.
Demokrasi tanpa hukum jadi menjadi demokrasi lemah. Yang berkuasa
memiliki latar belakang kriminal. Mereka tidak tunduk pada hukum, tetapi
hukum yang tunduk pada mereka. Demokrasi yang jalan sebenarnya,
sekaligus oligarki yang tidak tunduk pada hukum. Di Singapura hukum kuat
tetapi tidak ada demokrasi. Pada masa Soeharto tidak ada demokrasi,
tidak ada hukum. Orang kuat tidak pernah tunduk pada hukum. Rakyat
sebenarnya tunduk pada hukum. Yang tidak tunduk pada hukum adalah orang
kuat dan sangat berfokus pada orang-orang tertentu.
Menurut House of Democracy, Indonesia merupakan negara paling
demokratis di Asia Tenggara pada tahun 2010. Namun Indonesia juga
disebut sebagai the most corrupt country.
Bagaimana cara menghapuskan oligarki? Oligarki eksis karena konsentrasi
kekayaan. Hanya ada satu cara, yakni men-delete para oligark langsung
ke basis. Oligark tetap ada, tetapi liar atau jinak.
Bagaimana dengan Indonesia, kini oligarki menjadi jinak lagi.
Bentuknya, kesatu, oligarki tidak jinak sama sekali (warring oligarkhi).
Kedua, Sultanik oligarkhi, berada pada satu orang kuat dengan satu
figur yang berkuasa, seperti Soeharto dulu. Ketiga, ruling oligarkhi,
para oligark bekerja sama dan menjinakkan diri. Indonesia sekarang
berada pada jenis ini, tetapi belum sempurna. Demokrasi jalan, tetapi
oligark menempati semua posisi. Keempat, civil oligarkhi, para oligark
dijinakkan oleh sistem hukum daripada oligarkinya masing-masing.
Menurut Jeffrey Winters, oligarki sulit dijinakkan melalui hukum,
sebab; membangun sistem hukum yang kuat dan independen jauh lebih sulit
dibandingkan menjatuhkan seorang diktator. Apalagi jika masyarakat tidak
memiliki orang dan pemimpin di luar struktur yang dikuasai oleh para
oligark. Civil society sangat lemah di Indonesia.
Transisi ke rule of law juga tidak otomatis. Demokrasi tanpa hukum
dapat menjadi demokrasi kriminal, bisa bertahan lama. Tidak ada power
yang mempengaruhi negara. Oligarki transnasional bukan oligarki
individu. Winters yang selalu berseberangan dengan pemerintah AS, setuju
dengan adanya Freeport Maxmoran, Newmont, dan lain-lain dan ribuan
perusahaan jalan di negara-negara tertentu untuk memperoleh pasar.
‘’Saya setuju power dan distorsi itu signfikan, tidak hanya 10%. Di
Indonesia ada yang berkuasa dan kongkalingkong dengan pihak luar.
Indonesia harus in charge,’’ sebut Winters.
Guru besar Northenwest University ini sedih melihat perkembangan
Indonesia 50 tahun terakhir. Indonesia menempatkan diri sebagai yunior
partner dunia Barat. Padahal, waktu Soekarno, Indonesia tidak mau tunduk
pada Barat, tetapi dia berkonsentrasi pada kekuasaan.
‘’AS munafik, bahkan tiap negara juga, tetapi rakyat tidak. Saya
melalui organisasi lembaga swadaya masyarakat di AS melawan negara yang
selalu ingin perang dengan mana-mana saja,’’ tegas Winters.
Negaranya, di Indonesia dulu, lebih suka pada seorang diktator
(Soeharto). Ia melukiskan patung Michael Angelo dengan judul ‘si Budak’
yang berotot, kepala tunduk, tangan terikat di belakang dengan tali pada
jempolnya. Sembilan puluh sembilan persen conditioning ada di benak
kita. Winters khawatir sikap Indonesia seperti itu. Dia mengatakan,
tidak relevan AS senang pada SBY, sebab 50 tahun Indonesia hanya menjadi
yunior partner dengan semangat tinggi. Yang dikuatirkan bahwa dalam 50
tahun mendatang Indonesia tidak belajar apa-apa sehingga karenanya
Indonesia tidak punya apa-apa.
Sekarang ini, China yang menguasai pasar. Ini harus ada pilihan. Kita
harus menghapuskan konsep ‘si budak’. Buang itu. Indonesia masih
memiliki banyak sumberdaya alam, tetapi kekuasaan nothing. Walau, tidak
melalui kekerasan.
Menjawab pertanyaan salah seorang audiens, soal pemerintah agama,
Winters menangkis, di Eropa pernah di bawah pemerintahan agama. Sejarah
Eropa pernah mencatat itu dan dijatuhkan dengan kekerasan. Agama
bersifat sesuatu yang dengan asas kerelaan kepada individu, tetapi
ketika pemerintah menerapkan aturan agama, maka sifatnya memaksa dan
kekerasan. Jika agama masuk ke dalam pemerintah, maka sifatnya tidak
berdasarkan kerelaan lagi. Sudah bersifat paksaan. Agama terbangun jika
berkembang di rumah-rumah ibadah dan jika berkembang di pemerintah, maka
akan membantu negara pecah. Agama sebenarnya bisa menjadi inspirasi dan
pedoman.
Dari segi moralitas pribadi, AS dan Indonesia jelas berbeda. Secara
logika tidak ada hubungan antara moralitas dan korupsi. Peranan agama di
Indonesia lebih besar, tetapi korupsi juga lebih besar. Korupsi kecil
di AS, karena ada hukum. Di Indonesia, orang mengambil yang bukan
miliknya tidak akibat diapa-apain. Di AS, meskipun memiliki oligarki
banyak, tetapi ada aturan dan hukumnya. Tergantung pada bukti dan itu
tidak jinak. Di Indonesia pernah ada, jinak dan liar, ditandai oleh
adanya orang yang bernostalgia ingin kembali ke masa Orde Baru.
‘’Tapi saya minta jangan kembali karena akan menunda pembentukan sistem
hukum yang kuat. Sistem hukum masih kuat di Hongkong, hingga perusahaan
yang kuat di China harus didaftar di bekas negara koloni Inggris itu,’’
urai Winters.
Bagaimana cara menjalankan demokrasi tanpa koneksi, korupsi, dan
nepotisme (KKN)? KKN memang berguna sebagai fokus, tetapi itu sebagai
gejala dan bukan tujuan. Harus ada kalkulasi risk and reward. Jika itu
ada, pasti berubah. Reward besar, risiko lebih besar.
Winters membandingkan Soeharto dengan SBY. Soeharto menjalin hubungan
baik dengan pengusaha nonpri berlandaskan uang, tetapi SBY justru
berlandaskan uang dan politik yang dikenal dengan Chinese oligarkhi.
Dulu nonpri ini punya akses langsung dengan ‘babe’, kini tidak. Posisi
pribumi naik, meski uang masih banyak berperan. Untuk membatasi ini
perjuangkan rule of law.
Di dunia ini, menurut pengamatan Winters, dari 100 negara yang
mengalami transisi dari diktator ke demokrasi, hanya 5% memiliki sistem
hukum dan 95% lainnya berdemokrasi tanpa hukum. Indonesia termasuk di
antara yang mayoritas ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dinilai Winters bagus. Hanya,
komisi itu jangan terlalu terfokus pada operasi, tetapi sebagai salah
satu solusi menegakkan dan menciptakan sistem hukum. KPK lebih
berorientasi pada pejabat. Target utama mestinya pada sistem hukum.
Sebab jika menangkap pejabat di negara pada sistem hukum yang tidak
kuat, tetap saja penegakan hukumnya lemah.
Seorang audiens lain menanyakan suku dapat menjadi sumberdaya dalam
pemerintahan. Pemberontakan yang pernah terjadi di Indonesia merupakan
saat yang menentukan, apakah oligarki suku yang bertumbuh di Jawa dan di
daerah-daerah jadi kuat. Oligarki bertumbuh di Jawa dan lebih khusus
lagi di Jakarta. Sumberdaya di daerah-daerah malah dikuasai oleh
segelintir orang di Jakarta. Daerah memiliki kekayaan, tetapi diisap
oleh pusat dan Indonesia tidak membangun kekayaan lokal. Apakah bisa
dibuat lebih seimbang? Indonesia sudah memulainya dengan otonomi daerah.
Hasilnya?
Mobilisasi kapital, katanya, menghindari terjadinya transcorruption.
Membuat oligarki besar, tetapi tidak besar berpengaruh, sebab caranya
lain dengan menyumbang. Di AS mobilitas menjadi sangat penting. Pajak
sebesar US $ 70 miliar per tahun, tetapi tidak tersedia untuk
pembangunan infrastruktur. Caranya khas tergantung negaranya.
Oligarki berefek pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, karena di
Indonesia adanya konsentrasi oligarki yang out of control. Tiga fenomena
yang terjadi, Indonesia lebih konsentratif (consentrated), dengan money
politics penting bagi pemerintah, tetapi tidak penting bagi masyarakat,
dan efek distorsi jadi besar.
Kualitas pendidikan di Indonesia rendah. Jumlah pajak besar jika
oligarki jinak. Pajak itu harus di-redistribusi. Harus ada value added
tax. Yang tak mampu justru bayar pajak lebih besar daripada yang mampu..
Bagaimana korelasi demokrasi dengan perilaku? Dalam pemilu di Indonesia
yang bermain adalah uang. Di negara-negara lain juga. Tetapi ada
beberapa kriteria. Pertama, calon sudah kaya raya dan tidak perlu minta
pada siapa-siapa. Kedua, kalau tidak kaya harus kumpul uang. Di AS, jika
menyumbang uang, tiap dolar tercatat. Satu orang tidak boleh lebih dari
US $ 4.000. Kalau masuk uang tidak dikenal bisa berbahaya. Itu risiko.
Winters pernah bincang-bincang dengan salah seorang pengusaha nonpri
menjelang pemilihan presiden silam (2004-2009). Beberapa oligarki
menyumbang. Salah seorang oligark tersebut mengaku menyumbang US $ 5
miliar ke salah satu kandidat, tidak tercatat. Sumbangan ke
kandidat-kandidat itu disesuaikan dengan kemungkinan peluang yang dia
miliki dalam meraih posisi nomor satu. Dia menanyakan, jika menyumbang,
kalau kandidat itu terpilih, apakah bisnisnya aman? Penyumbang itu
menjawab, ‘’tidak yakin’’. Kalau tidak menyumbang, dan kandidat itu
terpilih, yakin 100% ada problem.
Di AS, sebut Winters, sumbangan seperti ini harus transparan. Dia
mencontohkan, dirinya menyumbang US$ 4.000 guna mendukung Barack Obama
menjadi Presiden AS. Itu dicatat dan diketahui dengan jelas, identitas,
nomor rekeningnya, hingga nomor pemilik wajib pajak (NPWP)-nya.
Bagaimana di Indonesia?
Bagaimana cara membuat sistem hukum yang kuat. Winters menyarankan,
lihat bagaimana cara Indonesia menghancurkan sistem hukum yang ada pada
tahun 50-an. Ketika itu sistem hukum yang diwariskan Belanda, hukum
berwibawa. Polisi juga. Dia ambil keputusan tidak bisa dibeli.
Tetapi apa yang terjadi? Indonesia digiring menganut sistem demokrasi
terpimpin. Dua figur yang termasuk merusak sistem hukum Indonesia ketika
itu menurut Winters adalah Soekarno dan Abdul Haris Nasution. Mereka
membuat eksekutif kuat dan juga Bung Karno jadi lebih kuat. Soekarno
lengser, Soeharto hanya melanjutkan saja apa yang dilakukan presiden
sebelumnya. Yang diwariskan adalah negara tanpa hukum.
Sekarang, eksekutif dan DPR tidak memiliki kemauan menciptakan sistem
hukum. Ini harus ada pressure from the people. Jangan pernah
mengharapkan kedua lembaga itu membuat sistem hukum. KPK sebenarnya
satu-satunya institusi yang mau menegakkan hukum. Kenyataannya, justru
dikriminalisasi.
Pertanyaan sekarang, masa depan Indonesia di mana? Jaya atau tidak
seperti China, India atau Filipina. Tentu tidak akan ke sana. Selama ini
yang berkuasa di luar negeri punya tradisi satu, mengambil harta
kekayaan dalam negara. Dua-duanya ambil gas bumi dan lain-lain.
Indonesia sendiri tidak punya tradisi memproduksi. Produsen kelima hasil
barang produksi industri, tetapi tidak punya produksi industri apa pun.
Indonesia, mestinya jangan hanya malu, tetapi juga harus marah. Harus
ada sikap bagaimana menguasai mereka, menguasai global market. Tidak
hanya menjadi konsumen yang kini merebut 70% persentasenya. Lihat saja,
semua material impor dari China. Gods from China. Indonesia tidak
memiliki planning tentang China. Orang Indonesia yang tahu bahasa
Mandarin sedikit, tetapi China banyak. Di Papua, China membeli 1 juta
hektar lahan untuk kelapa sawit yang bahan mentahnya diekspor ke China.
Di Papua tidak ada pabrik apa-apa. Orang Papua tidak punya industri.
‘’Jadi, siapa saja yang dikasih kesempatan memanfaatkan Indonesia bukan
karena jahat, melainkan juga lantaran pintar,’’ sebut Winters.
Pada bagian awal orasinya, dia mengawali dengan mengatakan, jumlah
orang Indonesia dengan aset nonrumah dengan rata-rata pendapatan di atas
US $ 1 juta pada tahun 2004 mencapai 34.000 orang. Pada tahun 2010
jumlahnya naik 33% atau 43.000 orang. Di dalam kelompok ini muncul
semacam piramid ke atas. Ini sangat terkonsentrasi.
Dari jumlah itu, mereka ini menyumbang 25% dari gross domestic product
(GDP) Indonesia dengan jumlah persentase populasi 0,02% dari penduduk
Indonesia. Jika dihitung, 40 orang paling kaya di Indonesia, merebut 10%
dari total GDP. Konsentrasi kekayaaan itu terdapat di beberapa orang
saja. Sebanyak 40 orang tersebut, imbuh Winters, memiliki kekayaan
sekitar US $ 71 miliar dengan minimal 1,78 miliar aset pribadi.
Indonesia memiliki average (rata-rata) yang terbesar dibandingkan
beberapa negara ASEAN. Singapura dan Malaysia di bawah Indonesia. Di
Indonesia, kemiskinan besar, tetapi kekayaan besar. Tetapi, hanya ada di
beberapa tangan saja. (M.Dahlan Abubakar). SUMBER : www.unhas.ac.id