Kamis, 05 Juli 2012

OLIGARKI POLITIK DI INDONESIA : Jeffrey A Winters

Dalam suatu penerbangan yang memakan waktu cukup lama dari Amerika ke Indonesia, Prof. Jeffrey A.Winters se-pesawat dengan sejumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Paman Sam itu. Karena penerbangan yang memakan waktu lama, Winters punya waktu yang cukup untuk berdiskusi dengan mereka di dapur pesawat. Dari beberapa mahasiswa itu, ada satu orang yang menarik perhatian Winters. Dia mengatakan, untuk mengatasi kesemrawutan pemerintahan, Indonesia lebih baik di-out sourcing saja. Ya, ibarat ada pekerja luar yang menangani suatu pekerjaan di salah satu kantor di Indonesia.
‘’Tetapi langkah ini dianggap tidak nasionalis,’’ kata Jeffrey Winters saat berbicara di Unhas, 18 April 2011.
Tampil dengan topik ‘’Demokrasi Tanpa Hukum, Indonesia Hadapi Oligarki’’, Jeffrey Winters seolah mampu menghipnotis sekitar seratusan audiens yang memadati Ruang Senat Unhas. Didampingi Wakil Rektor IV Unhas Prof.Dr.Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. dan Pembaantu Dekan I Fisipol Unhas Prof.Dr.Armin Arsyad, M.Si, Winters mengawali dengan mengatakan bahwa seorang temannya menyarankan agar dia tidak datang di Makassar. Mahasiswa Makassar, kata temannya itu, terkenal tajam dan provaktif. Tetapi dia sendiri menangkis dengan menyebutkan, dirinya senang dengan mahasiswa yang berani bertanya dan bertindak. Sebab, masa depan bangsa dan negara ini akan ditentukan di tangan mereka. Jangan setengah-setengah.
Menyinggung masalah oligarki yang menjadi tema orasinya, dia menyebutkan, konsep oligarki masih perlu dikaji ulang. Oligarki sudah dikenal sejak zaman Plato dan Aristoteles. Keduanya sudah memperkenalkan kekuasaan ini ribuan tahun silam. Oligarki adalah kekuasaan pada segelintir orang yang berbeda dengan konsep demokrasi. Oligarki berkompetisi dengan kekuasaan yang mayoritas. Kekuasan oligarki harus dikendalikan dengan kekuasaan para elite, meski dalam aspek mayoritas oligarki dan elite berbeda.
Oligarki sangat ditentukan oleh power. Juga kekayaan, status. Keluarga tidak cukup 100% penting, tetapi ada yang lebih. Karisma juga termasuk syarat tumbuhnya kekuasaan oligarki, meski memerlukan power individu, namun ada kaitan langsung dengan mobilisasi bersama banyak orang. Salah satu ciri karisma dan power adalah apa yang dilakukan Mahatma Gandhi (India). Dia memiliki banyak pengikut. Soekarno juga memiliki konsep ini.
Jabatan juga masuk sebagai prasyarat munculnya oligarki, sebab bisa memerintah orang lain. Posisi resmi hingga dapat menyebabkan powermeter naik Hanya saja pejabat bisa on/off. Dia memberikan contoh terhadap George W.Bush yang digantikan Barack Obama. Simpati orang terhadap Bush berubah segera dalam hitungan menit, begitu Obama muncul.
Power kekuasaan sangat kuat. Power berdasarkan posisi resmi (coersif, kekerasan), material yang merupakan the power of wealth (kekuatan kekayaan). Oligarki kuat karena kaya, meski kerap jadi problem. Sebab, konsentrasi uang hanya ada pada beberapa pihak saja. Ini akan menyebabkan muncul ancaman terhadap si kaya lainnya. Inilah yang menyebabkan lahirnya wealth defence. Yang membuat oligarki frustrasi adalah ancaman horizontal, saling serang, the attacking is other, antar-oligark.
‘’Jangan mau jadi orang kaya, karena akan menghadapi ancaman dari mana saja dan harus diantisipasi, apalagi tidak ada stratifikasi dalam politik,’’ sebut maha guru dari Department of Politics Northwestern University, Evanston, USA tersebut.
Sebelum tahun 1970, Indonesia belum mengenal oligarki. Stratifikasi kekayaan dimulai selama Orde Baru. Soeharto-lah yang menciptakan oligarki dan dikendalikan oleh kelompok baru ini. Para oligark terkendali secara personal, tidak melalui institusi hukum. Mempertahankan kekayaan, termasuk dalam bentuk politics of proximity. Oligarki pada masa Soeharto, jika dua orang berselisih, salah seorang di antaranya pasti digebukin, Oligarki menjadi sangat jinak dan tidak berani macam-macam. Satu oligark (pelaku) yang mencoba macam-macam akan tahu akibatnya atau apa yang terjadi.
Ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru dibagi habis ke dalam cara ini. Semuanya, sebenarnya diselesaikan dengan cara ‘bapak’. Lingkaran satu dan dijinakkan secara personal.
Aspek proximity adalah siapa dekat itu yang penting. Tentu mereka yang lebih kaya. Itu akan membuat dia lebih aman dan oligarknya akan senang. Yang mengganggu oligarki Soeharto, kata Winters, adalah anak-anaknya yang mulai besar. Begitu anaknya muncul oligarki Soeharto terganggu. Tidak tahu siapa yang berkuasa.
Oligarki ini sampai pada tahun 1998. Anaknya yang jadi gangguan, menurut Jeffrey Winters, bagus kalau anak-anaknya dikirim ke luar negeri. Itu pasti bagus.
Pada tahun 1998, ada dua transisi yang sangat penting. Kesatu, dari diktator ke demokrasi dilakukan secara radikal. Menghabisi real oligarkhi. Oligarki jinak ke oligarki liar membuat gangguan besar sekali di Indonesia. Oleh sebab itu, kini banyak orang mengatakan ‘rindu pada Orde Baru’. Pemuda Indonesia mengalami frustrasi tinggi. Tentang mencari solusi Indonesia ke depan yang tidak maju-maju. Seperti komentar salah seorang mahasiswa Indonesia yang se-pesawat dengan Winters dari Amerika, mungkin ada baiknya Belanda masuk 50 tahun lagi di Indonesia. Itu berarti tidak ada harapan di Indonesia.
Winters menyimpulkan, melalui demokrasi jalan terbaik mencari solusinya, tetapi banyak juga yang menyalahkan demokrasi. Indonesia akhirnya terjebak pada masa transisi dari oligarki jinak ke oligarki liar. Padahal, demokrasi Indonesia lebih hebat dari Amerika Serikat. Mengapa? Indonesia bisa memilih presiden secara langsung, di AS tidak. Kedua, Indonesia bisa memilih calon presiden lebih dari dua, di AS hanya dua.
Oligarki di Indonesia lebih besar dan bervariasi serta tidak bersenjata. Bandingkan dengan oligarki di Filipina, tetapi bersenjata hingga di daerah-daerah. Indonesia justru di pusat. Di Filipina ada basis-basis di provinsi. Setiap pemilihan umum rata-rata ada pembunuhan terhadap calon presiden lain. Jumlahnya rata-rata 100-150 orang. Jadi sangat violence, karena punya milisi.
Satu keuntungan di Indonesia, papar Winters, oligarki tidak bersenjata. Buahnya jatuh ke oligark. Di Indonesia sebenarnya tidak ada people power movement. Sebab, gerakan itu hanya sebentar saja. Yang ada hanya mobilisasi last minute, karena pengaruh dari luar. Banyak pihak yang mendorong, baik mahasiswa, aktivis, langsung bubar semuanya setelah itu.
Oligarki muncul karena tidak ada sistem hukum yang kuat dan independen. Demokrasi tanpa hukum jadi menjadi demokrasi lemah. Yang berkuasa memiliki latar belakang kriminal. Mereka tidak tunduk pada hukum, tetapi hukum yang tunduk pada mereka. Demokrasi yang jalan sebenarnya, sekaligus oligarki yang tidak tunduk pada hukum. Di Singapura hukum kuat tetapi tidak ada demokrasi. Pada masa Soeharto tidak ada demokrasi, tidak ada hukum. Orang kuat tidak pernah tunduk pada hukum. Rakyat sebenarnya tunduk pada hukum. Yang tidak tunduk pada hukum adalah orang kuat dan sangat berfokus pada orang-orang tertentu.
Menurut House of Democracy, Indonesia merupakan negara paling demokratis di Asia Tenggara pada tahun 2010. Namun Indonesia juga disebut sebagai the most corrupt country.
Bagaimana cara menghapuskan oligarki? Oligarki eksis karena konsentrasi kekayaan. Hanya ada satu cara, yakni men-delete para oligark langsung ke basis. Oligark tetap ada, tetapi liar atau jinak.
Bagaimana dengan Indonesia, kini oligarki menjadi jinak lagi. Bentuknya, kesatu, oligarki tidak jinak sama sekali (warring oligarkhi). Kedua, Sultanik oligarkhi, berada pada satu orang kuat dengan satu figur yang berkuasa, seperti Soeharto dulu. Ketiga, ruling oligarkhi, para oligark bekerja sama dan menjinakkan diri. Indonesia sekarang berada pada jenis ini, tetapi belum sempurna. Demokrasi jalan, tetapi oligark menempati semua posisi. Keempat, civil oligarkhi, para oligark dijinakkan oleh sistem hukum daripada oligarkinya masing-masing.
Menurut Jeffrey Winters, oligarki sulit dijinakkan melalui hukum, sebab; membangun sistem hukum yang kuat dan independen jauh lebih sulit dibandingkan menjatuhkan seorang diktator. Apalagi jika masyarakat tidak memiliki orang dan pemimpin di luar struktur yang dikuasai oleh para oligark. Civil society sangat lemah di Indonesia.
Transisi ke rule of law juga tidak otomatis. Demokrasi tanpa hukum dapat menjadi demokrasi kriminal, bisa bertahan lama. Tidak ada power yang mempengaruhi negara. Oligarki transnasional bukan oligarki individu. Winters yang selalu berseberangan dengan pemerintah AS, setuju dengan adanya Freeport Maxmoran, Newmont, dan lain-lain dan ribuan perusahaan jalan di negara-negara tertentu untuk memperoleh pasar.
‘’Saya setuju power dan distorsi itu signfikan, tidak hanya 10%. Di Indonesia ada yang berkuasa dan kongkalingkong dengan pihak luar. Indonesia harus in charge,’’ sebut Winters.
Guru besar Northenwest University ini sedih melihat perkembangan Indonesia 50 tahun terakhir. Indonesia menempatkan diri sebagai yunior partner dunia Barat. Padahal, waktu Soekarno, Indonesia tidak mau tunduk pada Barat, tetapi dia berkonsentrasi pada kekuasaan.
‘’AS munafik, bahkan tiap negara juga, tetapi rakyat tidak. Saya melalui organisasi lembaga swadaya masyarakat di AS melawan negara yang selalu ingin perang dengan mana-mana saja,’’ tegas Winters.
Negaranya, di Indonesia dulu, lebih suka pada seorang diktator (Soeharto). Ia melukiskan patung Michael Angelo dengan judul ‘si Budak’ yang berotot, kepala tunduk, tangan terikat di belakang dengan tali pada jempolnya. Sembilan puluh sembilan persen conditioning ada di benak kita. Winters khawatir sikap Indonesia seperti itu. Dia mengatakan, tidak relevan AS senang pada SBY, sebab 50 tahun Indonesia hanya menjadi yunior partner dengan semangat tinggi. Yang dikuatirkan bahwa dalam 50 tahun mendatang Indonesia tidak belajar apa-apa sehingga karenanya Indonesia tidak punya apa-apa.
Sekarang ini, China yang menguasai pasar. Ini harus ada pilihan. Kita harus menghapuskan konsep ‘si budak’. Buang itu. Indonesia masih memiliki banyak sumberdaya alam, tetapi kekuasaan nothing. Walau, tidak melalui kekerasan.
Menjawab pertanyaan salah seorang audiens, soal pemerintah agama, Winters menangkis, di Eropa pernah di bawah pemerintahan agama. Sejarah Eropa pernah mencatat itu dan dijatuhkan dengan kekerasan. Agama bersifat sesuatu yang dengan asas kerelaan kepada individu, tetapi ketika pemerintah menerapkan aturan agama, maka sifatnya memaksa dan kekerasan. Jika agama masuk ke dalam pemerintah, maka sifatnya tidak berdasarkan kerelaan lagi. Sudah bersifat paksaan. Agama terbangun jika berkembang di rumah-rumah ibadah dan jika berkembang di pemerintah, maka akan membantu negara pecah. Agama sebenarnya bisa menjadi inspirasi dan pedoman.
Dari segi moralitas pribadi, AS dan Indonesia jelas berbeda. Secara logika tidak ada hubungan antara moralitas dan korupsi. Peranan agama di Indonesia lebih besar, tetapi korupsi juga lebih besar. Korupsi kecil di AS, karena ada hukum. Di Indonesia, orang mengambil yang bukan miliknya tidak akibat diapa-apain. Di AS, meskipun memiliki oligarki banyak, tetapi ada aturan dan hukumnya. Tergantung pada bukti dan itu tidak jinak. Di Indonesia pernah ada, jinak dan liar, ditandai oleh adanya orang yang bernostalgia ingin kembali ke masa Orde Baru.
‘’Tapi saya minta jangan kembali karena akan menunda pembentukan sistem hukum yang kuat. Sistem hukum masih kuat di Hongkong, hingga perusahaan yang kuat di China harus didaftar di bekas negara koloni Inggris itu,’’ urai Winters.
Bagaimana cara menjalankan demokrasi tanpa koneksi, korupsi, dan nepotisme (KKN)? KKN memang berguna sebagai fokus, tetapi itu sebagai gejala dan bukan tujuan. Harus ada kalkulasi risk and reward. Jika itu ada, pasti berubah. Reward besar, risiko lebih besar.
Winters membandingkan Soeharto dengan SBY. Soeharto menjalin hubungan baik dengan pengusaha nonpri berlandaskan uang, tetapi SBY justru berlandaskan uang dan politik yang dikenal dengan Chinese oligarkhi. Dulu nonpri ini punya akses langsung dengan ‘babe’, kini tidak. Posisi pribumi naik, meski uang masih banyak berperan. Untuk membatasi ini perjuangkan rule of law.
Di dunia ini, menurut pengamatan Winters, dari 100 negara yang mengalami transisi dari diktator ke demokrasi, hanya 5% memiliki sistem hukum dan 95% lainnya berdemokrasi tanpa hukum. Indonesia termasuk di antara yang mayoritas ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dinilai Winters bagus. Hanya, komisi itu jangan terlalu terfokus pada operasi, tetapi sebagai salah satu solusi menegakkan dan menciptakan sistem hukum. KPK lebih berorientasi pada pejabat. Target utama mestinya pada sistem hukum. Sebab jika menangkap pejabat di negara pada sistem hukum yang tidak kuat, tetap saja penegakan hukumnya lemah.
Seorang audiens lain menanyakan suku dapat menjadi sumberdaya dalam pemerintahan. Pemberontakan yang pernah terjadi di Indonesia merupakan saat yang menentukan, apakah oligarki suku yang bertumbuh di Jawa dan di daerah-daerah jadi kuat. Oligarki bertumbuh di Jawa dan lebih khusus lagi di Jakarta. Sumberdaya di daerah-daerah malah dikuasai oleh segelintir orang di Jakarta. Daerah memiliki kekayaan, tetapi diisap oleh pusat dan Indonesia tidak membangun kekayaan lokal. Apakah bisa dibuat lebih seimbang? Indonesia sudah memulainya dengan otonomi daerah. Hasilnya?
Mobilisasi kapital, katanya, menghindari terjadinya transcorruption. Membuat oligarki besar, tetapi tidak besar berpengaruh, sebab caranya lain dengan menyumbang. Di AS mobilitas menjadi sangat penting. Pajak sebesar US $ 70 miliar per tahun, tetapi tidak tersedia untuk pembangunan infrastruktur. Caranya khas tergantung negaranya.
Oligarki berefek pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, karena di Indonesia adanya konsentrasi oligarki yang out of control. Tiga fenomena yang terjadi, Indonesia lebih konsentratif (consentrated), dengan money politics penting bagi pemerintah, tetapi tidak penting bagi masyarakat, dan efek distorsi jadi besar.
Kualitas pendidikan di Indonesia rendah. Jumlah pajak besar jika oligarki jinak. Pajak itu harus di-redistribusi. Harus ada value added tax. Yang tak mampu justru bayar pajak lebih besar daripada yang mampu..
Bagaimana korelasi demokrasi dengan perilaku? Dalam pemilu di Indonesia yang bermain adalah uang. Di negara-negara lain juga. Tetapi ada beberapa kriteria. Pertama, calon sudah kaya raya dan tidak perlu minta pada siapa-siapa. Kedua, kalau tidak kaya harus kumpul uang. Di AS, jika menyumbang uang, tiap dolar tercatat. Satu orang tidak boleh lebih dari US $ 4.000. Kalau masuk uang tidak dikenal bisa berbahaya. Itu risiko.
Winters pernah bincang-bincang dengan salah seorang pengusaha nonpri menjelang pemilihan presiden silam (2004-2009). Beberapa oligarki menyumbang. Salah seorang oligark tersebut mengaku menyumbang US $ 5 miliar ke salah satu kandidat, tidak tercatat. Sumbangan ke kandidat-kandidat itu disesuaikan dengan kemungkinan peluang yang dia miliki dalam meraih posisi nomor satu. Dia menanyakan, jika menyumbang, kalau kandidat itu terpilih, apakah bisnisnya aman? Penyumbang itu menjawab, ‘’tidak yakin’’. Kalau tidak menyumbang, dan kandidat itu terpilih, yakin 100% ada problem.
Di AS, sebut Winters, sumbangan seperti ini harus transparan. Dia mencontohkan, dirinya menyumbang US$ 4.000 guna mendukung Barack Obama menjadi Presiden AS. Itu dicatat dan diketahui dengan jelas, identitas, nomor rekeningnya, hingga nomor pemilik wajib pajak (NPWP)-nya. Bagaimana di Indonesia?
Bagaimana cara membuat sistem hukum yang kuat. Winters menyarankan, lihat bagaimana cara Indonesia menghancurkan sistem hukum yang ada pada tahun 50-an. Ketika itu sistem hukum yang diwariskan Belanda, hukum berwibawa. Polisi juga. Dia ambil keputusan tidak bisa dibeli.
Tetapi apa yang terjadi? Indonesia digiring menganut sistem demokrasi terpimpin. Dua figur yang termasuk merusak sistem hukum Indonesia ketika itu menurut Winters adalah Soekarno dan Abdul Haris Nasution. Mereka membuat eksekutif kuat dan juga Bung Karno jadi lebih kuat. Soekarno lengser, Soeharto hanya melanjutkan saja apa yang dilakukan presiden sebelumnya. Yang diwariskan adalah negara tanpa hukum.
Sekarang, eksekutif dan DPR tidak memiliki kemauan menciptakan sistem hukum. Ini harus ada pressure from the people. Jangan pernah mengharapkan kedua lembaga itu membuat sistem hukum. KPK sebenarnya satu-satunya institusi yang mau menegakkan hukum. Kenyataannya, justru dikriminalisasi.
Pertanyaan sekarang, masa depan Indonesia di mana? Jaya atau tidak seperti China, India atau Filipina. Tentu tidak akan ke sana. Selama ini yang berkuasa di luar negeri punya tradisi satu, mengambil harta kekayaan dalam negara. Dua-duanya ambil gas bumi dan lain-lain. Indonesia sendiri tidak punya tradisi memproduksi. Produsen kelima hasil barang produksi industri, tetapi tidak punya produksi industri apa pun. Indonesia, mestinya jangan hanya malu, tetapi juga harus marah. Harus ada sikap bagaimana menguasai mereka, menguasai global market. Tidak hanya menjadi konsumen yang kini merebut 70% persentasenya. Lihat saja, semua material impor dari China. Gods from China. Indonesia tidak memiliki planning tentang China. Orang Indonesia yang tahu bahasa Mandarin sedikit, tetapi China banyak. Di Papua, China membeli 1 juta hektar lahan untuk kelapa sawit yang bahan mentahnya diekspor ke China. Di Papua tidak ada pabrik apa-apa. Orang Papua tidak punya industri.
‘’Jadi, siapa saja yang dikasih kesempatan memanfaatkan Indonesia bukan karena jahat, melainkan juga lantaran pintar,’’ sebut Winters.
Pada bagian awal orasinya, dia mengawali dengan mengatakan, jumlah orang Indonesia dengan aset nonrumah dengan rata-rata pendapatan di atas US $ 1 juta pada tahun 2004 mencapai 34.000 orang. Pada tahun 2010 jumlahnya naik 33% atau 43.000 orang. Di dalam kelompok ini muncul semacam piramid ke atas. Ini sangat terkonsentrasi.
Dari jumlah itu, mereka ini menyumbang 25% dari gross domestic product (GDP) Indonesia dengan jumlah persentase populasi 0,02% dari penduduk Indonesia. Jika dihitung, 40 orang paling kaya di Indonesia, merebut 10% dari total GDP. Konsentrasi kekayaaan itu terdapat di beberapa orang saja. Sebanyak 40 orang tersebut, imbuh Winters, memiliki kekayaan sekitar US $ 71 miliar dengan minimal 1,78 miliar aset pribadi. Indonesia memiliki average (rata-rata) yang terbesar dibandingkan beberapa negara ASEAN. Singapura dan Malaysia di bawah Indonesia. Di Indonesia, kemiskinan besar, tetapi kekayaan besar. Tetapi, hanya ada di beberapa tangan saja. (M.Dahlan Abubakar). SUMBER :  www.unhas.ac.id