Dari Imperialisme-Tua Ke Imperialisme-Modern
Tahukah
pembaca bagaimana mekarnya imperialisme itu? Bagaimana ia dari imperialisme
kecil menjadi imperialisme raksasa, dari imperialisme jaman dulu menjadi
imperialisme jaman sekarang, dari imperialisme tua menjadi imperialisme modern?
Bagaimana imperialisme tua itu berganti bulu sama sekali menjadi imperialisme
modern, yakni bukan saja berganti besarnya, tetapi juga berganti wujudnya,
berganti sifatnya, berganti caranya, berganti sepak terjangnya, berganti
wataknya, berganti stelselnya, berganti sitemnya, berganti segala-galanya, –dan
hanya satu yang tidak berganti padanya, yakni kehausannya mencari rejeki?
Kamu
belum mengetahui hal ini? Pembaca, imperialisme adalah dilahirkan oleh
kapitalisme. Imperialisme adalah anaknya kapitalisme. Imeprtialisme tua
dilahirkan oleh kapitalisme tua, imperialisme modern dilahirkan oleh
kapitalisme modern. Wataknya kapitalisme tua adalah berbeda besar dengan
wataknya kapitalisme modern. Sedang kapitalisme tua belum kenal akan
tempat-tempat pekerjaan sebagai sekarang, belum kenal pabrik-pabrik sebagai
sekarang, belum kenal industri-industri sebagai sekarang, belum kenal bank-bank
sebagai sekarang, belum kenal perburuhan sebagai sekarang, belum kenal cara
produksi sebagai sekarang, –sedang kapitalisme tua itu cara produksinya hanya kecil-kecilan
saja dan didalam segala-galanya berwatak kuno, maka kapitalisme modern adalah
menunjukkan kemodernan yang hebat sekali: tempat-tempat perkejaan pekerjaan
yang ramainya menulikan tenaga, pabrik-pabrik yang asapnya menggelapkan
angkasa, bank-bank yang tingginya mencakar langit, perburuhan yang memakai
ribuan ketian Proletar, pembikinan barang yang hantam kromo banyaknya sampai
bergudang-gudang. Maka imperialisme tua yang dilahirkan oleh kapitalisme tua
itu, –imperialismenya Oost Indische Compagnie dan imperialismenya
Cultuurstelsel, –imperialisme tua itu niscayalah satu watak dengan “ibunya”,
yakni watak tua, watak kolot, watak kuno. Tidaklah kenal imperialisme tua itu
akan cara-cara “modern”, tidaklah kenal ia akan cara-cara “sopan”. Ia menghantam
kekakanan dan kekiri, menanam dan menjaga stelsel (sistem, ed.) monopoli dengan
kekerasan dan kekejaman. Ia mengadakan sistem paksa dimana-mana, ia
membinasakan ribuan jiwa manusia, menghancurkan kerajaan-kerajaan dengan
kekerasan senjata, membasmi milliunan tanaman cengkeh dan pala yang
membahayakan keuntungannya. Ia melahirkan aturan contingenten (serupa pajak,
dibayar dengan barang-barang hasil bumi oleh Kepala-kepala) dan leverantien
(kepala-kepala dipastikan setor barang-barang hasil bumi yang dibeli oleh
Compagnie. Tetapi banyaknya dan harganya barang itu Compagnie-lah yang
menentukan) yang sangat sekali berat dipikulnya oleh Rakyat, ia dengan
terang-terangan melahirkan aturan-aturan yang memadamkan perdagangan Indonesia,
ia dengan terang-terangan menjalankan politiknya memecah-mecah. Ia menjalankan
tindakan-tindakan kekerasan, yan menurut Profesor Snouck Hurgronje, “sukar
sekali kita menahan kita punya rasa jemu dan rasa jijik”. Ia di jaman
akhir-akhirnya melahirkan suatu stelsel (sistem, ed.) kerja paksa baru, yang
lebih kejam lagi, lebih menguntungkan lagi, lebih memutuskan nafas lagi, yakni
culturrstelsel yang sebagai cambuk jatuh diatas pundak dan belakangnya Rakyat.
Ya, pendek kata, sangat sekali “kuno” didalam sepak terjang dan wataknya:
paksaan dan perkisaan terang-terangan adalah ia punya nyawa!
Tetapi
lambat laun di Eropa modern –kapitalisme mengganti vroeg kapitalisme yang sudah
tua bangka. Pabrik-pabrik, bengkel- bengkel, bank-bank, pelabuhan-pelabuhan,
kota-kota industri timbullah seakan-akan jamur di musim dingin, dan tatkala
tatkala modern kapitalisme ini sudah dewasa, maka modal kelebihannya alias
surpluskapitaal-nya lalu ingin dimasukkan di Indonesia, –modern imperialisme
lalau menjelma dimuka bumi, ingin menggantikan imperialisme tua yang juga sudah
tua bangka.
Tak
berhenti-henti, –begitulah saya tempo hari menulis dalam saya punya pleidooi–,
tak berkenti-henti modern imperialisme itu memukul-mukul diatas pintu gerbang
Indonesia yang kurang lekas dibukanya, tak berhenti-henti kampiun-kampiunnya
modern imperialisme yang tak sabar lagi itu menghantam-hantam diatas pintu
gerbang itu, tak berhenti-henti penjaga-penjaga pintu gerbang itu saban-saban
sama gemetar mendengar dengungnya pekik “naar vrij arbeid!”, “kearah kerja
merdeka!” daripada kaum-kaum modern kapitalisme yang tak mau memakai lagi
sistem sistem kuno yang serba paksa itu, melainkan ingin mengadakan sistem baru
yang memakai “kaum buruh merdeka”, “penyewaan tanah merdeka”, “persaingan
merdeka”, dan lain sebagainya. Dan akhirnya, pada kira-kira tahun 1870,
dibukalah pintu gerbang itu! Sebagai angin yang makin membanjir, sebagai
gemuruhnya tentara menang yang masuk ke dalam kota yang kalah, maka sesudah
Agrarische wet dan Suikerwet-de Waal didalam tahun 1870 diterima baik oleh
Staten-Generaal di negeri Belanda, masuklah modal partikelir (swasta, ed.) di
Indonesia, –mengadakan pabrik-pabrik gula dimana-mana, kebun-kebun teh
dimana-mana, onderneming-onderneming (perkebunan, ed.) tembakau dimana-mana,
dan lain sebagainya; tambahan lagi modal partikelir yang membuka macam-macam
perusahaan tambang, macam-macam perusahaan kereta api, tram, kapal, atau
pabrik-pabrik yang lain-lain. Imperialisme tua makin lama makin layu, makin
lama makin mati, imperialisme modern mengganti tempat-tempatnya” Cara
pengambilan rejeki dengan jalan monopoli dan paksa makin lama makin diganti
cara pengambilan rejeki dengan jalan persaingan merdeka dan buruh merdeka, cara
pengambilan rejeki yang menggali untung bagi “negeri” Belanda makin lama makin
mengerut, terdesak oleh pengambilan rejeki secara baru yang mengayakan modal
partikelir.
Imperialisme tua dilahirkan oleh kapitalisme
tua, imperialisme modern dilahirkan oleh kapitalisme modern. Wataknya
kapitalisme tua adalah berbeda besar dengan wataknya kapitalisme modern.
Cara
pengambilan berubah, sistemnya berubah, wataknya berubah, –tetapi banyakkah
perubahan bagi Rakyat Indonesia? Banjir harta yang keluar dari Indonesia bukan
semkin surut, tetapi malahan makin besar, drainage Indonesia malahan makin
makan! “Tak pernahlah untung bersih itu mengalirnya begitu deras sebagai justru
dibawah pimpinannya exploitatant (penghisap, ed.) baru itu; aliran itu hanyalah
melalaui jalan-jalan yang lebih tenang”, begitulah seorang politikus pernag
menulis…
Memang,
bagi Rakyat Indonesia perubahan sejak tahun 1870 itu hanyalah perubahan caranya
pengambilan rejeki; bagi Rakyat Indonesia, imperialisme tua dan imperialisme
modern dua-dua tinggal imperialisme belaka, dua-dua tinggal pengangkutan rejeki
Indonesia keluar pagar, dua-duanya tinggal drainage. Dan drainage ini pun
didalam jaman modern imperialisme makin membanjir! Raksasa imperialisme modern
itu tidak tinggal raksas saja, raksasa imperialisme modern itu dikemudian hari
menjadillah raksasa yang bertambah kepala dan bertambah tangannya: Sejak adanya
opendeur-politiek (politik pintu terbuka, ed.) didalam tahun 1905, maka modal
yang boleh masuk ke Indonesia dan mencari rejeki di Indonesia, bukanlah lagi
modal Belanda saja, tetapi juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal
Jepang, juga modal Jerman, juga modal Perancis, juga modal Italia, juga modal
lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini adalah imperialisme yang
internasional karenanya. Raksasa “biasa” yang dulu berjengkelitan diatas padang
kerejekian Indonesia, kini sudah menjadi raksasa Rahwana Dasamuka yang bermulut
sepuluh!
Dan
bukan saja bermulut sepuluh! Juga jalannya mencari rejeki kini bukan satu jalan
saja, tetapi jalan yang bercabang-cabang tiga empat. Bukan lagi Indonesia hanya
menjadi tempat pengambilan barang-barang biasa sebagai di jamannya imperialisme
tua, bukan lagi Indonesia hanya menjadi tempat pengambilan pala atau cengkeh
atau merica atau kayu manis atau nila, tetapi kini juga menjadi pasar penjualan
barang-barang keluarannya kepabrikan negeri asing, juga menjadi tempat
penanaman modal asing, yang di negeri asing sendiri sudah kehabisan tempat,
pendek kata: juga menjadi afzetgebied dan exploitatiegebied-nya
surpluskapitaal.
Terutama
“jalan” yang belakangan inilah, yakni “jalan” penanaman modal asinng disini,
adalah yang paling hebat dan makin bertambah hebat: pabrik-pabrik gula bukan
puluhan lagi tapi ratusan, onderneming teh dibuka dimana-mana, onderneming
karet tersebar kesemua jurusan, onderneming kopi, onderneming kina, onderneming
tembakau, onderneming sereh, tempat-tempat timah, tambang-tambang emas, tempat
pengeboran minyak, tempat perusahaan besi, bingkil-bingkil, kapal-kapal dan
tram-tram, –semua itu adalah penjelmaannya penanaman modal sing disini, semua
itu adalah menggambarkan bagimana hebatnya raksas itu memperusahakan Indonesia
menjadi exploitatiegebied-nya surpluskapitaal. Ribuan, tidak, milyunan kekayaan
yang saban tahun meninggalkan Indonesia, mengayakan modern-kapitalisme di dunia
Barat. Perhatikanlah angka-angka dibawah ini, perhatikanlah angka-angka
daripada besarnya impor dan ekspor buat 1924-1930.
Buat
Afrika Selatan adalah
Buat
Filipina
Buat
India
Buat
Mesir
Buat
Ceylon (Srilangka, ed.)
|
118,7/100
123,1/100
123,3/100
129,9/100
132,8/100
|
Apa
yang ternyata dengan angka-angka ini? Dengan angka-angka ini ternyatalah apa
yang saya katakan diatas: bahwa Indonesia adalah terutama sekali tempat
penanaman modal asing, yang niscaya barang hasilnya lalu dibawa keluar; bahwa
Indonesia dus dihinggapi imperialisme yang terutama seklai mengekspor, imperialisme
yang didalam masa yang “normal” rata-rata dua kali jumlah harganya rejeki yang
ia angkuti keluar daripada yang ia masukkan kedalam; bahwa Indonesia dus sangat
sekali menderita drainage.
Amboi,
rata-rata dua kali gandanya ekspor daripada impor! –begitulah saya tempo hari
menulis dalam “Suluh Indonesia Muda”–, rata-rata dua kali gandanya ekspor
daripada impor, bahwasanya, memang suatu bandingan yang celaka sekali, suatu
bandingan yang memang memegang rekor daripada semua drainage yang ada di seluruh
muka bumi! Indonesia yang celaka! Sedang bandinganny aekspor/impor di
negeri-negeri jajahan yang lain-lain ada “mendingnan”, sedang bandingan itu
didalam tahun 1924.
Buat
Afrika Selatan adalah
Buat
Filipina
Buat
India
Buat
Mesir
Buat
Ceylon (Srilangka, ed.)
|
118,7/100
123,1/100
123,3/100
129,9/100
132,8/100
|
Maka
buat Indonesia ia menjadi yang paling celaka, yakni 220,4/100! Dua ratus dua
puluh koma empat prosen besarnya ekspor dibandingkan dengan impor, –herankah
kita, kalau seorang ahli ekonomi sebagai Profesor van Gelderen tersia-sia
mencari angka yang lebih tinggi, dan berkata bahwa “kalau dibandingkan
angka-angka di Hindia dengan angka-angka negeri lain, maka ternyatalah bahwa
tidak ada satu negeri dimuka bumi ini yang prosentasenya begitu tinggi seperti
Hindia belanda”? Herankah kita, kalau seorang Komunis C. Stantin, yang toh
biasa melihat angka-angka yang “kejam”, menyebutkan imperialisme di Indonesia
itu suatu imperialisme yang “mendirikan bulu”
Dua
ratus dua puluh koma empat prosen besarnya ekspor, –dan apakah yang diekspor
keluar itu? Yang diekspor keluar ialah terutama sekali “hasil onderneming” dan
minyak. Yang diekspor ialah gula, karet, tembakau, teh, minyak tanah, bensin,
dan lain sebagainya, yang menurut angka-angka diatas tadi total jeneralnya
(keseluruhannya, ed.) di jaman “normal” paling “apes” f 1.500.000.000—zegge:
seribu lima ratus juta rupiah setahun-tahunnya, sebagaimana buat percontohan
saya sajikan dibawah ini (angka-angka buat tahun 1937):
Hasil-hasil minyak tanah total
Arachides
Karet
Damar
Kopra
Gambir
Getah
Perca
Jelutung
Topi
Kayu
Kulit
Babakan
kina
Pil
kina
Kopi
Jagung
Kain-kain
Minyak-minyak
(dari tanaman) total
Pinang
Rotan
Beras
Rempah-rempah
total
Spiritus
Arang
batu
Gula total
Tembakau total
Tepung
ketela
Teh
Timah total
Bungkil
Kapuk, serat nanas, dll
Lain-lain
hal
|
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
f
|
149.916.000
4.335.000
417.055.000
9.911.000
73.083.000
1.194.000
1.895.000
2.073.000
2.405.000
9.106.000
16.067.000
5.454.000
1.821.000
74.376.000
4.033.000
5.425.000
14.766.000
7.307.000
8.521.000
2.373.000
33.409.000
3.125.000
5.019.000
365.310.000
113.926.000
21.423.000
90.220.000
93.864.000
4.132.000
38.250.000
42.484.000
|
Total
jenderal (keseluruhan,
ed.)
|
f
|
1.622.278.000
|
Inilah
daftar daripada “makan jalan” didalam pesta untuk merayakan
“beschaving-en-orde-en-rust” yang jadi cangkingannya imperialisme modern di
Indonesia! Perhatikanlah nama-nama dan angka-angka yangn dicetak dengan huruf
tebal: Kecuali minyak tanah dan timah, maka nama-nama itu adalah semuanya
nama-nama hasil “onderneming landbouw”, dan semuanya pun angka-angka yang
paling gemuk. Karet sekian milyun, kopra sekian milyun, kopi sekian milyun,
minyak-minyak tanaman sekian milyun, gula sekian milyun, … tembakau, teh, kapuk
serat nans sekian milyun, –dari delapan macam hasil onderneming landbouw ini
saja jumlah ekspor sudah f 1.186.986.000, atau kurang lebih 75% dari semua
jumlah ekspor yang f 1.622.278.000 itu! Konklusi? Konklusi ialah, bahwa
imperialisme modern yang mengaut-aut di padang perekonomian Indonesia itu ialah
terutama sekali imperialisme pertanian, atau lebih tegas:
landbouw-industrieel-imperialisme. Konklusi ialah, bahwa bagi perjuangan kita
adalah sangat sekali pentingnya kita antara lain-lain mengadakan serikat-serikat
tani, sebagai nanti akan kita terangkan dibagian 8 dari ini risalah.
“Makan
jalan” ekspor setahun-tahunnya rata-rata f 1.500.000.000 rupiah! Tetapi
berapakah besarnya untung yang didapatnya dari penjualan barang yang sekian
milyun itu? Ondernemersraad, yakni serikatnya kaum modal sendiri, memberi jawab
sendiri yang terus terang diatas pertanyaan ini: setahun-tahunnya mereka
mendapat untung sebesar 9% sampai 10 % dari modal induknya, –didalam tahun 1924
sejumlah f 490.000.000, didalam tahun 1925 sejumlah f 540.000.000, didalam
setahun-tahunnya dus rata-rata f 515.000.000. untung bersih lima ratus
limabelas milyun rupiah setahun, dan ini adalah 9% sampai 10% dari mereka punya
modal induk! Menjadi dus mereka punya modal induk, yakni jumlahnya semua modal
yang ditanam di Indonesia, adalah : 100/9 x f 515.000.000 = f 5.722.000.000,
atau hampir f 6.000.000.000! amboi, semua angka-angka hanya milyunan saja,
tidak ada yang ribuan, ya, tidak ada yang ketian atau laksaan! Jumlah modal:
enam ribu miyun, jumlah harganya barang yang saban tahun diangkuti keluar pasar
dunia: seribu lima ratus milyun, jumlah untung bersih saban tahun: lima ratus
limabelas milyun!
Sedang
bagi Marhaen, yang membanting tulang dan berkeluh-kesah mandi keringat bekerja
membikin untung sebesar itu, rata-rata didalam jaman “normal” tak lebih dari
delapan sen seorang sehari…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar