Indonesia Merdeka
suatu Jembatan
Bentukan
alias konstruksi! Bentukan yang pertama ialah, sebagai sudah saya kemukakan,
bahwa maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan sempurna,
yang tidak ada penindasan dan penghisapan, yang tidak ada kapitalisme dan
imperialisme. Kita bergerak,–begitulah tadi juga sudah saya katakan–, tidak
karena “ideal” yang ngalaman, tetapi karena kita ingin perbaikan nasib. Kita
bergerak karena kita tidak sudi kepada sistem kapitalisme dan imperialisme,
yang membikin kita papa dan membikin segundukan manusia tenggelam dalam
kekayaan dan harta, dan karena kita ingin sama-rata merasakan lezatnya buah-buah
dari kita punya masyarakat sendiri. Kita, oleh karenanya, harus bergerak untuk
menggugurkan sistem kapitalisme dan imperialisme!
Dan
syarat yang pertama untuk menggugurkan sistem kapitalisme dan imperialisme?
Syarat yang pertama ialah: kita harus merdeka. Kita harus merdeka agar supaya
kita bisa leluasa bercancut-tali-wanda menggugurkan sistem kapitalisme dan
imperialisme. Kita harus merdeka, agar supaya kita bisa leluasa mendirikan
suatu masyarakat baru yang tiada kapitalisme dan imperialisme. Selama kita
belum merdeka, selama kita belum bisa leluasa menggerakkan kita punya badan,
kita punya tangan, kita punya kaki, selama kita dus masih terhalang di dalam
segala kita punya gerak-bangkit,–tidak bisa “kiprah” sehebat-hebatnya–, selama
itu maka kita tidak bisa habis-habisan tenaga menghanjut sistem kapitalisme dan
imperialisme. Selama itu maka kapitalisme dan imperialisme akan tetap sebagai
raksasa yang maha sakti bertakhta di atas singgasana kerezekian Indonesia,
tidak bisa digugurkan daripada singgasana itu hingga mati menggigit debu.
Dapatkah Ramawidjaya mengalahkan Rahwana Dasamuka, jikalau Ramawijaya itu
misalnya terikat kaki dan tangannya, tak dapat mementangkan ia punya jemparing
dan tak dapat melepaskan ia punya senjata?
Rakyat
yang tidak merdeka adalah Rakyat yang sesungguh-sungguhnya tidak-merdeka.
Segala gerak-bangkitnya adalah tidak-merdeka. Segala kemauannya, segala
fikirannya, ya segala rohnya dan nyawanya adalah tidak-merdeka. Mau ini tidak
leluasa, mau itu tidak leluasa. Mau ini tada ranjau, mau itu ada jurang. Mau
mengeluarkan kritik, ada artikel 154 sampai 157 dari buku hukum siksa: mau
menganjurkan kemerdekaan, ada artikel 153 bis ter; mau menggerakkan kaum buruh,
terancam artikel 161 bis; mau mengadakan aksi radikal, gampang dicap “berbahaya
bagi keamanan umum”; mau memajukan perniagaan ada rintangan bea, mau memajukan
sosial ada macam-macam “syaratnya”,–pendek-kata: mau ini ada duri, mau itu ada
paku.
Oleh
karena itu, maka kemerdekaan adalah syarat yang aha penting untuk menghilangkan
kapitalisme dan imperialisme, syarat yang penting untuk mendirikanmasyarakat
yang sempurna. Gedung Indonesia Sempurna, di mana semua Rakyat jelata bisa
bernaung dan menyimpan dan memakan segala buah-buah kerezekian dan kekulturan
sendiri, di mana tidak ada kepapa-sengsaraan pada satu pihak dan
keraja-beranaan pada lain pihak, Gedung Indonesia Sempurna itu hanyalah bisa
didirikan di atas buminya Indonesia yang Merdeka. Gedung Indonesia Sempurna itu
hanyalah bisa didirikan jikalau pandemen-pandemennya tertanam di dalam tanahnya
Indonesia yang Merdeka.
Kita harus merdeka, agar supaya kita bisa
leluasa mendirikan suatu masyarakat baru yang tiada kapitalisme dan
imperialisme.
Tetapi,
… Gedung Indonesia Sempurna itu juga hanyalah bisa didirikan oleh Marhaen
Indonesia, bilaman Marhaen adalah leluasa mendirikannya,–tidak terikat oleh
ini, tidak terikat oleh itu,–yakni bilamana Marhaen, dan tidak pihak lain,
mempunyai kemerdekaan gerak-bangkit yang tak terhalang-halang. Oleh karena itu,
maka Marhaen tidak saja harus mengikhtiarkan Indonesia Merdeka, tidak saja
harus mengikhtiarkan kemerdekaan-nasional, tetapi juga haurs menjaga yang di
dalam kemerdekaan-nasional itu kaum Marhaenlah yang memegang kekuasaan,–dan
bukan kaum borjuis Indonesia, bukan kaum ningrat Indonesia, bukan kaum
musuh-Marhaen bangsa Indonesia yang lain-lain. Kaum Marhaenlah yang di dalam
Indonesia Merdeka itu harus memegang teguh-teguh politieke macht, jangan sampai
bisa dierebut oleh lain-lain golongan bangsa Indonesia yang musuh kaum Marhaen.
Lihatlah
ke negeri Belanda, lihatlah ke negeri Prancis. Lihatlah ke negeri Jerman,
Inggris, Amerika, Italia dan lain-lain. Semua negeri-negeri itu adalah negeri
yang merdeka semua negeri-negeri itu adalah berkemerdekaan nasional. Semua
negeri-negeri itu adalah bebas dari pemerintahan asing. Tetapi tidakkah kaum
Marhaen di negeri-negeri itu berat sekali perjuangannya ingin menggugurkan
kapitalisme, tidakkah kaum Marhaen di negeri-negeri itu maha-sukar sekali
usahanya mendongkel akar-akarnya kapitalisme,–tidakkkah kaum Marhaen di situ
sudah hampir satu abad boleh dikatakan bsia-sia bermandi keringat, ya,
kadang-kadang bermandi darah, ingin menjebol kapitalisme yang menyengsarakan
mereka? Tidakkah kaum Marhaen di situ sampai kini masih bongkok, punggungnya
diduduki oleh kapitalisme yang megingkel-ingkel mereka, mengentrog-entrog
mereka, memperbudakkan mereka,–memperbinatangkan mereka sampai ke
dasar-dasarnya neraka kesengsaraan dan neraka-kelaparan?
Apakah
sebabnya begitu? Sebabnya ialah, bahwa kaum Marhaen di negeri-neeri itu sampai
kini belum memegang politieke macht, belum memegang kekuasaan negeri, belum
memegang kekuasaan pemerintahan. Politieke macht sampai kini adalah di dalam
tangannya kaum kapitalisme sendiri, di dalam tangannya kaum borjuis sendiri, di
dalam tangannya justru itu kaum yang menjadi tulang punggungnya sistem yang
mereka lawan itu. Segenap aparatnya politieke macht itu adalah dipakai
senjata oleh kaum borjuis untuk memagari sistem kapitalisme dan untuk
menghantam aksinya kaum Marhaen yang mau meruntuhkan kapitalisme. Banjirnya
pergerakan kaum Marhaen itu saban-saban menjadi uablah samasekali karena
panasnya angin-simum yang keluar dari politieke machtnya kaum borjuis. Maka
oleh karena itulah, semboyan pergerakan radikal daripada kaum Marhaen di negeri-negeri
itu kini adalah: “naar de politieke macht!”, “ke arah kekuasaan-pemerinahan!”
Kekuasaan-pemerintahan itulah yang kini lebih dulu mereka kejar, kekuasaan
pemerintahan itulah yang kini lebih dulu mau mereka rebut dari tangannya kaum
borjuis. Dengan kekuasaan pemerintahan di dalam tangan sendiri, dengan senjata
pamungkas di dalam tangan sendiri, maka kaum MarhaenEropa akan gampang
membinasakan stelsel kapitalisme, memelantingkan kapitalisme dari pundaknya
yang telah berabad-abad diperkudakan itu. Kaum borjuis yang tangannya
hampa,–yang politieke machtnya direbut oleh kaum Marhaen Eropa–, kaum borjuis
yang demikian itu akan menjadi seperti singa yang hilang giginya dan hilang
kukunya, hilang guruhnya dan hilang perbawanya, hilang tenaganya dan hilang kuasanya,
lemah, lemas, dan mati semua kutu-kutunya,–tak kuasa sedikit juapun melindungi
dan mempertahankan stelsel kapitalisme yang mereka sembah dan mereka puja!
Nah,
kaum Marhaen Indonesia pun, oleh karenanya, harus insyaf, bahwa mereka punya
perjuangan akan tak perlu mereka perpanjangkan, kalau pada saat datangnya
Indonesia Merdeka itu politieke macht jatuh ke dalam tangannya kaum borjuis
atau kaum ningrat Indonesia. Kaum Marhaen Indonesia pun harus insyaf, bahwa
mereka baru bisa segera menjatuhkan stelsel kapitalisme dan imperialisme, hanya
jikalau pada saat berkibarnya bendera kemerdekaan nasional, merekalah yang
menerima warisan politieke macht dari overheersing asing. Kaum Marhaen
Indonesia pun dus harus menjaga, jangan sampai politieke macht itu jatuh ke
dalam tangannya ihak borjuis dan ningrat Indonesia.
Menjadi:
mereka harus membanting-tulang mendatangkan kemerdekaan-nasional, membanting
tulang menjelmakan kemerdekaan negeri Indonesia, tetapi dalam pada membanting
tulang mendatangkan kemerdekaan negeri Indonesia itu, mereka harus awas dan
sekali lagi awas, jangan sampai gedung yang mereka dirikan itu kaum borjuis
atau ningratlah yang memasukinya. Dalam pada berjuang habis-habisan
mendatangkan Indonesia Merdeka itu, kaum Marhaen harus menjaga, jangan samapi
nanti mereka yang “kena getah”, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang “memakan
nangkanya”.
O,
memang, pekerjaan berat mendatangkan Indonesia Merdeka buat sebagian besar
hanya kaum Marhaenlah yang bisa melaksanakan, pekerjaan berat itu buat sebagian
besar hanya kaum Rakyat jelatalah yang bisa menyelesaikan. Pekerjaan berat itu
memang adalah mereka punya “riwayat-pekerjaan”, mereka punya
“riwayat-kewajiban”, mereka punya “riwayat -bagian”. Pekerjaan berat itu memang
mereka punya “historische taak”. Memang di atas sudah saya katakan, bahwa semua
perubahan-perubahan besar di dalam riwayat dunia yang akhir-akhir ini adalah
dihantarkan oleh massa-aksi, diparadjikan oleh massa-aksi,-artinya:
diparadjikan oleh aksinya Rakyat jelata yang berkobar-kobaran semangat
menyundul langit. Tetapi riwayat dunia pun telah memberi
contoh-contoh,–misalnya di negeri Prancis,–bahwa Rakyat jelata itu, karena
kurang awasnya, kurang bewust, kurang pimpinannya suatu partai Rakyat jelata
yang sejati, akhirnya kecele menjadi “pengupas nangka” belaka, “yang kena
getah, tetapi tidak merasakan nangkanya”. Moga-moga Rakyat jelata Indonesia
jangan sampai menambah contoh-contohnya riwayat dunia itu dengan satu contoh
lagi yang baru! Moga-moga Rakyat jelata Indonesia dus selamanya awas, dan
sekali lagi awas!
Klassenstrijd?
Adakah dus saya kini mengutamakan klassenstrijd? Saya belum mengutamakan
klassentrijd antara bangsa Indonesia dengan bangsa Indonesia, walaupun
tiap-tiap nafsu kemodalan di kalangan bangsa sendiri kini sudah saya musuhi. Saya
seorang nasionalis, yang selamanya buat mencapai Indonesia Merdeka memusatkan
perjuangan kita di dalam perjuangan nasional. Saya selamanya menganjurkan,
supaya semua tenaga nasional yang bisa dipaai menghantam musuh untuk
mendatangkan kemerdekaan nasional itu, haruslah dihantamkan pula. “De sociale
tegenstellingen worden in onvrije landen in nationale vormen uitgevochten”,
“pertentangan sosial di negeri-negeri yang tak merdeka diperjuangkan secara
nasional”, begitulah juga Henriette Roland Holst berkata. Tetapi
kemerdekaan-nasional hanyalah suatu jembatan, suatu syarat, suatu strijdmoment.
Di belakang Indonesia Merdeka itu kita kaum Marhaen masih harus mendirikan kita
punya gedung Keselamatan, bebas dari tiap-tiap macam kapitalisme. Oleh karena
itu, maka apa yang saya tuliskan di atas, adalah berarti menganjurkan supaya
Marhaen awas. Saya menganjurkan jangan sampai Marhaen nanti menjadi “pengupas
nangka”, yang hanya mendapat bagian getahnya saja. Saya menganjurkan supaya
buah politieke macht, yang nanti oleh Marhaen dipegangnya dan dimakannya. Saya
seorang nasionalis, tetapi seorang nasionalis Marhaen, yang hidup dengan kaum
Marhaen, mati dengan Marhaen.
Nah,
saya dus bisa menutup bagian 6 dari tulisan ini dengan mengulangi apa sarinya.
Mengulangi:
Bahwa
pertama tujuannya pergerakan Marhaen haruslah suatu masyarakat zonder
kapitalisme dan imperialisme,
Bahwa
kedua jembatan kearah masyarakat itu adalah kemerdekaan negeri Indonesia.
Bahwa
ketiga Marhaen harus menjaga, yang di dalam Indonesia Merdeka itu Marhaenlah
yang menggenggam politieke macht, menggenggam kekuasan kekuasaan-pemerintahan.
Inilah
bentukan-bentukan dari kita punya pergerakan, yang harus sangat kita
perhatikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar