Minggu, 20 Mei 2012

MENCAPAI INDONESIA MERDEKA OLEH BUNG KARNO (6)


Indonesia Merdeka suatu Jembatan
Bentukan alias konstruksi! Bentukan yang pertama ialah, sebagai sudah saya kemukakan, bahwa maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan sempurna, yang tidak ada penindasan dan penghisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Kita bergerak,–begitulah tadi juga sudah saya katakan–, tidak karena “ideal” yang ngalaman, tetapi karena kita ingin perbaikan nasib. Kita bergerak karena kita tidak sudi kepada sistem kapitalisme dan imperialisme, yang membikin kita papa dan membikin segundukan manusia tenggelam dalam kekayaan dan harta, dan karena kita ingin sama-rata merasakan lezatnya buah-buah dari kita punya masyarakat sendiri. Kita, oleh karenanya, harus bergerak untuk menggugurkan sistem kapitalisme dan imperialisme!
Dan syarat yang pertama untuk menggugurkan sistem kapitalisme dan imperialisme? Syarat yang pertama ialah: kita harus merdeka. Kita harus merdeka agar supaya kita bisa leluasa bercancut-tali-wanda menggugurkan sistem kapitalisme dan imperialisme. Kita harus merdeka, agar supaya kita bisa leluasa mendirikan suatu masyarakat baru yang tiada kapitalisme dan imperialisme. Selama kita belum merdeka, selama kita belum bisa leluasa menggerakkan kita punya badan, kita punya tangan, kita punya kaki, selama kita dus masih terhalang di dalam segala kita punya gerak-bangkit,–tidak bisa “kiprah” sehebat-hebatnya–, selama itu maka kita tidak bisa habis-habisan tenaga menghanjut sistem kapitalisme dan imperialisme. Selama itu maka kapitalisme dan imperialisme akan tetap sebagai raksasa yang maha sakti bertakhta di atas singgasana kerezekian Indonesia, tidak bisa digugurkan daripada singgasana itu hingga mati menggigit debu. Dapatkah Ramawidjaya mengalahkan Rahwana Dasamuka, jikalau Ramawijaya itu misalnya terikat kaki dan tangannya, tak dapat mementangkan ia punya jemparing dan tak dapat melepaskan ia punya senjata?
Rakyat yang tidak merdeka adalah Rakyat yang sesungguh-sungguhnya tidak-merdeka. Segala gerak-bangkitnya adalah tidak-merdeka. Segala kemauannya, segala fikirannya, ya segala rohnya dan nyawanya adalah tidak-merdeka. Mau ini tidak leluasa, mau itu tidak leluasa. Mau ini tada ranjau, mau itu ada jurang. Mau mengeluarkan kritik, ada artikel 154 sampai 157 dari buku hukum siksa: mau menganjurkan kemerdekaan, ada artikel 153 bis ter; mau menggerakkan kaum buruh, terancam artikel 161 bis; mau mengadakan aksi radikal, gampang dicap “berbahaya bagi keamanan umum”; mau memajukan perniagaan ada rintangan bea, mau memajukan sosial ada macam-macam “syaratnya”,–pendek-kata: mau ini ada duri, mau itu ada paku.
Oleh karena itu, maka kemerdekaan adalah syarat yang aha penting untuk menghilangkan kapitalisme dan imperialisme, syarat yang penting untuk mendirikanmasyarakat yang sempurna. Gedung Indonesia Sempurna, di mana semua Rakyat jelata bisa bernaung dan menyimpan dan memakan segala buah-buah kerezekian dan kekulturan sendiri, di mana tidak ada kepapa-sengsaraan pada satu pihak dan keraja-beranaan pada lain pihak, Gedung Indonesia Sempurna itu hanyalah bisa didirikan di atas buminya Indonesia yang Merdeka. Gedung Indonesia Sempurna itu hanyalah bisa didirikan jikalau pandemen-pandemennya tertanam di dalam tanahnya Indonesia yang Merdeka.
Kita harus merdeka, agar supaya kita bisa leluasa mendirikan suatu masyarakat baru yang tiada kapitalisme dan imperialisme.
Tetapi, … Gedung Indonesia Sempurna itu juga hanyalah bisa didirikan oleh Marhaen Indonesia, bilaman Marhaen adalah leluasa mendirikannya,–tidak terikat oleh ini, tidak terikat oleh itu,–yakni bilamana Marhaen, dan tidak pihak lain, mempunyai kemerdekaan gerak-bangkit yang tak terhalang-halang. Oleh karena itu, maka Marhaen tidak saja harus mengikhtiarkan Indonesia Merdeka, tidak saja harus mengikhtiarkan kemerdekaan-nasional, tetapi juga haurs menjaga yang di dalam kemerdekaan-nasional itu kaum Marhaenlah yang memegang kekuasaan,–dan bukan kaum borjuis Indonesia, bukan kaum ningrat Indonesia, bukan kaum musuh-Marhaen bangsa Indonesia yang lain-lain. Kaum Marhaenlah yang di dalam Indonesia Merdeka itu harus memegang teguh-teguh politieke macht, jangan sampai bisa dierebut oleh lain-lain golongan bangsa Indonesia yang musuh kaum Marhaen.
Lihatlah ke negeri Belanda, lihatlah ke negeri Prancis. Lihatlah ke negeri Jerman, Inggris, Amerika, Italia dan lain-lain. Semua negeri-negeri itu adalah negeri yang merdeka semua negeri-negeri itu adalah berkemerdekaan nasional. Semua negeri-negeri itu adalah bebas dari pemerintahan asing. Tetapi tidakkah kaum Marhaen di negeri-negeri itu berat sekali perjuangannya ingin menggugurkan kapitalisme, tidakkah kaum Marhaen di negeri-negeri itu maha-sukar sekali usahanya mendongkel akar-akarnya kapitalisme,–tidakkkah kaum Marhaen di situ sudah hampir satu abad boleh dikatakan bsia-sia bermandi keringat, ya, kadang-kadang bermandi darah, ingin menjebol kapitalisme yang menyengsarakan mereka? Tidakkah kaum Marhaen di situ sampai kini masih bongkok, punggungnya diduduki oleh kapitalisme yang megingkel-ingkel mereka, mengentrog-entrog mereka, memperbudakkan mereka,–memperbinatangkan mereka sampai ke dasar-dasarnya neraka kesengsaraan dan neraka-kelaparan?
Apakah sebabnya begitu? Sebabnya ialah, bahwa kaum Marhaen di negeri-neeri itu sampai kini belum memegang politieke macht, belum memegang kekuasaan negeri, belum memegang kekuasaan pemerintahan. Politieke macht sampai kini adalah di dalam tangannya kaum kapitalisme sendiri, di dalam tangannya kaum borjuis sendiri, di dalam tangannya justru itu kaum yang menjadi tulang punggungnya sistem yang mereka lawan itu.  Segenap aparatnya politieke macht itu adalah dipakai senjata oleh kaum borjuis untuk memagari sistem kapitalisme dan untuk menghantam aksinya kaum Marhaen yang mau meruntuhkan kapitalisme. Banjirnya pergerakan kaum Marhaen itu saban-saban menjadi uablah samasekali karena panasnya angin-simum yang keluar dari politieke machtnya kaum borjuis. Maka oleh karena itulah, semboyan pergerakan radikal daripada kaum Marhaen di negeri-negeri itu kini adalah: “naar de politieke macht!”, “ke arah kekuasaan-pemerinahan!” Kekuasaan-pemerintahan itulah yang kini lebih dulu mereka kejar, kekuasaan pemerintahan itulah yang kini lebih dulu mau mereka rebut dari tangannya kaum borjuis. Dengan kekuasaan pemerintahan di dalam tangan sendiri, dengan senjata pamungkas di dalam tangan sendiri, maka kaum MarhaenEropa akan gampang membinasakan stelsel kapitalisme, memelantingkan kapitalisme dari pundaknya yang telah berabad-abad diperkudakan itu. Kaum borjuis yang tangannya hampa,–yang politieke machtnya direbut oleh kaum Marhaen Eropa–, kaum borjuis yang demikian itu akan menjadi seperti singa yang hilang giginya dan hilang kukunya, hilang guruhnya dan hilang perbawanya, hilang tenaganya dan hilang kuasanya, lemah, lemas, dan mati semua kutu-kutunya,–tak kuasa sedikit juapun melindungi dan mempertahankan stelsel kapitalisme yang mereka sembah dan mereka puja!
Nah, kaum Marhaen Indonesia pun, oleh karenanya, harus insyaf, bahwa mereka punya perjuangan akan tak perlu mereka perpanjangkan, kalau pada saat datangnya Indonesia Merdeka itu politieke macht jatuh ke dalam tangannya kaum borjuis atau kaum ningrat Indonesia. Kaum Marhaen Indonesia pun harus insyaf, bahwa mereka baru bisa segera menjatuhkan stelsel kapitalisme dan imperialisme, hanya jikalau pada saat berkibarnya bendera kemerdekaan nasional, merekalah yang menerima warisan politieke macht dari overheersing asing. Kaum Marhaen Indonesia pun dus harus menjaga, jangan sampai politieke macht itu jatuh ke dalam tangannya ihak borjuis dan ningrat Indonesia.
Menjadi: mereka harus membanting-tulang mendatangkan kemerdekaan-nasional, membanting tulang menjelmakan kemerdekaan negeri Indonesia, tetapi dalam pada membanting tulang mendatangkan kemerdekaan negeri Indonesia itu, mereka harus awas dan sekali lagi awas, jangan sampai gedung yang mereka dirikan itu kaum borjuis atau ningratlah yang memasukinya. Dalam pada berjuang habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka itu, kaum Marhaen harus menjaga, jangan samapi nanti mereka yang “kena getah”, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang “memakan nangkanya”.
O, memang, pekerjaan berat mendatangkan Indonesia Merdeka buat sebagian besar hanya kaum Marhaenlah yang bisa melaksanakan, pekerjaan berat itu buat sebagian besar hanya kaum Rakyat jelatalah yang bisa menyelesaikan. Pekerjaan berat itu memang adalah mereka punya “riwayat-pekerjaan”, mereka punya “riwayat-kewajiban”, mereka punya “riwayat -bagian”. Pekerjaan berat itu memang mereka punya “historische taak”. Memang di atas sudah saya katakan, bahwa semua perubahan-perubahan besar di dalam riwayat dunia yang akhir-akhir ini adalah dihantarkan oleh massa-aksi, diparadjikan oleh massa-aksi,-artinya: diparadjikan oleh aksinya Rakyat jelata yang berkobar-kobaran semangat menyundul langit. Tetapi riwayat dunia pun telah memberi contoh-contoh,–misalnya di negeri Prancis,–bahwa Rakyat jelata itu, karena kurang awasnya, kurang bewust, kurang pimpinannya suatu partai Rakyat jelata yang sejati, akhirnya kecele menjadi “pengupas nangka” belaka, “yang kena getah, tetapi tidak merasakan nangkanya”. Moga-moga Rakyat jelata Indonesia jangan sampai menambah contoh-contohnya riwayat dunia itu dengan satu contoh lagi yang baru! Moga-moga Rakyat jelata Indonesia dus selamanya awas, dan sekali lagi awas!
Klassenstrijd? Adakah dus saya kini mengutamakan klassenstrijd? Saya belum mengutamakan klassentrijd antara bangsa Indonesia dengan bangsa Indonesia, walaupun tiap-tiap nafsu kemodalan di kalangan bangsa sendiri kini sudah saya musuhi. Saya seorang nasionalis, yang selamanya buat mencapai Indonesia Merdeka memusatkan perjuangan kita di dalam perjuangan nasional. Saya selamanya menganjurkan, supaya semua tenaga nasional yang bisa dipaai menghantam musuh untuk mendatangkan kemerdekaan nasional itu, haruslah dihantamkan pula. “De sociale tegenstellingen worden in onvrije landen in nationale vormen uitgevochten”, “pertentangan sosial di negeri-negeri yang tak merdeka diperjuangkan secara nasional”, begitulah juga Henriette Roland Holst berkata. Tetapi kemerdekaan-nasional hanyalah suatu jembatan, suatu syarat, suatu strijdmoment. Di belakang Indonesia Merdeka itu kita kaum Marhaen masih harus mendirikan kita punya gedung Keselamatan, bebas dari tiap-tiap macam kapitalisme. Oleh karena itu, maka apa yang saya tuliskan di atas, adalah berarti menganjurkan supaya Marhaen awas. Saya menganjurkan jangan sampai Marhaen nanti menjadi “pengupas nangka”, yang hanya mendapat bagian getahnya saja. Saya menganjurkan supaya buah politieke macht, yang nanti oleh Marhaen dipegangnya dan dimakannya. Saya seorang nasionalis, tetapi seorang nasionalis Marhaen, yang hidup dengan kaum Marhaen, mati dengan Marhaen.
Nah, saya dus bisa menutup bagian 6 dari tulisan ini dengan mengulangi apa sarinya. Mengulangi:
Bahwa pertama tujuannya pergerakan Marhaen haruslah suatu masyarakat zonder kapitalisme dan imperialisme,
Bahwa kedua jembatan kearah masyarakat itu adalah kemerdekaan negeri Indonesia.
Bahwa ketiga Marhaen harus menjaga, yang di dalam Indonesia Merdeka itu Marhaenlah yang menggenggam politieke macht, menggenggam kekuasan kekuasaan-pemerintahan.
Inilah bentukan-bentukan dari kita punya pergerakan, yang harus sangat kita perhatikan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar