Diseberangnya Jembatan Emas
Ya,
kaum reformis boleh terus mengejek dan menggerutu, sebagai kaum reformis India
dan menggerutu, tapi kemudian kedinginan didalam kabut-pengelamunannya, tatkala
Jawaharlal Nehru didalam National conggres yang ke 44 menjatuhkan vonis
maha-berat diatas pundak mereka dengan kata-kata : “Saya seorang nasionalis.
Tetapi saya juga seorang sosialis dan republikein.
Saya tidak percaya pada raja-raja dan ratu-ratu, tidak pun pada susunan
masyarakat yang mengadakan raja-raja-industri yang berkuasa lebih lebih besar
lagi dari raja-raja dizaman sediakala !…Saya seorang nasionalis, tetapi
nasinalisme saya adalah nasionalisme radikal daripada simelarat dan silapar, yang
bersumpah membongkar susunan masyarakat yang menolak padanya sesuap nasi !”
Memang tiap-tiap orang, didalam abad keduapuluh ini masih berani
bernasionalisme ngelamun-ngelamunan dan takut akan nasionalisme-radikalisme
yang mentah-mentahan, akhirnya akan kedinginan tertinggal oleh hangatnya proses
natuurnya abad
keduapuluh bukanlah pengelamunan yang manis sebagai dizaman wayang-wayangan,–natuurnya abad keduapuluh
adalah rebutan hidup yang mentah-mentahan. Memang Marhaen bergerak,–begitulah
diatas telah saya kemukakan–, tidak karena “ideal-idealan”, tidak karena
“cita-citaan”, Marhaen bergerak ialah tak lain tak bukan buat mencari hidup dan
mendirikan hidup. Hidup kerezekian, hidup kesosialan, hidup kepolitikan, hidup
kekulturan, hidup keagamaan,–pendek-kata hidup kemanusiaan yang leluasa dan
sempurna, hidup-kemanusiaan yang secara manusia dan selayak manusia.
Adakah
Indonesia-Merdeka bagi Marhaen menentukan hidup-kemanusiaan yang demikian itu ?
Indonesia-Merdeka sebagai saya katakan diatas adalah menjanjikan tetapi belum
pasti menentukan bagi Marhaen hidup kemanusiaan yang demikian itu. Perjanjian
itu barulah menjadi ketentuan, kalau Marhaen mulai sekarang sudah awas dan
waspada, sedar dan prayitna, menjaga, menjaga pergerakannya dan
menjaring-jaring maksud-maksud pergerakannya itu jangan sampai kemasukan
zat-zat yang sebenarnya racun bagi Marhaen dan merusak pada Marhaen. Perjanjian
itu barulah menjadi ketentuan, kalau Marhaen sedari sekarang sudah
insyaf-seinsyafnya bahwa Indonesia-Marhaen hanyalah suatu jembatan,—sekalipun
jembatan emas ! —yang harus dilalui dengan segala keawasan dan keprihatinan,
jangan sampai diatas jembatan itu Kereta-Kemenangan dikusiri oleh orang lain
selainnya Marhaen. Sekarang jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke Dunia
Keselamatan Marhaen, satu kedunia kesengsaraan Marhaen; satu kedunia
sama-rata-sama-rasa, satu kedunia sama-ratap-sama-tangis. Jikalah Marhaen,
bilamana Kereta itu masuk keatas jalan yang kedua, menuju kealamnya modal
Indonesia dan keborjuisan Indonesia ! Oleh karena itu, Marhaen, awaslah awas !
Jagalah yang Kereta Kemenangan nanti tetap didalam kendalian kamu, jagalah yang
politieke macht
nanti jatuh didalam tangan kamu, didalam tangan besi kamu, tangan baja kamu !
Kamu
sekarang mendengar dari kanan-kiri semboyan kerakyatan. Kaum radikal
bersemboyan kerakyatan, kaum reformis bersemboyan kerakyatan, kaum banji
bersemboyan kerakyatan, ya kaum borjuis dan ningrat pun bersemboyan kerakyatan.
Kamu sering mendengar semboyan demokrasi, apakah satu-satunya demokrasi yang bagi
Marhaen dan dari Marhaen ? Apakah satu-satunya demokrasi yang oleh
partai-pelopor harus dituliskan dengan aksara-aksara api diatas benderanya,
sehingga terang bisa terbaca disaat terang, dan lebih terang lagi disaat
rintang-rintangan yang gelap gulita ? Didalam revolusi Perancis-pun orang
berteriak-teriak demokrasi, berpekik dan bersemboyan demokrasi,
bergembar-gembor dan bersumpah demokrasi, tetapi adakah Marhaen Perancis yang
ikut-ikut berteriak demokrasi dan membeli dengan darahnya kedatangan demokrasi
itu, akhirnya mendapat demokrasi yang sebenar-benarnya,—tidakkah Marhaen
Perancis itu sendiri ditelan habis-habisan oleh demokrasi itu yang sampai
saban-saban menghantam anak-cucunya dan menelan turun-turunannya !
Ya,
marilah kita ingat akan pelajaran revolusi Perancis itu. Marilah ingat akan
bagaimana kadang-kadang palsunya semboyan demokrasi, yang tidak menolong
Rakyat-jelata bahkan sebaliknya mengorbankan Rakyat-jelata, membinasakan
Rakyat-jelata sebagaimana telah terjadi didalam revolusi Perancis itu. Marilah
kita awas, jangan sampai Rakyat-jelata Indonesia tertipu oleh semboyan
“demokrasi” sebagai Rakyat-jelata Perancis itu, yang akhirnya ternyata hanya
diperkuda belaka oleh kaum borjuis yang bergembar-gembor “demokrasi”,
—kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan—, tetapi sebenarnya hanya mencari
kekuasaan sendiri, keenakan sendiri, keuntungan sendiri ! Riwayatnya penipuan
Perancis ini ?
Saya seorang nasionalis, tetapi nasionalisme
saya adalah nasionalisme radikal daripada simelarat dan silapar, yang bersumpah
membongkar susunan masyarakat yang menolak padanya sesuap nasi! (Soekarno)
Sebelum
silamnya abad kedelapanbelas, maka negeri Perancis adalah negeri yang feodal
dengan cara-pemerintahan otokrasi : Kekuasaan pemerintahan adalah didalam
tangannya seorang-orang raja, yang tiap perkataannya menjadi wet, tiap pendapatnya
menjadi hukum, tiap titahnya menjadi nasib seluruh negeri. Ia memandang dirinya
sebagai wakil Allah didunia, memandang kekuasaan sebagai gantinya kekuasaan
Allah dimuka bumi, ia berkata bahwa sebenarnya “staat” tidak ada, —staat adalah dia sendiri.
Dan kekuasaan seorang-diri ini, yang Rakyat-jelata samasekali tidak mendapat
bagian seujung kukupan juga, kekuasaan ini ia bentengi dengan kesetiaannya kaum
ningrat dan kaum penghulu-agama, ia dibentengi dengan ketuhanannya kaum adel
dan kaum geetelijkheid.
Teguh maha-teguhlah tampaknya feodalisme ini ditengah-tengah lautan masyarakat
Eropa, berdiri seakan-akan batu-karang ditengah lautan itu lebih dari sepuluh
abad lamanya, sampai…..sampai pada waktu silamnya abad kedelapanbelas lautan
itu sekonyong-konyong bergelombang-gelombangan dan berarusan-arusanm
bergelombang membanting diatas karang itu dan memecah segala bagian-bagian dari
karang itu.
Apakah
yang telah terjadi ? Dari dalamnya dasar-dasarnya lautan masyarakat feodal itu
lambat-laun timbullah satu golongan-manusia baru, satu kelas baru, satu elemen
baru yang penghidupannya ialah dari mengusahakan tenaga orang lain: kelas baru
atau elemen baru daripada kaum borjuis. Mereka punya perusahaan, mereka punya
perniagaan, mereka punya pertukangan, mereka punya arti-ekonomi mulai timbul.
Tetapi tidak bisa subur perusahaan dan perniagaan ini dan pertukangan ini,
selama cara pemerintahan masih cara feodal, selama semua kekuasaan-pemerintahan
masih digenggam si-otokrat raja, —selam bukan kaum borjuis sendiri yang
mengemudi perahu pemerintahan. Sebab merekalah, hanya merekalah, dan bukan
kelas lain, —bukan kelas ningrat, bukan kelas penghulu-agama, bukan pun raja
sendiri—, hanyalah merekalah, yang lebih tahu mana hukum-hukum, mana
atura-aturan, mana cara-pemerintahan yang paling baik buat suburnya mereka
punya perusahaan dan mereka punya perniagaan. Oleh karena itu mereka lalu
bersedia-sedia merebut kekuasaan-pemerintahan dari tangan raja, menggugurkan stelsel feodalisme yang
menghalang-halangi suburnya mereka punya perusahaan dan perniagaan itu dari
singasananya yang ia duduki lebih dari sepuluh abad itu !
Tetapi,
ah, kaum borjuis tidak mempunyai kekuatan. Kaum borjuis tidak mempunyai cukup
kekuatan untuk menghancurkan sitinggilnya otokrasi yang dibentengi dengan
kekuasaannya kaum ningrat dan kaum penghulu-agama itu. Ha, jatulah mereka punya
mata pada Rakyat-jelata yang jutaan-jutaan itu. Sejak puluhan tahun kaum
borjuis itu memang saban-saban mendengar guruh pelan-pelan yang keluar dari
kalangan Rakyat-jelata itu, gemertaknya gigi Rakyat-jelata yang marah karena
nasib yang kelewat sengsara. Memang dizaman feodalisme itu Rakyat-jelata
ditindas habis-habisan, diperas semua kepunyaannya, dirampas semua hak-haknya
sehingga tinggal hak-menurut dan hak-mengambing belaka. Memang Rakyat-jelata
sudah lama sekali kesal akan nasib yang lebih jelek daripada nasib binatang
itu. Tidakkah gampang kalau kaum borjuis didalam usahanya merebut politieke macht daripada raja dan
ningrat, memakai tenaga Rakyat-jelata itu ? Toh, Rakyat-jelata tidak sadar, toh
Rakyat-jelata tidak bewust,
toh Rakyat-jelata tidak akan tahu-menahu bahwa ia hanya disuruh “mengupas
nangka” dan “kena getahnya” saja, —borjuis nanti yang “makan nangkanya” !
Dan
borjuis lalu menjalankan kecerdikan ini ! “Hiduplah demokrasi !”, “hiduplah
kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan !”, “hiduplah liberte, egalite dan fraternite !”,—semboyan
ini ia dengung-dengungkan sehingga memenuhi angkasa, semboyan-semboyan ini ia
kobarkan dikalangan Rakyat-jelata. Sebagai simum Rakyat-jelata lantas bergerak,
api-kehebatan pergerakannya sampai menjilat langi, bumi dan angkasa Perancis
gemetar dan pecah seakan-akan Krisna bertiwikrama. Lautan masyarakat Perancis
yang tenang berabad-abad kini menjadi bergelombang-gelombangan molak-malik,
—lautan mendidih yang hantam-hantamannya membikin remuknya batu-karang
feodalisme: Raja runtuh, kaum ningrat runtuh, kaum penghulu-agama runtuh,
otokrasi runtuh, diganti dengan cara-pemerintahan baru yang bernama demokrasi.
Dinegeri diadakan parlemen, Rakyat “boleh mengirim utusan-utusannya keparlemen
itu”, —diikuti oleh negeri-negeri Eropa Barat dan Amerika, yang semua kini juga
meniru bersistem “demokrasi”.
Ya,
Inggris kini punya parlemen, Jerman kini mempunyai parlemen, negeri Belanda
kini mempunyai parlemen, negeri Amerika, negeri Belgia, negeri Denmark, negeri
Swedia, negeri Swiss, —semua “negeri sopan” kini mempunyai parlemen, semua
“negeri sopan” kini bersistem “demokrasi”……..
Tetapi…….disemua
“negeri-negeri sopan” itu kini hidup dan subur dan merajalela hantu kapitalisme
! Disemua “negeri-negeri sopan” itu kini Rakyat-jelata tertindas hidupnya,
nasib Rakyat-jelata nasib kokoro, jumlahnya kaum penganggur yang kelaparan
melebihi bilangan manusia. Disemua “negeri-negeri sopan” itu Rakyat-jelata
tidak selamat, bahkan sengsara-keliwet-sengsara ! Inikah hasil “demokrasi” yang
mereka keramatkan itu ? Inikah “kerakyatan” dinegeri Perancis mereka beli
dengan ribuan mereka punya nyawa, dengan ribuan mereka punya bangkai, dengan
ribuan pula kepalanya raja dan kaum ningrat ?
Ah,
kaum borjuis ! Kaum borjuis telah menipu mereka, memperkudakan mereka, mengabui
mata mereka. Demokrasi yang mereka rebut dengan harga nyawa yang begitu mahal
itu, demokrasi itu bukanlah demokrasi kerakyatan yang sejati, melainkan suatu
demokrasi borjuis belaka, —suatu burgerlijke demokrasi yang untuk kaum borjuis
dan menguntungkan kaum borjuis belaka. Ah, parlemen ! Tiap-tiap kaum proletar
kini namanya bisa ikut memilih wakil dan ikut dipilih jadi wakil kedalam
parlemen itu, tiap-tiap kaum proletar kini namanya bisa “ikut memerintah”. Ya,
tiap-tiap kaum proletar kini namanya bisa mengusir minister-minister,
menjatuhkan minister-minister jatuh terpelanting dari kursinya. Tetapi pada saat
yang namanya bisa menjadi “raja” didalam parlemen itu, pada saat itu-juga ia
sendiri bisa diusir dari pekerjaan dimana ia bekerja menjadi buruh dengan
upah-kokoro, diusir dilemparkan diatas jalan-rajanya pengangguranm yang basah
karena air-mata bini dan anak-anak yang kelaparan ! Pada saat yang ia namanya
bisa menjadi “raja” didalam parlemen, pada saat itu-juga ia tak berkuasa
sedikit pun juga menuntut upah-perkulian yang agak pantas, tak berkuasa
sedikitpun menghalangi, yang stelsel
kapitalisme menelan segenap ia punya badan dan segenap ia punya nyawa !
Bahwasanya,
kaum Rakyat-jelata yang tadinya dipakai tenaga oleh kaum borjuis untuk merebut
“demokrasi”, tetapi yang kemudian ternyata kecele telah mendatangkan
demokrasinya kapitalisme, kaum Rakyat-jelata itu kini pantas berbalik menolak
demokrasi-palsu itu dengan perkataan-perkataan Jean Jaures, pemimpin kaum buruh
Perancis, yang berbunyi: “Kamu, kaum borjuis, kamu mendirikan republik, dan itu
adalah kehormatan yang besar. Kamu membikin republik teguh dan kuat, tak boleh
dirobah sedikitpun juga, tetapi justru karena itu kamu telah mengadakan
pertentangan antara susunan politik dan susunan ekonomi. Karena elgemeen kiesrecht, karena
pemilihan umum, kamu telah membikin semua penduduk bisa bersidang mengadakan rapat
yang seolah-olah rapat daripada raja-raja. Mereka punya kemauan adalah
sumbernya tiap wet,
tiap hukum, tiap pemerintahan; mereka mendataris, mereka melepas wetgever dan minister.
Tetapi pada saat yang siburuh menjadi tuan didalam urusan politik, pada saat
itu juga ia adalah budak-belian diatas lapangan ekonomi. Pada saat yang ia
menjatuhkan minister-minister, maka ia sendiri bisa diusir dari pekerjaan
zonder ketentuan sedikit juga pun apa yang esok harinya akan di makan.
Tenaga-kerjanya hanyalah suatu barang belian, yang bisa dibeli atau ditampik
semau-maunya kaum majikan. Ia bisa diusir dari bingikil, karena ia tak mempunya
hak ikut menentukan aturan-aturan-bingkil, yang sabar hari, zonder dia tapi
buat menindas dia, ditetapkan oleh kaum majikan menurut semau-maunya sendiri”……
Sekali
lagi: inikah “demokrasi” yang orang keramatkan itu ? Bolehkah ini demokrasi
menjadi impian kita ? Tidak, dan sekali tidak ! Ini tidak boleh menjadi
demokrasi yang harus kita ditiru, tidak boleh menjadi demokrasi yang dengan
aksara api yang harus dituliskan diatas bendera-bendera partai-pelopornya
massa-aksi Indonesia. Sebab “demokrasi” yang begitu hanyalah “demokrasi”
parlemen saja, “demokrasi” politik saja. Demokrasi-ekonomi, keRakyatan-ekonomi,
kesama-rasa-sama-rataan-ekonomi tidak ada, tidak adapun bau-baunya sedikit
juga.
Ya,
demokrasi politik itupun hanya bau-baunya saja! Bukan ? —Dinegeri-negeri
modenrn itu benar ada perlemen, benar ada “tempat perwakilan Rakyat”, benar
Rakyat namanya “boleh ikut memerintah”, tetapi ah, kaum borjuis lebih kaya
daripada Rakyat-jelata, mereka dengan harta-kekayaannya, dengan
surat-surat-kabarnya, dengan buku-bukunya, dengan madrasah-madrasahnya, dengan
propagandis-propagandisnya, dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat
kekuasaannya bisa mempengaruhi semua akal fikiran kaum pemilih, mempengaruhi
semua jalannya politik. Mereka misalnya membikin “kemerdekaan pers” bagi
Rakyat-jelata menjadi suatu omong kosong belaka, mereka menyulap “kemerdekaan
fikiran” bagi Rakyat-jelata menjadi suatu ikatan fikiran, mereka memperkosa
“kemerdekaan berserikat” menjadi kedustaan publik. Mereka punya kemauan menjadi
wet, mereka
punya politik menjadi politiknya staat
mereka punya perang menjadi peperangannya “negeri”. Oleh karena itu, benar
sekali perkataannya Caillaux, bahwa kini Eropa dan Amerika ada dibawah
kekuasaannya feodalisme baru: “Tetapi kini kekuasaan feodal itu tidak digengam
oleh kaum tanah sebagai sediakala, kini ia digenggam oleh
perserikatan-perserikatan industri yang selamanya bisa mendesakkan kemauannya
terhadap staat
“. Benar sekali juga perkataan de Brouckere, bahwa “demokrasi” sekarang itu
sebenarnya adalah suatu alat kapitalisme, suatu kapitalistische instelling, suatu kedok bagi dictatuur van het kapitalisme
! “demokrasi” yang yang demikian itu harus kita lemparkan samudra, —jauh dari
angan-angan dan keinginan massa !
Bagaimana
dan demokrasi yang harus dituliskankan diatas bendera kita, —yang harus kita
adakan diseberang jembatan-emas ? Demokrasi kita haruslah demokrasi baru, demokrasi
sejati, demokrasi yang sebenar-benarnya pemerintahan Rakyat. Bukan “demokrasi”
ala Eropa dan Amerika yang hanya suatu “potret dari pantatnya”
demokrasi-politik saja, bukan pun demokrasi yang memberi kekusaan 100% pada
Rakyat didalam urusan politik saja, tetapi suatu demokrasi politik dan ekonomi
yang memberi 100% kekhawatiran pada Rakyat-jelata didalam urusan politik dan
urusan ekonomi. Demokrasi politik dan ekonomi inilah satu-satunya demokrasi
yang boleh dituliskan diatas bendera partai, —ditulis dengan aksara-aksara-api
sebagai diatas saja katakan, agar supaya menyala-nyala tertampak dari ladang
dan sawah dan bingkil dan pabrik dimana Marhaen berkeluh-kesah mandi keringat
mencari sesuap nasi.
Dengan
demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi itu, maka nanti diseberangnya
jembatan-emas masyarakat Indonesia bisa diatur oleh Rakyat sendiri sampai
selamat, —dibikin menjadi suatu masyarakat yang tiada kapitalisme dan
imprealisme. Dengan demokrasi-politik dan ekonomi itu, maka nanti Marhaen bisa
mendirikan staat
Indonesia yang tulen staatnya
Rakyat, —suatu staat
yang segala urusannya politik dan ekonomi adalah oleh Rakyat, dengan Rakyat,
bagi Rakyat. Bukan sistem feodalisme, bukan sistem mengagungkan raja, bukan
sistem konstitusional monarchie
yang walau memakai parlemen toh masih memakai raja, bukan pun sistem republik
yang sebagai di Perancis-sekarang atau di Amerika-sekarang yang sebenarnya
suatu sistem-republik daripada “demokrasinya” kapitalisme, —tetapi sistem
politik-ekonomische republik yang segala-galanya tunduk kepada kekhawatiran
Rakyat. Urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerja, urusan seni,
urusan cultur, urusan apa saja dan terutama sekali ekonomi haruslah dibawah
kekhawatiran Rakyat itu: semua perusahaan-perusahaan-besar menjadi miliknya staat, —staatnya Rakyat, bukan staatnya borjuis atau
ningrat —, semua hasilhasil perusahaan-perusahaan itu bagi keperluan Rakyat,
semua pembahagian hasil itu dibawah pengawasan Rakyat. Tidak boleh ada satu
perusahaan lagi yang secara kapitalisme menggemukkan kantong seorang borjuis
ataupun menggemukkan kantong burgerlijke
staat, tetapi masyarakatnya politiek-economische
Republik Indonesia adalah gambarnya satu kerukunan Rakyat, satu
pekerjaan-bersama daripada Rakyat, satu kesama-rasa-sama-rataan daripada
Rakyat.
Inilah
demokrasi sejati yang kita cita-citakan, dan yang saya sebutkan dengan
nama-baru sosio-demokrasi. Inilah demokrasi-tulen yang hanya bisa timbul dari
nasionalisme Marhaen, dari nasionalisme yang didalam batinnya sudah mengandung
keRakyatan-tulen, yang anti tiap-tiap macam kapitalisme dan imprealisme
walaupun dari bangsa sendiri, yang penuh dengan rasa-keadilan dan rasa
kemanusiaan yang melonjak tiap-tiap sifat keborjuisan dan keningratan,
—nasionalisme keRakyatan yang saja sebutkan pula dengan nama-baru
sosio-nasionalisme. Hanya sosio-nasionalisme bisa melahirkan sosio-demokrasi,
nasionalisme lain tidak bisa dan tidak akan melahirkan sosio-demokrasi. Siapa
yang berkemak-kemik “sosio-demokrasi” tetapi dadanya masih berisi sifat-sifat
keborjuisannya atau keningratan walau sedikitpun juga, —ia adalah seorang
munafik yang bermuka dua !
Nasionalisme
partai-pelopor hanyalah boleh satu : sosio-nasionalisme, dan tidak lain !
Lemparkanlah jauh-jauh nasionalisme-keborjuisan dan nasionalisme-keningratan,
bantingkanlah menjadi debu nasionalisme-keborjuisan dan
nasionalisme-keningratan itu diatas siti buntalannya keRakyatan massa ! Pembaca
belum tahu nasionalisme-keborjuisan, belum mengerti nasionalisme-keningratan ?
Amboi, masih banyak sekali orang-orang diantara nasionalisten kita, yang saban
hari bercita-cita “menasionalismekan” negeri kita menjadi “negeri-besar”
seperti Jepang atau Amerika atau Inggris, kagum melihat armadanya yang ditakuti
dunia, kota-kotanya yang hebat, bank-banknya yang terbesar diseluruh dunia,
benderanya yang berkibar dimana-man, —kagum ini moga-moga negeri Indonesia
kelak juga menjadi “negeri-besar” semacam itu. Ah, ini kaum nasionalis-borjuis
! —Mereka tak terkena hati bahwa barang yang dinamakan hebat-hebat itu adalah
hasilnya kapitalisme, alat-alatnya kapitalisme, dan bahwa Rakyat-jelata
dinegeri-negeri yang disebutkan “negeri jempol” itu adalah tertindas dan
sengsara. Memang mereka punya nasionalisme bukanlah nasionalisme kemanusiaan,
bukan nasionalisme yang ingin keselamatan massa, mereka punya nasionalisme
adalah nasionalisme borjuis yang paling jauh hanya ingin Indonesia-Merdeka
saja, dan tidak mau berubah susunan masyarakat sesudah Indonesia-Merdeka.
Mereka bisa juga revolusioner, tetapi borjuis-revolusioner, tidak
Marhaenistis-revolusioner, tidak sosio-revolusioner[1] !
Dan
nasionalisme-kerakyatan ? Haha, itu juga masih banyak sekali pengikutnya.
Pengikut nasionalisme ini memang biasanya kaum ningrat, yang darahnya ningrat,
adatnya ningrat, hatinya ningrat, segala jasmani dan rohaninya ningrat. Mereka
masih dihidup didalam keadaan feodalisme, angler
didalam tradisi feodalisme, yang mereka menjadi “kepala-kepalanya” Rakyat, dan
mereka menjadi “pohon beringin” yang melindungi Rakyat. Mereka biasanya setia
sekali pada kaum pertuanm setia sekali pada kaum yang diatas, —oh, juga dizaman
feodalisme mereka setia-tuhu kepada Sang Nata—, tetapi ada diantara mereka yang
ngelamun Indonesia-Merdeka. Tapi menurut cita-citanya, didalam
Indonesia-Merdeka itu mereka-lah yang harus menjadi “kepala”, mereka-lah yang
tetap menjadi kaum memerintah, merekalah !, yang sejak zaman purbakala, sejak
feodalisme-Hindu dan sejak feodalisme ke-Islam-an toh sudah menjadi “pohon
beringin” yang melindungi kaum “kawulo”.
Awas,
kaum Marhaen, awas dengan nasionalisme-keborjuisan dan nasionalisme keningratan
itu ! Ikutilah hanya itu partai saja yang benderanya menyala-nyala dengan
semboyan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, teriakkanlah semboyan
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu dengan suara yang mendengung
menggetarkan langit, gemuruh sebagai guruhnya guntur. Dengungkanlah sampai
melintasi tanah-datar dan gunung dan samudra, bahwa Marhaen seberangnya
jembatan-emas akan mendirikan suatu masyarakat yang tiada keningratan dan tiada
keborjuisan, tiada kelas-kelasan dan tiada kapitalisme.
Dan
bukan saja mendengungkan suara ! Partai-pelopor dari kini mendidik massa itu
kedalam “prakteknya” sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme, “menyediakan”
massa untuk laksana janji sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme.
Partai-pelopor harus dari kini sudah menebar-nebarkan benih
kesama-rata-sama-rasaan didalam kalbunya massa, menebar-nebar-pula benih
“gotong royong” didalam hatinya massa, agar supaya massa yang berabad-abad kena
penyakit individualisme[2] itu, sudah
dari kini mulai menjadi “manusia baru” yang merasa dirinya “manusia masyarakat”
yang selamanya mementingkan keselamatan umum. Partai-pelopor harus mendidik
teorinya dan prakteknya “kemasyarakatan” itu dengan tak jemu-jemu menunjukkan
kejahatan individualisme, membongkar-bongkar kejahatannya kapitalisme,
menganjurkan dan memfi’ilkan pekerjaan bersama, mendirikan dan menjalankan
koperasi-koperasi yang radikal, mendirikan dan memperjuangkan vakbond-vakbond, dan
sarekat-sarekat-tani radikal, —terutama koperasi-radikal, vakbond-radikal,
sarekat-tani radikal !—, pendek-kata mulai sekarang dengan cara radikal menjelmakan
Insan-manusia-masyarakat didalam tiap-tiap perjuangan, didalam tiap-tiap
sepak-terjangnya, didalam tiap-tiap politiknya.
Strijdprogram dan staatprogram
partai-pelopor itu harus strij-program
dan staatprogram
Manusia-masyarakat, strijdprogram
dan staatprogram
itu haruslah suatu oorlogsverklaring
alias pertentangan perang kepada segala macam individualisme. Segala azasnya
partai, segala azas-perjuangannya partai, segala taktiknya partai, segala
perjuangannya partai, —perjuangan mendatangkan Indonesia-Merdeka, perjuangan
memberantas aturan-aturan yang jelek, perjuangan buat
perbaikan-perbaikan-ini-hari d.l.s. —, segala gerak-bangkit jasmani dan
rohaninya partai itu haruslah suatu hantaman kepada individualisme, suatu
malapetaka kepada individualisme, —untuk keprabotan Insan Manusia-masyarakat.
Bahagia
partai-pelopor yang demikian itu !
Bahagia
massa yang dipelopori partai yang demikian itu !
Hiduplah
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi !
Mencapai Indonesia Merdeka
Sekarang,
kampiun-kampiun kemerdekaan, majulah kemuka, susunlah pergerakanmu menurut
garis-garis yang saya guratkan didalam risalah ini. Hebatkanlah partainya
Marhaen, agar supaya menjadi partai-pelopornya massa. Hidupkanlah semua
semangat yang ada didalam dadamu, hebatkanlah semua kecakapan-mengorganisasi
yang ada didalam tubuhmu, hebatkanlah semua keberanian banteng yang ada didalam
nyawamu, tumpahkahlah semangat dan kecakapan-mengorganisasi dan
keberanian-banteng itu kedalam tubuhnya partai, tumpahkanlah kelaki-lakian itu
kedalam badannya massa, agar supaya massa seolah-olah ketitisan kembali oleh
segala kelaki-lakiannya dari zaman sediakala, ketitisan pula oleh kelaki-lakian
baru daripada moderne massa-aksi. Kamu kampiun-kampiunnya pena, gerakkanlah
penamu setajam ujungnya jemparingnya Rama, kamu kampiun-kampiun organisator,
susunlah bentengnya harapan Rakyat menjadi benteng yang menahan gempa, kamu
kampiun-kampiunnya mimbar, dengungkanlah suara-bantengmu hingga menggetarkan
udara.
Tumpahkanlah
segenap jiwa-ragamu kedalam partainya massa, tumpahkanlah segenap jasmani dan
rohanimu kedalam perjuangannya massa, tumpahkanlah nyawamu menjadi
api-kesadaran dan api-kemauan massa.
Hidupkanlah
massa-aksi, untuk mencapai Indonesia-Merdeka !
1)
[1] Buat
arti “revolusione” lihat saj punya pledoi
2)
[2]
Individualisme=perseorangan diri