Minggu, 20 Mei 2012

MENCAPAI INDONESIA MERDEKA OLEH BUNG KARNO (9)


Diseberangnya Jembatan Emas
Ya, kaum reformis boleh terus mengejek dan menggerutu, sebagai kaum reformis India dan menggerutu, tapi kemudian kedinginan didalam kabut-pengelamunannya, tatkala Jawaharlal Nehru didalam National conggres yang ke 44 menjatuhkan vonis maha-berat diatas pundak mereka dengan kata-kata : “Saya seorang nasionalis. Tetapi saya juga seorang sosialis dan republikein. Saya tidak percaya pada raja-raja dan ratu-ratu, tidak pun pada susunan masyarakat yang mengadakan raja-raja-industri yang berkuasa lebih lebih besar lagi dari raja-raja dizaman sediakala !…Saya seorang nasionalis, tetapi nasinalisme saya adalah nasionalisme radikal daripada simelarat dan silapar, yang bersumpah membongkar susunan masyarakat yang menolak padanya sesuap nasi !” Memang tiap-tiap orang, didalam abad keduapuluh ini masih berani bernasionalisme ngelamun-ngelamunan dan takut akan nasionalisme-radikalisme yang mentah-mentahan, akhirnya akan kedinginan tertinggal oleh hangatnya proses natuurnya abad keduapuluh bukanlah pengelamunan yang manis sebagai dizaman wayang-wayangan,–natuurnya abad keduapuluh adalah rebutan hidup yang mentah-mentahan. Memang Marhaen bergerak,–begitulah diatas telah saya kemukakan–, tidak karena “ideal-idealan”, tidak karena “cita-citaan”, Marhaen bergerak ialah tak lain tak bukan buat mencari hidup dan mendirikan hidup. Hidup kerezekian, hidup kesosialan, hidup kepolitikan, hidup kekulturan, hidup keagamaan,–pendek-kata hidup kemanusiaan yang leluasa dan sempurna, hidup-kemanusiaan yang secara manusia dan selayak manusia.
Adakah Indonesia-Merdeka bagi Marhaen menentukan hidup-kemanusiaan yang demikian itu ? Indonesia-Merdeka sebagai saya katakan diatas adalah menjanjikan tetapi belum pasti menentukan bagi Marhaen hidup kemanusiaan yang demikian itu. Perjanjian itu barulah menjadi ketentuan, kalau Marhaen mulai sekarang sudah awas dan waspada, sedar dan prayitna, menjaga, menjaga pergerakannya dan menjaring-jaring maksud-maksud pergerakannya itu jangan sampai kemasukan zat-zat yang sebenarnya racun bagi Marhaen dan merusak pada Marhaen. Perjanjian itu barulah menjadi ketentuan, kalau Marhaen sedari sekarang sudah insyaf-seinsyafnya bahwa Indonesia-Marhaen hanyalah suatu jembatan,—sekalipun jembatan emas ! —yang harus dilalui dengan segala keawasan dan keprihatinan, jangan sampai diatas jembatan itu Kereta-Kemenangan dikusiri oleh orang lain selainnya Marhaen. Sekarang jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke Dunia Keselamatan Marhaen, satu kedunia kesengsaraan Marhaen; satu kedunia sama-rata-sama-rasa, satu kedunia sama-ratap-sama-tangis. Jikalah Marhaen, bilamana Kereta itu masuk keatas jalan yang kedua, menuju kealamnya modal Indonesia dan keborjuisan Indonesia ! Oleh karena itu, Marhaen, awaslah awas ! Jagalah yang Kereta Kemenangan nanti tetap didalam kendalian kamu, jagalah yang politieke macht nanti jatuh didalam tangan kamu, didalam tangan besi kamu, tangan baja kamu !
Kamu sekarang mendengar dari kanan-kiri semboyan kerakyatan. Kaum radikal bersemboyan kerakyatan, kaum reformis bersemboyan kerakyatan, kaum banji bersemboyan kerakyatan, ya kaum borjuis dan ningrat pun bersemboyan kerakyatan. Kamu sering mendengar semboyan demokrasi, apakah satu-satunya demokrasi yang bagi Marhaen dan dari Marhaen ? Apakah satu-satunya demokrasi yang oleh partai-pelopor harus dituliskan dengan aksara-aksara api diatas benderanya, sehingga terang bisa terbaca disaat terang, dan lebih terang lagi disaat rintang-rintangan yang gelap gulita ? Didalam revolusi Perancis-pun orang berteriak-teriak demokrasi, berpekik dan bersemboyan demokrasi, bergembar-gembor dan bersumpah demokrasi, tetapi adakah Marhaen Perancis yang ikut-ikut berteriak demokrasi dan membeli dengan darahnya kedatangan demokrasi itu, akhirnya mendapat demokrasi yang sebenar-benarnya,—tidakkah Marhaen Perancis itu sendiri ditelan habis-habisan oleh demokrasi itu yang sampai saban-saban menghantam anak-cucunya dan menelan turun-turunannya !
Ya, marilah kita ingat akan pelajaran revolusi Perancis itu. Marilah ingat akan bagaimana kadang-kadang palsunya semboyan demokrasi, yang tidak menolong Rakyat-jelata bahkan sebaliknya mengorbankan Rakyat-jelata, membinasakan Rakyat-jelata sebagaimana telah terjadi didalam revolusi Perancis itu. Marilah kita awas, jangan sampai Rakyat-jelata Indonesia tertipu oleh semboyan “demokrasi” sebagai Rakyat-jelata Perancis itu, yang akhirnya ternyata hanya diperkuda belaka oleh kaum borjuis yang bergembar-gembor “demokrasi”, —kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan—, tetapi sebenarnya hanya mencari kekuasaan sendiri, keenakan sendiri, keuntungan sendiri ! Riwayatnya penipuan Perancis ini ?
Saya seorang nasionalis, tetapi nasionalisme saya adalah nasionalisme radikal daripada simelarat dan silapar, yang bersumpah membongkar susunan masyarakat yang menolak padanya sesuap nasi! (Soekarno)
Sebelum silamnya abad kedelapanbelas, maka negeri Perancis adalah negeri yang feodal dengan cara-pemerintahan otokrasi : Kekuasaan pemerintahan adalah didalam tangannya seorang-orang raja, yang tiap perkataannya menjadi wet, tiap pendapatnya menjadi hukum, tiap titahnya menjadi nasib seluruh negeri. Ia memandang dirinya sebagai wakil Allah didunia, memandang kekuasaan sebagai gantinya kekuasaan Allah dimuka bumi, ia berkata bahwa sebenarnya “staat” tidak ada, —staat adalah dia sendiri. Dan kekuasaan seorang-diri ini, yang Rakyat-jelata samasekali tidak mendapat bagian seujung kukupan juga, kekuasaan ini ia bentengi dengan kesetiaannya kaum ningrat dan kaum penghulu-agama, ia dibentengi dengan ketuhanannya kaum adel dan kaum geetelijkheid. Teguh maha-teguhlah tampaknya feodalisme ini ditengah-tengah lautan masyarakat Eropa, berdiri seakan-akan batu-karang ditengah lautan itu lebih dari sepuluh abad lamanya, sampai…..sampai pada waktu silamnya abad kedelapanbelas lautan itu sekonyong-konyong bergelombang-gelombangan dan berarusan-arusanm bergelombang membanting diatas karang itu dan memecah segala bagian-bagian dari karang itu.
Apakah yang telah terjadi ? Dari dalamnya dasar-dasarnya lautan masyarakat feodal itu lambat-laun timbullah satu golongan-manusia baru, satu kelas baru, satu elemen baru yang penghidupannya ialah dari mengusahakan tenaga orang lain: kelas baru atau elemen baru daripada kaum borjuis. Mereka punya perusahaan, mereka punya perniagaan, mereka punya pertukangan, mereka punya arti-ekonomi mulai timbul. Tetapi tidak bisa subur perusahaan dan perniagaan ini dan pertukangan ini, selama cara pemerintahan masih cara feodal, selama semua kekuasaan-pemerintahan masih digenggam si-otokrat raja, —selam bukan kaum borjuis sendiri yang mengemudi perahu pemerintahan. Sebab merekalah, hanya merekalah, dan bukan kelas lain, —bukan kelas ningrat, bukan kelas penghulu-agama, bukan pun raja sendiri—, hanyalah merekalah, yang lebih tahu mana hukum-hukum, mana atura-aturan, mana cara-pemerintahan yang paling baik buat suburnya mereka punya perusahaan dan mereka punya perniagaan. Oleh karena itu mereka lalu bersedia-sedia merebut kekuasaan-pemerintahan dari tangan raja, menggugurkan stelsel feodalisme yang menghalang-halangi suburnya mereka punya perusahaan dan perniagaan itu dari singasananya yang ia duduki lebih dari sepuluh abad itu !
Tetapi, ah, kaum borjuis tidak mempunyai kekuatan. Kaum borjuis tidak mempunyai cukup kekuatan untuk menghancurkan sitinggilnya otokrasi yang dibentengi dengan kekuasaannya kaum ningrat dan kaum penghulu-agama itu. Ha, jatulah mereka punya mata pada Rakyat-jelata yang jutaan-jutaan itu. Sejak puluhan tahun kaum borjuis itu memang saban-saban mendengar guruh pelan-pelan yang keluar dari kalangan Rakyat-jelata itu, gemertaknya gigi Rakyat-jelata yang marah karena nasib yang kelewat sengsara. Memang dizaman feodalisme itu Rakyat-jelata ditindas habis-habisan, diperas semua kepunyaannya, dirampas semua hak-haknya sehingga tinggal hak-menurut dan hak-mengambing belaka. Memang Rakyat-jelata sudah lama sekali kesal akan nasib yang lebih jelek daripada nasib binatang itu. Tidakkah gampang kalau kaum borjuis didalam usahanya merebut politieke macht daripada raja dan ningrat, memakai tenaga Rakyat-jelata itu ? Toh, Rakyat-jelata tidak sadar, toh Rakyat-jelata tidak bewust, toh Rakyat-jelata tidak akan tahu-menahu bahwa ia hanya disuruh “mengupas nangka” dan “kena getahnya” saja, —borjuis nanti yang “makan nangkanya” !
Dan borjuis lalu menjalankan kecerdikan ini ! “Hiduplah demokrasi !”, “hiduplah kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan !”, “hiduplah liberte, egalite dan fraternite !”,—semboyan ini ia dengung-dengungkan sehingga memenuhi angkasa, semboyan-semboyan ini ia kobarkan dikalangan Rakyat-jelata. Sebagai simum Rakyat-jelata lantas bergerak, api-kehebatan pergerakannya sampai menjilat langi, bumi dan angkasa Perancis gemetar dan pecah seakan-akan Krisna bertiwikrama. Lautan masyarakat Perancis yang tenang berabad-abad kini menjadi bergelombang-gelombangan molak-malik, —lautan mendidih yang hantam-hantamannya membikin remuknya batu-karang feodalisme: Raja runtuh, kaum ningrat runtuh, kaum penghulu-agama runtuh, otokrasi runtuh, diganti dengan cara-pemerintahan baru yang bernama demokrasi. Dinegeri diadakan parlemen, Rakyat “boleh mengirim utusan-utusannya keparlemen itu”, —diikuti oleh negeri-negeri Eropa Barat dan Amerika, yang semua kini juga meniru bersistem “demokrasi”.
Ya, Inggris kini punya parlemen, Jerman kini mempunyai parlemen, negeri Belanda kini mempunyai parlemen, negeri Amerika, negeri Belgia, negeri Denmark, negeri Swedia, negeri Swiss, —semua “negeri sopan” kini mempunyai parlemen, semua “negeri sopan” kini bersistem “demokrasi”……..
Tetapi…….disemua “negeri-negeri sopan” itu kini hidup dan subur dan merajalela hantu kapitalisme ! Disemua “negeri-negeri sopan” itu kini Rakyat-jelata tertindas hidupnya, nasib Rakyat-jelata nasib kokoro, jumlahnya kaum penganggur yang kelaparan melebihi bilangan manusia. Disemua “negeri-negeri sopan” itu Rakyat-jelata tidak selamat, bahkan sengsara-keliwet-sengsara ! Inikah hasil “demokrasi” yang mereka keramatkan itu ? Inikah “kerakyatan” dinegeri Perancis mereka beli dengan ribuan mereka punya nyawa, dengan ribuan mereka punya bangkai, dengan ribuan pula kepalanya raja dan kaum ningrat ?
Ah, kaum borjuis ! Kaum borjuis telah menipu mereka, memperkudakan mereka, mengabui mata mereka. Demokrasi yang mereka rebut dengan harga nyawa yang begitu mahal itu, demokrasi itu bukanlah demokrasi kerakyatan yang sejati, melainkan suatu demokrasi borjuis belaka, —suatu burgerlijke demokrasi yang untuk kaum borjuis dan menguntungkan kaum borjuis belaka. Ah, parlemen ! Tiap-tiap kaum proletar kini namanya bisa ikut memilih wakil dan ikut dipilih jadi wakil kedalam parlemen itu, tiap-tiap kaum proletar kini namanya bisa “ikut memerintah”. Ya, tiap-tiap kaum proletar kini namanya bisa mengusir minister-minister, menjatuhkan minister-minister jatuh terpelanting dari kursinya. Tetapi pada saat yang namanya bisa menjadi “raja” didalam parlemen itu, pada saat itu-juga ia sendiri bisa diusir dari pekerjaan dimana ia bekerja menjadi buruh dengan upah-kokoro, diusir dilemparkan diatas jalan-rajanya pengangguranm yang basah karena air-mata bini dan anak-anak yang kelaparan ! Pada saat yang ia namanya bisa menjadi “raja” didalam parlemen, pada saat itu-juga ia tak berkuasa sedikit pun juga menuntut upah-perkulian yang agak pantas, tak berkuasa sedikitpun menghalangi, yang stelsel kapitalisme menelan segenap ia punya badan dan segenap ia punya nyawa !

Bahwasanya, kaum Rakyat-jelata yang tadinya dipakai tenaga oleh kaum borjuis untuk merebut “demokrasi”, tetapi yang kemudian ternyata kecele telah mendatangkan demokrasinya kapitalisme, kaum Rakyat-jelata itu kini pantas berbalik menolak demokrasi-palsu itu dengan perkataan-perkataan Jean Jaures, pemimpin kaum buruh Perancis, yang berbunyi: “Kamu, kaum borjuis, kamu mendirikan republik, dan itu adalah kehormatan yang besar. Kamu membikin republik teguh dan kuat, tak boleh dirobah sedikitpun juga, tetapi justru karena itu kamu telah mengadakan pertentangan antara susunan politik dan susunan ekonomi. Karena elgemeen kiesrecht, karena pemilihan umum, kamu telah membikin semua penduduk bisa bersidang mengadakan rapat yang seolah-olah rapat daripada raja-raja. Mereka punya kemauan adalah sumbernya tiap wet, tiap hukum, tiap pemerintahan; mereka mendataris, mereka melepas wetgever dan minister. Tetapi pada saat yang siburuh menjadi tuan didalam urusan politik, pada saat itu juga ia adalah budak-belian diatas lapangan ekonomi. Pada saat yang ia menjatuhkan minister-minister, maka ia sendiri bisa diusir dari pekerjaan zonder ketentuan sedikit juga pun apa yang esok harinya akan di makan. Tenaga-kerjanya hanyalah suatu barang belian, yang bisa dibeli atau ditampik semau-maunya kaum majikan. Ia bisa diusir dari bingikil, karena ia tak mempunya hak ikut menentukan aturan-aturan-bingkil, yang sabar hari, zonder dia tapi buat menindas dia, ditetapkan oleh kaum majikan menurut semau-maunya sendiri”……
Sekali lagi: inikah “demokrasi” yang orang keramatkan itu ? Bolehkah ini demokrasi menjadi impian kita ? Tidak, dan sekali tidak ! Ini tidak boleh menjadi demokrasi yang harus kita ditiru, tidak boleh menjadi demokrasi yang dengan aksara api yang harus dituliskan diatas bendera-bendera partai-pelopornya massa-aksi Indonesia. Sebab “demokrasi” yang begitu hanyalah “demokrasi” parlemen saja, “demokrasi” politik saja. Demokrasi-ekonomi, keRakyatan-ekonomi, kesama-rasa-sama-rataan-ekonomi tidak ada, tidak adapun bau-baunya sedikit juga.

Ya, demokrasi politik itupun hanya bau-baunya saja! Bukan ? —Dinegeri-negeri modenrn itu benar ada perlemen, benar ada “tempat perwakilan Rakyat”, benar Rakyat namanya “boleh ikut memerintah”, tetapi ah, kaum borjuis lebih kaya daripada Rakyat-jelata, mereka dengan harta-kekayaannya, dengan surat-surat-kabarnya, dengan buku-bukunya, dengan madrasah-madrasahnya, dengan propagandis-propagandisnya, dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat kekuasaannya bisa mempengaruhi semua akal fikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua jalannya politik. Mereka misalnya membikin “kemerdekaan pers” bagi Rakyat-jelata menjadi suatu omong kosong belaka, mereka menyulap “kemerdekaan fikiran” bagi Rakyat-jelata menjadi suatu ikatan fikiran, mereka memperkosa “kemerdekaan berserikat” menjadi kedustaan publik. Mereka punya kemauan menjadi wet, mereka punya politik menjadi politiknya staat mereka punya perang menjadi peperangannya “negeri”. Oleh karena itu, benar sekali perkataannya Caillaux, bahwa kini Eropa dan Amerika ada dibawah kekuasaannya feodalisme baru: “Tetapi kini kekuasaan feodal itu tidak digengam oleh kaum tanah sebagai sediakala, kini ia digenggam oleh perserikatan-perserikatan industri yang selamanya bisa mendesakkan kemauannya terhadap staat “. Benar sekali juga perkataan de Brouckere, bahwa “demokrasi” sekarang itu sebenarnya adalah suatu alat kapitalisme, suatu kapitalistische instelling, suatu kedok bagi dictatuur van het kapitalisme ! “demokrasi” yang yang demikian itu harus kita lemparkan samudra, —jauh dari angan-angan dan keinginan massa !
Bagaimana dan demokrasi yang harus dituliskankan diatas bendera kita, —yang harus kita adakan diseberang jembatan-emas ? Demokrasi kita haruslah demokrasi baru, demokrasi sejati, demokrasi yang sebenar-benarnya pemerintahan Rakyat. Bukan “demokrasi” ala Eropa dan Amerika yang hanya suatu “potret dari pantatnya” demokrasi-politik saja, bukan pun demokrasi yang memberi kekusaan 100% pada Rakyat didalam urusan politik saja, tetapi suatu demokrasi politik dan ekonomi yang memberi 100% kekhawatiran pada Rakyat-jelata didalam urusan politik dan urusan ekonomi. Demokrasi politik dan ekonomi inilah satu-satunya demokrasi yang boleh dituliskan diatas bendera partai, —ditulis dengan aksara-aksara-api sebagai diatas saja katakan, agar supaya menyala-nyala tertampak dari ladang dan sawah dan bingkil dan pabrik dimana Marhaen berkeluh-kesah mandi keringat mencari sesuap nasi.

Dengan demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi itu, maka nanti diseberangnya jembatan-emas masyarakat Indonesia bisa diatur oleh Rakyat sendiri sampai selamat, —dibikin menjadi suatu masyarakat yang tiada kapitalisme dan imprealisme. Dengan demokrasi-politik dan ekonomi itu, maka nanti Marhaen bisa mendirikan staat Indonesia yang tulen staatnya Rakyat, —suatu staat yang segala urusannya politik dan ekonomi adalah oleh Rakyat, dengan Rakyat, bagi Rakyat. Bukan sistem feodalisme, bukan sistem mengagungkan raja, bukan sistem konstitusional monarchie yang walau memakai parlemen toh masih memakai raja, bukan pun sistem republik yang sebagai di Perancis-sekarang atau di Amerika-sekarang yang sebenarnya suatu sistem-republik daripada “demokrasinya” kapitalisme, —tetapi sistem politik-ekonomische republik yang segala-galanya tunduk kepada kekhawatiran Rakyat. Urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerja, urusan seni, urusan cultur, urusan apa saja dan terutama sekali ekonomi haruslah dibawah kekhawatiran Rakyat itu: semua perusahaan-perusahaan-besar menjadi miliknya staat, —staatnya Rakyat, bukan staatnya borjuis atau ningrat —, semua hasilhasil perusahaan-perusahaan itu bagi keperluan Rakyat, semua pembahagian hasil itu dibawah pengawasan Rakyat. Tidak boleh ada satu perusahaan lagi yang secara kapitalisme menggemukkan kantong seorang borjuis ataupun menggemukkan kantong burgerlijke staat, tetapi masyarakatnya politiek-economische Republik Indonesia adalah gambarnya satu kerukunan Rakyat, satu pekerjaan-bersama daripada Rakyat, satu kesama-rasa-sama-rataan daripada Rakyat.
Inilah demokrasi sejati yang kita cita-citakan, dan yang saya sebutkan dengan nama-baru sosio-demokrasi. Inilah demokrasi-tulen yang hanya bisa timbul dari nasionalisme Marhaen, dari nasionalisme yang didalam batinnya sudah mengandung keRakyatan-tulen, yang anti tiap-tiap macam kapitalisme dan imprealisme walaupun dari bangsa sendiri, yang penuh dengan rasa-keadilan dan rasa kemanusiaan yang melonjak tiap-tiap sifat keborjuisan dan keningratan, —nasionalisme keRakyatan yang saja sebutkan pula dengan nama-baru sosio-nasionalisme. Hanya sosio-nasionalisme bisa melahirkan sosio-demokrasi, nasionalisme lain tidak bisa dan tidak akan melahirkan sosio-demokrasi. Siapa yang berkemak-kemik “sosio-demokrasi” tetapi dadanya masih berisi sifat-sifat keborjuisannya atau keningratan walau sedikitpun juga, —ia adalah seorang munafik yang bermuka dua !
Nasionalisme partai-pelopor hanyalah boleh satu : sosio-nasionalisme, dan tidak lain ! Lemparkanlah jauh-jauh nasionalisme-keborjuisan dan nasionalisme-keningratan, bantingkanlah menjadi debu nasionalisme-keborjuisan dan nasionalisme-keningratan itu diatas siti buntalannya keRakyatan massa ! Pembaca belum tahu nasionalisme-keborjuisan, belum mengerti nasionalisme-keningratan ? Amboi, masih banyak sekali orang-orang diantara nasionalisten kita, yang saban hari bercita-cita “menasionalismekan” negeri kita menjadi “negeri-besar” seperti Jepang atau Amerika atau Inggris, kagum melihat armadanya yang ditakuti dunia, kota-kotanya yang hebat, bank-banknya yang terbesar diseluruh dunia, benderanya yang berkibar dimana-man, —kagum ini moga-moga negeri Indonesia kelak juga menjadi “negeri-besar” semacam itu. Ah, ini kaum nasionalis-borjuis ! —Mereka tak terkena hati bahwa barang yang dinamakan hebat-hebat itu adalah hasilnya kapitalisme, alat-alatnya kapitalisme, dan bahwa Rakyat-jelata dinegeri-negeri yang disebutkan “negeri jempol” itu adalah tertindas dan sengsara. Memang mereka punya nasionalisme bukanlah nasionalisme kemanusiaan, bukan nasionalisme yang ingin keselamatan massa, mereka punya nasionalisme adalah nasionalisme borjuis yang paling jauh hanya ingin Indonesia-Merdeka saja, dan tidak mau berubah susunan masyarakat sesudah Indonesia-Merdeka. Mereka bisa juga revolusioner, tetapi borjuis-revolusioner, tidak Marhaenistis-revolusioner, tidak sosio-revolusioner[1] !
Dan nasionalisme-kerakyatan ? Haha, itu juga masih banyak sekali pengikutnya. Pengikut nasionalisme ini memang biasanya kaum ningrat, yang darahnya ningrat, adatnya ningrat, hatinya ningrat, segala jasmani dan rohaninya ningrat. Mereka masih dihidup didalam keadaan feodalisme, angler didalam tradisi feodalisme, yang mereka menjadi “kepala-kepalanya” Rakyat, dan mereka menjadi “pohon beringin” yang melindungi Rakyat. Mereka biasanya setia sekali pada kaum pertuanm setia sekali pada kaum yang diatas, —oh, juga dizaman feodalisme mereka setia-tuhu kepada Sang Nata—, tetapi ada diantara mereka yang ngelamun Indonesia-Merdeka. Tapi menurut cita-citanya, didalam Indonesia-Merdeka itu mereka-lah yang harus menjadi “kepala”, mereka-lah yang tetap menjadi kaum memerintah, merekalah !, yang sejak zaman purbakala, sejak feodalisme-Hindu dan sejak feodalisme ke-Islam-an toh sudah menjadi “pohon beringin” yang melindungi kaum “kawulo”.
Awas, kaum Marhaen, awas dengan nasionalisme-keborjuisan dan nasionalisme keningratan itu ! Ikutilah hanya itu partai saja yang benderanya menyala-nyala dengan semboyan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, teriakkanlah semboyan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu dengan suara yang mendengung menggetarkan langit, gemuruh sebagai guruhnya guntur. Dengungkanlah sampai melintasi tanah-datar dan gunung dan samudra, bahwa Marhaen seberangnya jembatan-emas akan mendirikan suatu masyarakat yang tiada keningratan dan tiada keborjuisan, tiada kelas-kelasan dan tiada kapitalisme.
Dan bukan saja mendengungkan suara ! Partai-pelopor dari kini mendidik massa itu kedalam “prakteknya” sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme, “menyediakan” massa untuk laksana janji sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme. Partai-pelopor harus dari kini sudah menebar-nebarkan benih kesama-rata-sama-rasaan didalam kalbunya massa, menebar-nebar-pula benih “gotong royong” didalam hatinya massa, agar supaya massa yang berabad-abad kena penyakit individualisme[2] itu, sudah dari kini mulai menjadi “manusia baru” yang merasa dirinya “manusia masyarakat” yang selamanya mementingkan keselamatan umum. Partai-pelopor harus mendidik teorinya dan prakteknya “kemasyarakatan” itu dengan tak jemu-jemu menunjukkan kejahatan individualisme, membongkar-bongkar kejahatannya kapitalisme, menganjurkan dan memfi’ilkan pekerjaan bersama, mendirikan dan menjalankan koperasi-koperasi yang radikal, mendirikan dan memperjuangkan vakbond-vakbond, dan sarekat-sarekat-tani radikal, —terutama koperasi-radikal, vakbond-radikal, sarekat-tani radikal !—, pendek-kata mulai sekarang dengan cara radikal menjelmakan Insan-manusia-masyarakat didalam tiap-tiap perjuangan, didalam tiap-tiap sepak-terjangnya, didalam tiap-tiap politiknya.
Strijdprogram dan staatprogram partai-pelopor itu harus strij-program dan staatprogram Manusia-masyarakat, strijdprogram dan staatprogram itu haruslah suatu oorlogsverklaring alias pertentangan perang kepada segala macam individualisme. Segala azasnya partai, segala azas-perjuangannya partai, segala taktiknya partai, segala perjuangannya partai, —perjuangan mendatangkan Indonesia-Merdeka, perjuangan memberantas aturan-aturan yang jelek, perjuangan buat perbaikan-perbaikan-ini-hari d.l.s. —, segala gerak-bangkit jasmani dan rohaninya partai itu haruslah suatu hantaman kepada individualisme, suatu malapetaka kepada individualisme, —untuk keprabotan Insan Manusia-masyarakat.
Bahagia partai-pelopor yang demikian itu !
Bahagia massa yang dipelopori partai yang demikian itu !
Hiduplah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi !


Mencapai Indonesia Merdeka
Sekarang, kampiun-kampiun kemerdekaan, majulah kemuka, susunlah pergerakanmu menurut garis-garis yang saya guratkan didalam risalah ini. Hebatkanlah partainya Marhaen, agar supaya menjadi partai-pelopornya massa. Hidupkanlah semua semangat yang ada didalam dadamu, hebatkanlah semua kecakapan-mengorganisasi yang ada didalam tubuhmu, hebatkanlah semua keberanian banteng yang ada didalam nyawamu, tumpahkahlah semangat dan kecakapan-mengorganisasi dan keberanian-banteng itu kedalam tubuhnya partai, tumpahkanlah kelaki-lakian itu kedalam badannya massa, agar supaya massa seolah-olah ketitisan kembali oleh segala kelaki-lakiannya dari zaman sediakala, ketitisan pula oleh kelaki-lakian baru daripada moderne massa-aksi. Kamu kampiun-kampiunnya pena, gerakkanlah penamu setajam ujungnya jemparingnya Rama, kamu kampiun-kampiun organisator, susunlah bentengnya harapan Rakyat menjadi benteng yang menahan gempa, kamu kampiun-kampiunnya mimbar, dengungkanlah suara-bantengmu hingga menggetarkan udara.
Tumpahkanlah segenap jiwa-ragamu kedalam partainya massa, tumpahkanlah segenap jasmani dan rohanimu kedalam perjuangannya massa, tumpahkanlah nyawamu menjadi api-kesadaran dan api-kemauan massa.
Hidupkanlah massa-aksi, untuk mencapai Indonesia-Merdeka !





1)       [1] Buat arti “revolusione” lihat saj punya pledoi
2)       [2] Individualisme=perseorangan diri

MENCAPAI INDONESIA MERDEKA OLEH BUNG KARNO (8)


Machtsvorming, Radikalisme, Aksi-Massa
Sana mau kesana, sini mau kesini,–begitulah gambarnya pertentangan disesuatu koloni. Pertentangan inilah yang tadi membawa kita keatas padangnya politik selfhelp dan non-cooperation. Tetapi pertentangan itu membawa kita juga kedalam kawah candradimukanya politik-machtsvorming, radikalisme dan massa-aksi.
Apa artinya machtsvorming itu ? Machtsvorming adalah berarti vormingnya macht, pembikinan tenaga, pembikinan kuasa. Machtsvorming adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita. Paksaan ini adalah perlu, oleh karena “sana mau kesana, sini mau kesini”. Dengarkanlah apa yang tempo hari saya katakan dalam saya punya pledoi :
Machtsvorming, pembikin kuasa,—oleh karena soal kolonial adalah soal kuasa, soal macht. Machtsvorming, oleh karena seluruh riwayat dunia menunjukkan, bahwa perubahan-perubahan besar hanyalah diadakan oleh kaum yang menang, kalau pertimbangan akan untung rugi menyuruhnya, atau kalau sesuatu macht menuntutkannya.
“Tak pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan relanya kemauan sendiri, “—“nooit heefteen klasse vrijwillig van haar bevoorrechte positie afstand gedaan,” begitulah Karl Marx berkata….. Selama Rakyat Indonesia belum mengadakan suatu macht yang maha sentosa, selama Rakyat itu masih saja tercerai-berai dengan tiada kerukunan satu sama lain, selama Rakyat itu belum bisa mendorongkan semua kemauannya dengan suatu kekuasaan yang teratur dan tersusun,–selama itu maka kaum imprealisme yang mencari untung sendiri itu akan tetaplah memandang kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut, dan akan terus mengabaikan segala tuntutan-tuntutannya. Sebab, tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia adalah merugikan kepada imprealisme; tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia tidaklah akan diturutinya, kalau kaum imprealisme tidak terpaksa menurutinya. Tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia adalah buahnya desakan yang Rakyat itu jalankan,–tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia itu adalah suatu afgedwongen concessie ![1]
Dan jikalau kita bergerak, maka haruslah selamanya kita ingat, bahwa cita-cita kita dapat terkabul, selama kita belum mempunyai kekuasaan yang perlu untuk mendesakkan terkabulnya cita-cita itu. [Soekarno]
Menjadi dus: machtsvorming adalah perlu oleh karena, berhubung dengan adanya antitesa antara sana dan disini, kaum sana tidak mau dengan kerelaannya kemauan sendiri tunduk kepada kita, jika tidak ada paksa dengan desakan yang ia tak dapat menahannya. Dan oleh karena desakan itu hanya bisa kita jalankan bilamana kita mempunyai tenaga, yakni bilamana kita mempunyai kekuatan, mempunyai kekuasaan, mempunyai macht, maka kita harus menyusun macht itu,–mengerjakan machtsvorming itu dengan segiat-giatnya dan serajin-rajinnya !
Kita harus jauh dari politiknya kaum lunak, yang selamanya mengira, bahwa sudah cukuplah dengan menyakinkan kaum sana itu tentang keadilannya kita punya tuntutan-tuntutan: mereka mengira, bahwa kaum sana itu, asal saja sudah “berbalik fikiran” tentu akan menuruti segala kita punya kemauan. Amboi jikalau benar sana begitu, barangkali Indonesia sudah lama merdeka !  Jika kaum sana benar begitu, maka kita semua boleh tidur, dan hanya satu dua orang saja daripada kita boleh “bicara” dengan kaum sana itu, “membalikkan fikirannya” ! Tetapi keadaaan yang senyatanya tidak begitu. Keadaan yang senyatanya ialah, bahwa kaum sana disini itu tidak buat mendengarkan keadilannya kita punya tuntutan, tidak pun buat menurut kita punya tuntutan itu bilamana “sudah ternyata adilnya”, tetapi ialah tak lain tak bukan buat urusan sendiri, buat kepentingan sendiri, buat keuntungan sendiri,–adil atau tidak adil. Keadaan yang senyatanya ialah, bahwa “sana mau kesana, sini mau kesini”.
Maka oleh karena itulah kaum Marhaen Indonesia, yang didalam politiknya selamanya harus jauh sekali daripada pengalaman yang bertentangan dengan keadaan yang nyata, yang selamanya harus berdiri diatas bumi yang nyata dan tidak boleh terapung-apung diatas awannya gagasan, harus menolak politik otak-angin daripada kaum lunak itu, dan menjalankan politik mentah sementah-mentahnya, yaitu: menyusun dimuka machtnya imprealisme itu machtnya kaum Marhaen pula. Memang yang sebenar-benarnya disebutkan politik, itu bukanlah kepandaian putar lidah, bukan kepandaian menggerutu dengan hati dendam terhadap pada kaum disana, bukan kepandaian tawar-menawar, tetapi politik buat kaum Marhaen hanyalah menyusun machtsvorming dan  mengusahakan machtsvorming itu,–machtsvorming yang terpikul oleh azas yang radikal. Jawaharlal Nehru, itu pemimpin Rakyat India, pernah berkata: “Dan jikalau kita bergerak, maka haruslah selamanya kita ingat, bahwa cita-cita kita dapat terkabul, selama kita belum mempunyai kekuasaan yang perlu untuk mendesakkan terkabulnya cita-cita itu. Sebab kita berhadap-hadapan dengan musuh, yang tak sudi menuruti tuntutan-tuntutan kita, walaupun sekecil-kecilnya. Tiap-tiap kemenangan kita, dari yang besar-besar sampai kecil-kecil, adalah hasilnya desakan dengan kita punya tenaga. Oleh karena itu “teori” dan “prinsip” saja buat saja belum cukup. Tiap-tiap orang bisa menutup dirinya didalam kamar, dan menggerutu “ini tidak menurut teori”  “itu tidak menurut prinsip”. Saya tidak banyak menghargakan orang yang demikian itu. Tetapi yang paling sukar ialah, dimuka musuh yang kuat dan membuta-tuli ini, menyusun suatu macht yang terpikul oleh prinsip. Keprinsipilan dan keradikalan zonder machtsvorming yang bisa menundukkan musuh didalam perjuangan yang hebat, bolehlah kita buang kedalam sungai Gangga. Keprinsipilan dan keradikalan yang menjelmakan kekuasaan itulah kemauan Ibu !”
Perkataan Jawaharlal Nehru ini adalah perkataan yang cocok sekali buat perjuangan Marhaen di Indonesia melawan musuh yang juga kuat dan membuta-tuli itu. Juga kita kaum Marhaen Indonesia tak cukup dengan menggerutu saja. Juga kita harus menjelmakan azas atau prinsip kita kedalam suatu machtsvorming yang maha kuasa. Juga kita harus insyaf seinsyaf-insyafnya, bahwa imprealisme tak dapat dikalahkan dengan azas atau prinsip saja, melainkan dengan machtsvorming yang terpikul oleh azas atau prinsip itu!
Yang terpikul oleh azas atau prinsip ! Sebab “machtsvorming” yang tidak terpikul oleh azas atau prinsip, sebenarnya bukan machtsvorming, bukan pembikinan kuasa ! ” Machtsvorming” yang zonder azas atau prinsip, yaitu ” machtsvorming” yang opportunis alias tawar-menawar, yang sikapnya sebentar begini sebentar begitu menurut angin-nya kaum sana, yang tidak perempuan tidak laki-laki,– “machtsvorming” yang demikian itu bukan suatu macht yang mau menundukkan kaum sana, tetapi suatu bola yang dipermainkan oleh kaum sana belaka. Tetapi machtsvorming kita haruslah machtsvorming yang terpikul oleh suatu azas: azas antitesa antara sana dan sini, azas kemerdekaan-nasional, azas keMarhaenan, azas bukan tawar-menawar tapi mau menggugurkan stelsel kapitalisme-imprealisme samasekali, azas mau mendirikan suatu masyarakat-baru diatas runtuhan-runtuhannya kapitalisme-imprealisme itu, yang terpikul oleh kesama-rasa-sama-rataan. Azas inilah yang boleh dicakup dengan satu perkataan saja, yaitu perkataan radikalisme. Radikalisme,—terambil dari perkataan radix, yang artinya akar–, radikalisme haruslah azas machtsvorming Marhaen: berjuang tidak setengah-setengahan tawar-menawar tetapi terjun sampai keakar-akarnya kesengitan antitesa, tidak setengah-setengahan hanya mencari “untung ini hari” saja tapi mau menjebol stelsel kapitalisme-imprealisme sampai keakar-akarnya, tidak setengah-setengahan mau mengadakan perubahan-perubahan yang kecil-kecil saja tapi mau mendirikan masyarakat baru samasekali diatas akar-akar yang baru, –berjuang habis-habisan tenaga membongkar pergaulan hidup sekarang ini sampai keakar-akarnya untuk mendirikan pergaulan hidup baru diatas akar-akar yang baru. Radikalisme ini harus menjadi nyawanya machtsvorming Marhaen. Marhaen harus menolak dengan kejijikan segala sikap setengah-setengahan yang tidak berjuang tetapi hanya tawar-menawar, Marhaen harus mengusir dari kalangan Marhaen segala opportunisme, reformisme, dan possibilisme yang selamanya menghitung-hitung untung rugi sebagai juru kedai yang takut uangnya hilang sekepeng. Marhaen harus mengusir jauh-jauh segala politik yang mau menutupi atau menipiskan antitesa antara sana dan sini itu, Marhaen malahan harus menajamkan antitesa antara sana dan sini itu, –tidak mau berdamai tawar-menawar dengan kaum sana itu, tetapi berjuang habis-habisan dengan kaum sana walau kemuka pintu-gerbangnya nerakapun juga adanya. Marhaen harus dengan sekelabatan matanya saja mengerti, bahwa perjuangannya, yang bermaksud membongkar kapitalisme-imprealisme sampai keakar-akarnya itu, tidak akan bisa berhasil dengan politik reformisme yang mau “berniaga” dengan kaum kapitalisme itu, yang isme-nya mau digugurkan itu. Marhaen harus mengambil perkataannya Karl Leibknecht, bahwa “perdamaian antara Rakyat-jelata dengan kaum atasan adalah berarti mengorbankan Rakyat-jelata itu”,—membinasakan Rakyat-jelata itu. Marhaen dus, untuk mengulangi lagi, harus berjuang zonder damai sampai keakar-akarnya kesengitan antitesa, berjuang zonder damai menjebol keakar-akarnya stelsel kapitalisme-imprealisme, berjuang zonder damai menanamkan akar-akarnya pergaulan hidup yang baru,—berjuang zonder damai dengan bersemangat radikalisme dan sepak-terjang radikalisme !
Tetapi bagaimanakah jalan-jalannya kaum Marhaen menjelmakan machtsvorming yang berazaskan radikalisme itu ? Tidak ada jalan dua, tidak ada jalan tiga, melainkan ada satu jalan saja: jalannya massa-aksi. Dengan massa-aksi kaum Marhaen bisa mengobar-ngobarkan semangatnya sampai kepuncak angkasa, dengan massa-aksi mereka bisa menghebatkan kemajuannya menjadi sehebatnya gelombang samudra, dengan massa-aksi mereka bisa mengolah mereka punya tenaga menjadi tenaganya gempa. Dengan massa-aksi mereka bisa menyusun-nyusun punya geest, mereka punya will, mereka punya daden,—dengan massa-aksi mereka bisa menyusun mereka punya machtsvorming sampai sekuasa-kuasanya. Machtsvorming bukanlah penyusun tenaga wadag saja, machtsvorming adalah juga penyusun tenaga semangat, tenaga kemauan, tenaga roch, tenaga nyawa. Rohani dan jasmaninya massa menjadilah seolah-olah disiram air Kahuripan didalam massa-aksi itu. Apa yang Marhaen satu persatunya tidak bisa menciptakan, apa yang Marhaen satu persatunya bisa “menyemangatkan” dan “memaukan”, dapatlah diciptakan oleh luluhan Marhaen yang sudah menjadi massa itu. Semangatnya massa, kemauannya massa, keberaniannya massa, “apinya” massa, bukanlah sama dengan semangat atau kemauannya Marhaen satu persatu, bukan sama dengan jumlahnya semangat atau kemauan Marhaen-Marhaen itu semuanya,—tetapi massa seolah-olah mempunyai “semangat-massa” sendiri, “kemauan-massa” “keberanian-massa” sendiri, “api-massa” sendiri, yang lebih-lebih hebat daripada jumlah semangat-semangat atau kemauan-kemauan itu adanya. “Api-massa” inilah melahirkan “perbuatan-perbuatan massa” yang hebatnya bisa sampai mengoyahkan sendi-sendinya masyarakat, ia, sampai menggugurkan masyarakat dengan segala sendi-sendi dan alas-alasnya.
Sebab, apakah arti massa itu ? massa bukanlah Cuma “Rakyat-jelata yang berjuta-juta” saja, massa adalah Rakyat-jelata yang sudah terluluh mempunyai semangat satu, kemauan satu, roch dan jiwa satu. Massa adalah deeg, djeladren,luluhan. Ia dus bukan gundukan Rakyat-jelata saja yang berlainan-lainan semangat dan kemauan, ia bukan misalnya gundukan Rakyat-jelata apada waktu hari Lebaran,—yang sebagian ingin pergi kekuburan, yang sebagian ingin pergi berjalan-jalan pamer pakaiannya yang baru, yang sebagian ingin menemui pamili keluarganya untuk bersilahturrahmi—, ia adalah suatu luluhan yang satu semangatnya, satu kemauannya, satu tekadnya, satu rohani dan jasmaninya. Ia didalam riwayat-dunia selamanya adalah gundukan Rakyat-jelata, yang karena sama-sama menderita tindasan daripada kaum atasan dan sama-sama menderita nasib sengsara yang seolah-olah tak dapat terpikul lagi, sama-sama pula timbul rasa-kemarahannya, sama-sama timbul kehendaknya melawan keadaan yang menyengsarakan mereka itu, sama-sama berjuang membongkar keadaan itu,—sama-sama terluluh menjadi satu luluhan radikal yang gerak-bangkit bergelora sebagai ombak membanting di pantai.
Inilah yang dinamakan massa-aksi : aksinya Rakyat-jelata yang sudah terluluh menjadi jiwa baru, melawan sesuatu keadaan yang mereka tidak sudi pikul lagi. Memang massa-aksi selamanya radikal. Memang massa-aksi adalah selamanya membuka dan menjebol akar-akarnya sesuatu keadaan. Memang massa-aksi adalah selamanya mau menanam akar-akarnya keadaan yang baru. Perubahan-perubahan yang besar dalam riwayat dunia selamanya diparajikan oleh massa-aksi,—begitulah saja diatas tadi berkata. Memang massa-aksi tidak bisa hebat kalau setengah-setengahan, massa-aksi tidak bisa kalau hanya mau mengejar “keuntungan-keuntungan kecil-ini-hari” saja. Massa-aksi barulah dengan sesungguh-sungguhnya berderus-derusan menjadi massa-aksi, jikalau Rakyat-jelata itu sudah berniat membongkar samasekali keadaan tua diganti samasekali dengan keadaan yang baru. “Een nieuw levensideaal moet de massa aanvuren”, “suatu cita-cita pergaulan hidup baru harus menyala didalam dadanya massa”, begitulah menurut seorang pemimpin besar syaratnya massa-aksi. Maka oleh karena itulah bagi kaum Marhaen satu kali akan datang saatnya, yang juga massa-aksi kita akan hidup dan bangkit sehebat-hebatnya: Kita punya cita-cita, kita punya idealisme bukanlah suatu idealisme politik saja, kita punya idealisme bukanlah “Indonesia-Merdeka” saja, kita punya idealisme adalah idealisme masyarakat-baru, suatu social idealisme yang gilang-gemilang. Social-idealisme inilah yang menjadi motor pertama kita punya massa-aksi !
Kaum lunak disini juga sering mengemak-kemikkan perkataan “massa-aksi”. Kaum lunak disini juga mau mengadakan “massa-aksi” . Amboi ! Seolah-olah massa-aksi bisa dipisahkan daripada radikalisme. Seolah-olah Rakyat-jelata bisa menjadi massa karena cita-cita yang bukan cita-cita Rakyat-jelata, yakni cita-cita “bank-bank-an”, “rumah-sakit-rumah-sakitan”, “warung-warungan”. Seolah-olah apinya Rakyat-jelata bisa dipasang dan dijadikan api-massa dengan api melempemnya politik “pelan-pelanan” yang tidak bermaksud lenyap kapitalisme-imprealisme sampai keakar-akarnya. Seolah-olah massa-aksi bisa”dibikin” dengan mereka punya politik yang sampai kiamat “berfikir” dan “menghitung-hitung”. Seolah-olah riwayat-dunia tidak saban-saban menunjuk, bahwa “nimmer kan de massa langs den  weg der zuiver verstandelijke berekening tot heroische daden bezield worden”, yakni bahwa “massa tak pernah bisa disuruh melahirkan perbuatan-perbuatan besar dengan politik menghitung-hitung ! “[i]
O, kini kita mengerti : mereka memang tidak tahu apakah massa-aksi itu ! Mereka mengira, bahwa massa-aksi adalah vergadering-openbaar yang berbarengan ! Mereka mengira sudah “mengadakan massa-aksi”, kalau sudah mengadakan rapat-rapat-umum dimana-mana ! Haha, mereka mengira bahwa “massa-aksi” itu boleh mulai pukul sembilan pagi dan berhenti pukul satu siang ! Kalau begitu gampang membikin massa-aksi, kalau begitu gampang membikin massa-aksi boleh “diperintahkan” menurut “sakersa-kersanya saja” juragan pemimpin, barangkali massa-aksi di Indonesia sehebat-hebatnya, dan…….Indonesia sudah merdeka ! Tetapi tidak ! –Massa-aksi bukan “vergadering-vergadering-openbaar yang berbarengan” harus mulai pukul sembilan teng pagi-pagi ! Massa-aksi tidak bisa “diperintahkan” atau “dibikin” orang, tidak bisa dipabrikkan oleh pemimpin, tidak bisa “harus mulai pukul sembilan teng”, massa-aksi adalah didalam hakekatnya bikinan masyarakat yang mau melahirkan masyarakat baru, dan karenanya butuh akan “seorang paraji”. Massa-aksi adalah aksinya Rakyat-jelata yang, karena kesengsaraan, telah terluluh menjadi satu jiwa baru yang radikal, dan bermaksud “memarajikan” terlahirnya masyarakat baru!
Tidak ! Kaum lunak dengan kelunakannya itu memang tidak bisa “mengadakan” massa-aksi, mereka memang tidak bisa menjadi motornya massa-aksi, memang tidak bisa terpanggil oleh riwayat untuk menjadi motornya massa-aksi,—walaupun misalnya perhimpunannya beranggota ribuan, ketian, jutaan ! Sebab—tadi sudah saja terangkan—, massa-aksi meminta radikalisme, berisi radikalisme, vooronderstellen radicalisme. Paling mujur kaum lunak itu dengan kelunakannya, kalau bisa menggerakkan beribu-ribu Rakyat-jelata, hanya melahirkan massa-aksi belaka.
Apakah massale actie ? Massacale actie adalah “pergerakan” Rakyat, yang benar orangnya ribuan atau ketian atau jutaan, yang benar jumlah orangnya besar sekali, tapi yang tidak radikal, tidak sociaal-revolutionair, tidak bermaksud membongkar akar-akarnya masyarakat-tua, untuk mendirikan masyarakat baru dengan akar-akar yang baru. Massale actie bukan luluhan Rakyat-jelata yang menyala-nyala apa-massanya, bukan massa didalam makna djeladren atau deeg yang satu jiwanya dan satu nyawanya, melainkan hanya gerombolan Rakyat belaka yang tidak bernyawa satu. Massale actie tak bisa melahirkan masyarakat baru, dan memang bukan parajinya masyarakat baru. Lihatlah misalnya pergerakan Rakyat Indonesia dulu, tatkala Sarekat Islam baru lahir di dunia. Lihat pula pergerakan Rakyat di Ngajodya sekarang, yakni di Matarram. Ribuan, ketian, laksaan, jutaan Rakyat sama bergerak, jutaan Rakyat sama “beraksi”,—tetapi aksinya itu hanyalah suatu massacale actie belaka. Aksinya bukan suatu massa-aksi, oleh karena tidak bersifat luluhan tapi bersifat gerombolan, tidak sociaal-radicaal tapi sociaal-behoundend, tidak bermaksud membuang segenap masyarakat tua tapi hanya bermaksud menambal amohnya masyarakat itu.
Massa-aksi dan massacale actie,—hendaklah pemimpin-pemimpinnya kaum Marhaen senantiasa memperhatikan perbedaannya antara dua perkataan itu. Hendaklah pemimpin-pemimpin itu jangan lekas tersilaukan mata, kalau melihat “banyak orang” sama “bergerak”, dan lantas mengira : “ha, Indonesia kini lekas merdeka”. Sebab “banyaknya orang”, misalnya dizaman baru munculnya Sarekat Islam didunia, tatkala semua haluan ada gerombolan menjadi satu, tatkala disitu ada kaum Marhaennya, ada kaum priayayinya, ada kaum saudagarnya, ada kaum borjuisnya, tatkala Sarekat Islam menjadi gado-gado haluan Islamisme, nasionalisme dan “sosialisme”, tatkala dus pergerakan Sarekat Islam itu bukan pergerakan luluhan tapi hanya suatu pergerakan gerombolan, bukan massa-aksi tetapi massale aksi,—adakah banyaknya orang dipergerakan Sarekat Islam itu bisa memarajikan masyarakat baru, bahkan : adakah pergerakan Sarekat Islam itu bisa mendatangkan perubahan-perubahan yang agak besar ? Adakah, begitulah saya malahan bertanya, Sarekat Islam itu bisa membangkitkan massa-aksi ? Tidak, pergerakan Sarekat Islam yang dulu itu tidak bisa membangkitkan massa-aksi, tidak bisa menjadi motornya massa-aksi, oleh karena tidak berdiri diatas pendirian yang radikal. Ia tidak berdiri diatas antitesa sana-sini, ia tidak berprogram Indonesia-Merdeka, ia tidak berprogram terang-terangan mau menjebol semua akar-akarnya stelsel kapitalisme-imprealisme, ia tidak politiek-radicaal, tidak sociaal-radicaal.
Oleh karena itu, maka partai Marhaen yang bermaksud menjadi partai pelopornya massa-aksi, haruslah selamanya mempunyai azas-perjuangan dan program yang 100% radikal: antitesa, perlawanan zonder damai, kemarhaenan, melenyapkan cara susunan masyarakat sekarang, mencapai cara susunan masyarakat baru,—itu semua harus tertulis dengan aksara yang berapi-apian diatas benderanya partai dan diatas panji-panjinya partai. Tetapi azas, azas-perjuangan dan program yang dituliskan diatas bendera dan panji itu akan tidak banyak berarti, akan seakan-akan omong kosong, akan tinggal aksara yang mati belaka, jikalau tidak kita kerjakan dengan habis-habisan kita punya enenrgi,—membanting kita punya tulang, memeras kita punya keringat, mengulur-ulur kita punya tenaga menjelmakan segala apa yang termaktub didalamnya dan segala apa yang dijanjikan kepada massa. Azas, azas-perjuangan dan program itu akan tinggal aksara yang mati, jikalau kita tidak berjuang dengan segala keuletannya dan kegagahannya partai pahlawan yang lebih sanggup disuruh bekerja mati-matian daripada disuruh berhenti, berjuang mengerjakan segala kewajibannya suatu partai pelopor, yakni berjuang membangkitkan massa-aksi dan mengomando massa-aksi kearah surganya dan kemenangan.
Dan bagaimana partai-pelopor harus berjuang ? Partai-pelopor pertama-tama harus menyempurnakan diri sendiri. Ia belum bisa menjadi partai-pelopor yang sempurna, sebelum ia sendiri sempurna didalam keyakinannya, didalam disiplinnya, didalam organisasinya, didalam rohaninya dan jasmaninya. Oleh karena itu ia pertama-tama harus memperkokoh rohani dan jasmaninya sendiri lebih dulu, membikin dan menjaga yang segenap sifat-hakekatnya, segenap wezennya, adalah teguh dan kokoh sebagai baja.
Rohani dikokohkan dengan penjuluhan teori kepada anggota-anggotanya, penjuluhan dengan kursus dan majalah dan lain sebagainya tentang segala seluk-beluknya nasib mereka, musuh mereka, perjuangan mereka, agar supaya semua anggota partai menjadi satu keyakinan, satu semangat, satu kemauan-maha-hebat mau berjuang habis-habisan menundukkan musuh yang kini nyata-nyata angkara-murkanya, melalui jalan yang kini nyata-nyata terang dan manfaatnya. Hanya dengan penjuluhan teori yang demikian itu,—teori yang radikal—, maka partai-pelopor bisa mengeraskan rohaninya baja, dan bisa menuntun massa kedalam perjuangan yang radikal. “Ohne radikale Theorie keine radikale Bewegung”, “zonder teori-radikal mustahil ada pergerakan-radikal”, adalah suatu ucapan Marx yang jitu dan berisi kebenaran yang senyata-nyatanya. Segala seluk-beluk pergerakan, seluk-beluknya azas, azas perjuangan dan program, segala seluk-beluknya, strategi dan taktik haruslah menjadi satu keyakinan yang terang-benderang bagi segenap partai,satu zat perjuangan yang menyerapi darah dagingnya segenap anggota partai, sehingga partai menjadi satu jiwa yang yakin dan tak kenal akan sjakwangsangka. Tiap-tiap anggota partai yang nyeleweng kearah reformisme, tiap-tiap fikiran yang nyeleweng kearah reformisme, tiap-tiap fikiran yang nyeleweng kearah reformisme harus “diuji” sebersih-bersihnya, dan kalau tidak bisa menjadi “bersih” ditendang dari kalangan partai zonder pardon dan zonder ampun !
Pembaca membantah : kalau begitu tidak ada demokrasi didalam kalbunya partai ! Memang ! Partai didalam kalbu sendiri tidak boleh berdemokrasi didalam makna “semua fikiran boleh merdeka”,—tidak boleh berdemokrasi didalam makna segala “isme”  boleh leluasa,—partai hanyalah mengenal satu fikiran dan satu isme : fikiran dan isme radikal yang 100% tanggung mengalahkan musuh. Demokrasi yang boleh dalam kalbunya partai-pelopor bukan demokrasi biasa, demokrasi partai-pelopor itu adalah demokrasi yang dengan bahasa asing dinamakan democratisch-centralisme : suatu demokrasi, yang memberi kekuasaan pada pucuk-pimpinan buat menghukum tiap-tiap penyelewengan, menendang tiap-tiap anggota atau bagian-partai yang membahayakan strijdpositienja massa. “Didalam partai tak boleh ada kemerdekaan fikiran yang semau-maunya saja; kokohnya persatuan partai itu adalah terletak didalam persatuan keyakinan”. Inilah ajaran seorang pemimpin besar tentang kepartaian yang sangat harus diperhatikan. Tiap-tiap penyelewengan tak boleh diampuni; tiap-tiap penyelewengan harus didenda dengan dampratan yang sepedas-pedasnya atau tendangan yang sesegera-segeranya. Sebab partai-pelopor yang didalam kalbunya sendiri masih sleweng-sleweng, partai-pelopor yang didalam kalangan sendiri masih ragu-ragu, partai-pelopor yang demikian itu mustahil bisa mempelopori massa !
Dan bukan saja menghukum menyeleweng kearah reformisme ! penyelewengan kearah anarcho-syndicalisme-pun, penyelewengan kearah amuk-amukan zonder fikiran, penyelewengan kearah perbuatan-perbuatan atau fikiran-fikiran cap mata-gelap, harus juga dikoreksi dan mendapat dampratan. Penyelewengan inilah yang sering mengeluarkan tuduhan “penghianatan” alias “verraad” kalau partai menurut keyakinannya tak dapat tahu bedanya antara kekirian radikal dan kekirian desosial,—antara kekirian yang memikul dan terpikul natuur dan kekirian yang memikul dan terpikul hawa nafsu amarah yang tak terimbang. Partai yang sehat selamanya harus memerangi dua macam penyelewengan itu,—selamanya strijden naar twee froten—, agar supaya ia bisa menjadi satu penunjuk jalan radikal yang teguh dan yakin bagi banjirnya massa-aksi yang bergelombang-gelombang menuju kelautan merdeka.
Oleh karena itulah maka salah satu syaratnya partai-pelopor adalah disiplin. Disiplin, disiplin yang kerasnya sebagai baja, disiplin yang zonder ampun dan zonder pardon menghukum tiap-tiap anggota yang berani melanggarnya, adalah salah satu nyawa dari partai-pelopor itu ! Bukan saja disiplin terhadap pada ideologinya radikalisme; bukan saja disiplin terhadap pada “bagian teori” daripada radikalisme. Tetapi juga disiplin terhadap pada segala halnya partai : disiplin teori, disiplin teori, disiplin organisasi, disiplin taktik, disiplin propaganda,—pendeknya partai disegala urat-uratnya dan syaraf-syarafnya harus sebagai suatu mechanisme yang tiap-tiap skrup dan tiap-tiap rodanya berdisiplin hingga seksama.
Dalam pada itu partai tidak boleh menjadi mesin yang tak bernyawa dan tak berubah. Partai yang demikian adalah partai yang tak hidup, dan tofan-zaman akan segeralah menyapunya dari muka bumi. Partai yang memikul dan terpikul natuur haruslah hidup sebagai natuur sendiri, ber-evolusi sebagai natuur sendiri. Yang harus dicegah dan diperangi bukanlah hidupnya partai, bukanlah evolusinya partai, bukanlah levensprocesnya partai. Yang harus dicegah dan diperangi ialah penyakitnya partai, penyakit penyelewengan yang membahayakan sehatnya badan-radikalisme itu. Juga natuur sendiri tidak pernah sleweng-sleweng, juga natuur sendiri selamanya memerangi tiap-tiap penyakit ! Tiap-tiap barang baru yang menyuburkan dan menyehatkan badan-radikalisme itu haruslah diterima dengan gembira, tetapi tiap-tiap penyakit badan itu harus lekas diobati dengan “kejam” dan zonder ampun. Centralisme yang harus ada didalam kalbunya partai bukanlah centralismenya seorang diktator, centralisme itu harus democratisch centralisme yang partai sendiri menjadi cakrawartinya. Tetapi sebaliknya demokrasi yang harus didalam kalbunya partai bukanlah pula demokrasi yang memberi keleluasaan pada segala apa saja, demokrasi itu haruslah centralistische democratie yang memerangi segala penyakit radikalisme !
Democratie-centralisme dan centalistische democratie ,—itulah sifatnya partai-pelopor bagian kedalam. Tapi bagaimana partai-pelopor itu mempelori massa ? Bagaimana sikapnya keluar ? Sikap partai keluar haruslah selamanya cocok dengan kemauan-yang-onbewust daripada massa, cocok dengan instinctnya massa. Tidak boleh sedikit pun ia menyimpang daripada instinct ini, tidak boleh sedipun juga ia menghianati instinct ini. Sebab instinctnya massa itulah yang dinamakan “kekuatan-rahasia” daripada masyarakat. Siapa yang menjelajahi kekuatan-rahasia ini, menghianati kekuatan-rahasia ini, akan segeralah mengalami yang ia lindas oleh rodanya masyarakat, hancur-lebur menjadi debu. Yang harus dikerjakan oleh partai-pelopor bukannya menghianati atau merubah kemauan-yang-onbewust daripada massa, yang harus dikerjakan olehnya ialah membikin kemauan-yang-onbewust itu menjadi kemauan-yang-bewust, memberi “keinsyafan” kepada instinct itu hingga menjadi kemauan-bewust yang yakin dan terang. Kekuatan-kekuatan massa yang tadinya tenang seolah-olah tidur, haruslah dibangun dengan Air-Kahuripannya Keinsyafan menjadi kekuatannya massa-wil yang bangkit dan tak dapat terhalang, ya, yang malahan bila sudah matang sematang-matangnya, menjadi massa-wil yang kehebatan bangkit bisa menggetarkan dunia.
Inilah pekerjaan partai-pelopor yang pertama : mengolah kemauan-massa yang tadinya onbewust itu hingga menjadi kemauan-massa bewust. Bentukan dan kontradiksinya perjuangan harus ia ajarkan pada massa dengan jalan yang gampang dimengerti dan yang masuk sampai kehati-hatiannya dan akal-semangatnya. Ia harus membuka-buka mata massa, menggugah-gugah keyakinan massa, mengobar-ngobarkan semangat massa tentang segala seluk-beluknya nasib dan perjuangan massa. Ia harus memberi keinsyafan tentang apa sebabnya massa sengsara, apa sebabnya kapitalisme-imprealisme bisa merajalela, apa sebabnya harus menuju kejembatan Indonesia-Merdeka, bagaimana jembatan itu harus dicapai, bagaimana membongkar akar-akarnya kapitalisme. Ia pendek-kata harus memberi pendidikan dan keisyafan pada massa buat apa ia berjuang, dan bagaimana ia harus berjuang. Dengan banyak propaganda, massa harus dibuka matanya, dirobek kudung ke-onbewustannya sehingga menjadi bewust melihat segala rahasianya dunia : rapat-rapat umum harus mendengung-dengungkan seruan partai sampai kepuncak angkasa, surat-surat majalah dan selebaran harus terbang kian kemari sebagai daun sejati yang tertiup angin dimusim kemarau, demontrasi-demonstrasi harus beruntun-runtunan sebagai runtunannya ombak samudra. Dengan jalan yang demikian itu,—dengan bersikap cocok dengan instinctnya massa dan membewustkan instinct massa itu—, dengan jalan yang demikian itu, tidak boleh tidak, massa tentu lantas mengindahkan seruannya partai, tentu langsung memandang kepada partai itu sebagai suatu pelopor yang ia dengan penuh kepercayaan suka mengikuti. Diantara obor-obornya pelbagai partai yang masing-masing mengaku mau menjuluhi perjalanan Rakyat, massa lantas melihat hanya satu obor yang terbesar nyalanya dan terterang sinarnya, satu obor yang terdepan jalannya, yakni obornya kita punya partai, obornya kita punya radikalisme !
Tetapi memberi keinsyafan saja belum cukup, memberi ke-bewust­-an saja belum cukup. Keinsyafan adalah benar sangat menghebatkan kemauan massa, keinsyafan adalah sangat mengobarkan semangat massa, keinsyafan adalah benar sangat membajakan keberanian massa,—mengusir tiap-tiap kemauan reformisme dari darah-daging massa—, tetapi keinsyafan sepanjang teori saja belum bisa cukup. Rakyat barulah menjadi radikal didalam segala-galanya kalau keinsyafan itu sudah dibarengi dengan pengalaman-pengalaman sendiri, yakni dengan ervaringen sendiri. Pengalaman-pengalaman inilah yang sangat sekali membuka mata massa tentang kekosongan dan kebohongan taktik reformisme,—meradikalkan semangat massa, meradikalkan kemauan massa, meradilkalkan keberanian massa, meradikalkan ideologi dan activiteitnya massa. “Bukan saja Rakyat tak dapat menulis dan membaca, tetapi juga Rakyat yang terpelajar, haruslah mengalami diatas kulitnya sendiri, betapa kosong, bohong, munafik, dan lemahnya politik tawar-menawar, dan sebaliknya betapa kaum borjuis saban-saban menjadi gemetar bilamana dihadapi dengan suatu aksi yang radikal, yang hanya kenal satu hukum,—hukumnya perlawanan yang tak mau kenal damai”. Inilah ajaran pemimpin besar yang tadi juga sudah sekali saja pinjam perkataannya. Oleh karena itu, partai-pelopor tidak harus hanya membuka mata massa saja;—partai-pelopor harus juga membawa massa keatas padangnya pengalaman, keatas padangnya perjuangan. Diatas padangnya perjuangan inipun partai-pelopor ini pun mengolah tenaganya massa, memelihara dan membesar-besarkan kekuatannya, mengukur-ukur dan menakar-nakar keuletannya massa, menggembleng kekerasan-hati dan energinya massa,—men-“train” segala kepandaiannya dan keberaniannya massa untuk berjuang. “Lebih menggugahkan keinsyafan daripada semua teori adalah perbuatan, perjuangan. Dengan kemenangan-kemenangan perjuangannya melawan simusuh, maka partai menunjukkan kepada massa betapa besar kekuatannya massa itu, dan oleh karenanya pula, membesarkan rasa-kekuatan massa dengan sebesar-besarnya. Tetapi sebaliknya juga, maka kemenangan-kemenangan ini hanyalah bisa terjadi karena suatu teori, yang memberi penjuluhan kepada massa, bagaimana caranya mengambil hasil yang sebanyak-banyaknya daripada kekuatan-kekuatannya setiap waktu”,—begitulah perkataan salah seorang pemimpin lain, dengan sedikit perubahan.
Hanya begitulah sikap yang pantas menjadi sikap suatu partai-radikal yang dengan yakin mau menjadi partai-pelopornya massa : menjuluhi massa, dan berjuang habis-habisan dengan massa; menjuluhi massa sambil berjuang dengan massa,—berjuang dengan massa sambil menjuluhi massa. Didalam perjuangan ini partai-pelopor harus selamanya mengarahkan mata massa dan perhatian massa kepada maksud yang satu-satunya harus menjadi idam-idaman massa : gugurnya stelsel kapitalisme-imprealisme via jembatan Indonesia-Merdeka. Partai-pelopor haruslah selamanya tetap mengonsentrasikan semangat massa, kemauan massa, energi massa kepada satu-satunya maksud itu,—dan tidak lain. Tiap-tiap penyelewengan harus ia buka kedoknya dimuka massa, tiap-tiap penghianatan kepada radikalisme harus ia hukum dimuka mahkamatnya massa, tiap-tiap keinginan akan “menggenuki” untung-untung-kecil-hari sekarang harus ia bakar diatas dapurnya massa, tiap-tiap aliran yang hanya mau menambal masyarakat-amoh ini harus ia musnahkan dengan simumnya radikalisme massa. Satu tujuan, satu arah perlawanan, satu tekad pergulatan, dan bukan dua-tiga, yakni tujuan radikal,—zonder banyak menoleh-noleh melihat dan menggenuki hasil-hasil-kecil-ini-hari!
Dus massa tidak boleh beraksi buat hasil-hasil-kecil-ini-hari ! Tidak begitu, sama sekali tidak begitu ! Massa hanya tidak boleh menggenuki aksi buat hasil-hasil-kecil itu, sehingga lantas lupa akan maksud besar yang tadi-tadinya, atau menomor-duakan maksud-besar yang tadi-tadinya itu. Massa sambil berjalan harus tetap menuju dan mengarahkan matanya kearah puncak gunung Indonesia-Merdeka, memandang hasil-hasil-kecil-itu hanya sebagai bunga-bunga yang ia sambil lalu petik dipinggir jalan. Sebab, selamanya, stelsel kapitalisme-imprealisme belum gugur, maka massa tidak bisa mendapatkan perbaikan nasib yang 100% sempurnanya. Tapi, asal tidak “digenuki”, asal tidak dinomor-satukan, maka perjuangan untuk hasil-sehari-hari itu malahan adalah baik juga untuk memelihara strijdvaardigheidnya massa. Perjuangan untuk hasil-sehari-hari itu malahan harus dijadikan suatu tempat mengolah tenaga dan mengasah hati,—suatu scholing, suatu training, suatu gemblengan-tenaga didalam perjuangan yang lebih besar. “ohne den Kampf  fur Reformen gibt es keinen erfolgreichen Kampf fur die vollkommene Befreiung, onhe den Kampf fur die vollkommene keinen erfolgreiche Kampf fur Reformen” : —“zonder perjuangan buat kemerdekaan, tiada kemenangan bagi perjuangan buat perubahan sehari-hari.” Oleh karena itulah partai-pelopor harus membikin pergerakan massa itu menjadi “nationale bevrijdingsbeweging en hervormingsbeweging tegelijk”, pergerakan untuk kemerdekaan dan untuk perbaikan-perbaikan-ini-hari. Ya, partai-pelopor harus mengerti pula bahwa “die Reform ist ein Nebenprodukt des radikalen Massenkampfes” yakni bahwa “Perbaikan-kecil-kecil itu adalah rontokan daripada perjuangan massa secara radikal”.
Banyak kaum yang menyebut dirinya kaum : “radikal 100%, yang emoh akan “perjuangan kecil” sehari-hari itu. Mereka dengan jijik mencibir kalau melihat partai mengajak massa berjuang buat turunnya belasting, buat lenyapnya herendienst, buat tambahnya upah buruh, buat turunnya tarif-tarif, buat lenyapnya bea-bea, buat perbaikan kecil-sehari-hari, dan selamanya dengan angkuh berkata : “Seratus persen kemerdekaan,—dan hanya aksi buat seratus persen kemerdekaan ! “ Ach, mereka tidak mengetahui, bahwa didalam radicale politiek tidak adalah pertentangan antara perjuangan buat perubahan-sehari-hari dan perjuangan buat kemerdekaan yang leluasa, tetapi justru disesuatu hubungan yang rapat sekali, suatu “perkawinan” yang rapat sekali, suatu wisselwerking” yang rapat sekali. “Zonder perjuangan buat perubahan sehari-hari, tiada kemenangan bagi perjuangan buat kemerdekaan; zonder perjuangan buat kemerdekaan, tiada kemenangan bagi perjuangan buat perubahan sehari-hari” ! Inilah a-b-c-nya radicale actie, inilah ha-na-ca-ra-ka-nya perlawanan radikal : perlawanan-kecil sebagai “moment” daripada perlawanan yang besar, perlawanan-kecil sebagai schakel didalam rantai perlawanan yang besar,—perbedaan sama sekali setinggi langit dengan “perlawanannya” kaum reformis yang hingga buta menggenuki perjuangan sehari-hari untuk perjuangan sehari-hari. Semboyannya “kaum 100%” yang berbunyi : “Seratus persen kemerdekaan, dan hanya aksi buat seratus persen kemerdekaan”, semboyan itu harus kita koreksi menjadi “seratus persen kemerdekaan, dan aksi apa saja yang mencepatkan seratus persen kemerdekaan ! “, dan politik reformisme harus kita enyahkan kedalam kabutnya keadaan, kita usir kedalam liang-kuburnya kematian,—komedi bodor ketawanya Rakyat. Demikian, dan hanya demikian partai-pelopor harus bekerja !
Tapi toh masih ada satu hal lagi dari “kaum 100%” itu yang harus kita koreksi : mereka biasa sekali mendo’akan Rakyat menjadi lebih sengsara, katanya supaya Rakyat lantas suka bergerak habis-habisan ! Mereka suka-syukur, kalau belasting dinaikkan, kalau upah-buruh diturunkan, kalau bea-bea dinaikkan, kalau tarif-tarif ditinggikan, kalau Marhaen disengsarakan,—semua “supaya Marhaen lebih rajin suka bergerak”. O, suatu pendirian yang jahat sekali, suatu pendirian yang durhaka sekali. Orang yang mempunyai pendirian yang demikian itu pantas ditutup didalam penjara seumur hidup ! Kaum “pemimpin-pemimpin” yang demikian inilah yang selama ini saya namakan pemimpin-bejat yang kepalanya penuh dengan kebutekannya orang yang putus-asa, pemimpin-bejat yang pikirannya keblinger dan penuh dengan “wanhoopstheorie”. Wanhoopstheorie, keputus-asaan, oleh karena mereka dengan kesengsaraan Rakyat yang sekarang ini tidak bisa membewustkan Rakyat, dan lantas mengharap supaya Rakyat menjadi lebih sengsara, lebih melarat. Wanhoopstheorie, oleh karena mereka lekas putus-asa kalau mengalami bahwa Rakyat tak gampang dibewustkan dengan satu-dua-tiga, dan lantas mengharap supaya Rakyat lebih lagi mendekati maut, katanya agar Rakyat lantas gampang sedar dan sukar bergerak secara radikal ! O, pemimpin-bejat ! Pemimpin kejam ! Bergerak tidak buat meringankan nasib Rakyat, tapi bergerak buat…..bergerak ! “Pemimpin” yang demikian itu boleh sendiri merasakan apa artinya makan hanya satu kali satu hari ! Mengharap tambahnya kesengsaraan Rakyat ! Apakah Rakyat kini belum cukup sengsara ? Belum cukup megap-megap ? Belum cukup dekat dengan maut ? Belum cukup menjatuhkan air-mata sehari-hari ?
Tambahnya kesengsaraan diharapkan diharapkan buat tambahnya radikalisme ? Pemimpin-bejat, buat saja, lemparkanlah kalau perlu semua radikalisme kedalam samudra, asal kesengsaraan Rakyat hilang ! Pemimpin bodoh, —mengira bahwa kesengsaraan saja sudah bisa melahirkan radikalisme massa ! Radikalisme massa tidak bisa subur dengan hanya kemelaratan saja. Radikalisme massa adalah lahir daripada perkawinannya kesengsaraan massa dengan didikan massa, perkawinannya kesengsaraan massa dengan didikan massa, perkawinannya kemelaratan massa dengan perjuangan massa ! jikalau kesengsaraan saja sudah cukup buat melahirkan radikalisme massa, amboi, barangkali seluruh Rakyat Indonesia kini sudah radikal “mbahnya radikal, ya barangkali Indonesia sudah merdeka ! Tetapi tidak ! Kesengsaraan saja tidak cukup ! “Kesengsaraan memang benar melahirkan radikalisme massa, tetapi hanya kalau massa itu tidak memikul kesengsaraan itu dengan diam-diam nrimo, melainkan berjuang habis-habisan melawan kesengsaraan itu saban hari “,—begitulah Liebknecht pernah berkata[ii], Hanya jikalau kesengsaraan itu dibarengi dengan didikan massa, dibarengi dengan perjuangan massa, dengan perlawanan massa, dengan aksi massa menentang kesengsaraan itu, maka kesengsaraan bisa melahirkan dan menyuburkan radikalisme diantara kalangan massa. Maka olehnya karena itu, dengan kesengsaraan yang sekarang ini saja,—zonder harus mengharapkan lagi tambahnya, sebagai kaum wanhoopstheorie—, partai-pelopor sudah bisa membikin seluruh massa menjadi satu lautan radikalisme yang bergelombang-gelombangan, asal saja ia pandai membuka mata massa dan pandai mengolah tenaga massa melawan kesengsaraan itu !
Dan kaum wenhoopstheorie memberi bukti tidak bisa mengerjakan hal yang belakangan ini. Terkutuklah mereka kalau lantas mendo’akan tambahnya kesengsaraan Rakyat ! Audzhubillah himinasj sjaitonirrodzjim !
Tetapi kaum partai-pelopor yang sejati, kamu harus bisa mengerjakan syarat itu ! Adakanlah propaganda dimana-mana, adakanlah kursus dimana-mana, adakanlah perlawanan dimana-mana, adakan anak-anak organisasi, adakan vakbond-vakbond dan sarekat-tani—, adakan majalah-majalah dan pamflet-pamflet dan risalah-risalah, pendek-kata adakanlah aksi dimana-mana, dan massa yang tadinya tidur seakan-akan tergendam oleh sapa-mantramnya imprealisme, niscaya akan bangunlah tertiup oleh angin-hangatnya aksimu itu. Kamu sanggup bekerja,— wahai bekerjalah menurut perjanjianmu. Bekerjalah dengan segala organisatie-talentmu, bekerjalah sepuncak keuletanmu, bekerjalah memeras tenagamu menyusun dan membangkitkan partai beserta vakbond-vakbond dan sarekat-tani, —sekali lagi terutama vakbond dan sarekat-tani !—, ya didalam massa-aksi ada faedahnya juga banyak bergembar-gembor ! Gemborkanlah juga gurungmu sampai suaramu memenuhi alam, gerakkanlah juga penamu sampai ujungnya menyala-nyala. Kaum reformis mengejekkan kamu, bahwa kamu terlalu banyak bergembar-gembor ? Haha, itu kaum ngalamun ! Tidak mengetahui bahwa tiap-tiap massa-aksi ditiap-tiap waktu pergolakan adalah berupa banyak mengorganisasi dan banyak bergembar-gembor,—banyak menyusun, banyak mendirikan, banyak kracheten-contructie dan-formatie dan-combinatie, tetapi juga banyak bergembar-gembor dengan mulut dan pena. Biar mereka mengejek, biar mereka terus ngelamun, mereka punya politik toh segera akan kedinginan didalam kabut-pengalamunannya itu. Dan mereka menyebutkan kita kaum “destructief “, yakni kaum yang “hanya bisa merusak saja” katanya tidak “contructief” seperti mereka, yang “politiknya” ada “buktinya” yang berupa rumah-sakit atau warung-koperasi atau bank atau rumah anak-yatim ?
O, perkataan jampi-jampi, o, perkataan peneluh, o, perkataan mantram, o, tooverwoordcontructief” dan “destructief “,—begitlah saya pernah marah-marah dalam S.I.M[iii] dan F.R[iv] Sebagian besar dari pada pergerakan Indonesia kini seolah-olah kini kena gendhamnya mantram itu ! Sebagian besar pergerakan Indonesia mengira, bahwa orang adalah “contructief” hanya kalau orang mengadakan barang-barang yang boleh di raba saja, yakni hanya kalau orang mendirikan warung, mendirikan koperasi, mendirikan sekolah-tenun, mendirikan rumah anak-yatim, mendirikan bank-bank dan lain-lain sebagainya saja, —pendek-kata hanya kalau orang banyak mendirikan badan-badan sosial saja ! —, sedang kaum propagandis politik yang sehari-kesehari “Cuma bicara saja” diatas podium atau didalam surat-kabar, yang barangkali sangat sekali menggugahkan keinsyafan politik daripada Rakyat-jelata, dengan tiada ampun lagi diberinya cap “destructief “ alias orang “merusak” dan “tidak mendirikan suatu apa” !
Tidak sekejap mata masuk didalam otak kaum itu, bahwa semboyan “jangan banyak bicara” bekerjalah !” harus diartikan dalam arti yang luas. Tidak sekejap mata masuk didalam otak kaum itu, bahwa “bekerja” itu tidak hanya berarti mendirikan barang-barang yang boleh dilihat dan diraba saja, yakni barang-barang yang tastbaar dan materill. Tidak sekejap mata kaum itu mengerti bahwa perkataan “mendirikan” itu juga boleh dipakai untuk barang yang abstrak, yakni bisa berarti mendirikan semangat, mendirikan keinsyafan, mendirikan harapan, mendirikan ideologi atau geestelijk gebouw atau geestelijke artillerie yang menurut sejarah-dunia akhirnya adalah salahsatu artillerie yang hebat buat menggugurkan sesuatu stelsel. Tidak sekejap mata kaum itu mengerti bahwa terutama sekali di Indonesia dengan masyarakat yang merk-ketjil dan dengan imprealisme yang industriil itu, ada baiknya juga kita gembar-gembor, didalam arti membanting kita punya tulang, mengucurkan kita punya keringat, memeras kita punya tenaga untuk membuka-bukakan matanya Rakyat-jelata tentang stelsel yang mencengkram padanya, menggugah-gugahkan keinsyafan-politik daripada Rakyat-jelata itu, dibarengi dengan menyusun-nyusunkan segala tenaganya didalam organisasi-organisasi yang sempurna tekniknya dan sempurna disiplinnya, misalnya vanbond dan sarekat-tani, —pendek-kata menghidup-hidupkan dan membesar-besarkan massa-aksi daripada Rakyat-jelata itu adanya !
Kita boleh mendirikan warung, kita boleh mendirikan koperasi, kita boleh mendirikan rumah anak-yatim, kita boleh mendirikan badan-badan ekonomi dan sosial, ya, kita ada baiknya mendirikan badan-badan ekonomi dan sosial, asal saja mengusahakan badan-badan-ekonomi dan sosial itu sebagai tempat-tempat pendidikan persatuan radikal dan sepak-terjang radikal. Kita ada baiknya mendirikan badan-badan-ekonomi dan sosial itu, asal saja kita tidak “menggenuki” pekerjaan-ekonomi dan sosial itu menjadi pekerjaan yang pertama, sambil melupakan bahwa Indonesia-Merdeka hanyalah bisa tercapai dengan politieke massa-actie daripada Rakyat Marhaen yang hebat dan radikal. Pendek-kata ada baiknya mendirikan badan-badan-ekonomi dan sosial itu, asal saja kita mengusahakan badan-badan-ekonomi dan sosial itu sebagai alat-alat daripada politieke massa-actie yang hebat dan radikal itu ! Kita, kaum massa-aksi, kita jangan terkena “contructivisme” yang menyuruh kita hanya mendirikan warung-warung dan kedai-kedai saja. Kita harus insyaf, bahwa contructivisme kita bukanlah contructivismenya kaum reformis yang warung-warungan dan kedai-kedaian itu, tetapi ialah contructivismenya radikalisme : contructivismenya yang tiap-tiap hal yang ia dirikan, baik wadag maupun halus, baik benda maupun semangat, adalah dengan tertentu bersifat radicaal-dynamisch membongkar tiap-tiap batu asalnya gedung stelsel imprealisme dan kapitalisme.

Contructivisme yang mendirikan!
Tetapi juga contructivisme yang membongkar!
Dan kaum reformis boleh terus mengejek atau menggerutu!

[1] Artinya concessie : Kalau simusuh, karena desakan kita, lantas menuruti sebagian atau semua tuntutan-tuntutan kita, maka simusuh itu adalah menjalankan concessive.
[i] August Bebel
[ii] Die Verelendung wird zu einer Ursache Radikalisierung der Massen, aber nur deshalb, weil die Massen die wachsende Verelendung nicht passiv ertragen, sondern einen taglichen Kampf gegen die Verelendung fuhren.
[iii] Suluh Indonesia Muda”
[iv] Fikiran Ra’jati