Banyak pemimpin sekarang alergi
dengan kata “Revolusi”. Yang ada di kepala mereka: kata ‘Revolusi’ identik
dengan kaum kiri. Kata itu paling sering digembor-gemborkan kaum komunis!
Begitulah kira-kira anggapan sebagian pemimpin sekarang.
Tetapi, di jaman ketika Republik ini
baru diperjuangkan, kata “Revolusi” sangat digandrungi. Hampir semua kalangan
pergerakan, baik nasionalis, marxis, maupun islamis, sangat akrab dengan kata
“Revolusi”.
Tidak terkecuali Bung Karno. Boleh
dikatakan, sejak Bung Karno menginjakkan kaki di dunia pergerakan, ia sudah sangat
akrab dengan kata “Revolusi”. Hampir tidak ada tulisan dan pidato-pidatonya
yang absen menyebut revolusi.
Akibatnya, pada Desember 1929,
Soekarno ditangkap. Penguasa kolonial menuding pemimpin Partai Nasional
Indonesia (PNI) ini sedang mempersiapkan sebuah “revolusi”. Maklum, Belanda
masih trauma dengan revolusi-nya PKI pada tahun 1926/1927 di Jawa dan Sumatera.
Setahun kemudian, ia menjalani
proses persidangan. Pidato pembelaannya diberi judul “Indonesia Menggugat”. Di
situ, Soekarno secara khusus menggeledah pengertian revolusi dan revolusioner.
Revolusioner, kata Soekarno, berarti
radikal, yaitu mau mengadakan perubahan dengan lekas. Bagi Soekarno,
revolusioner tidak hanya melekat kepada “kaum merah”, tetapi kepada siapa saja
yang menghendaki perubahan cepat.
Soekarno pun segera meminjam
penjelasan Karl Marx:
“Kaum sosialis adalah revolusioner,
bukan karena bertingkah laku keras, tapi karena anggapan mereka tentang
tumbuhnya cara produksi, yakni: di dalam pertumbuhan itu harus ditimbulkan
pengertian-pengertian dan bentuk baru tentang milik dan produksi. Sebaliknya
anggapan dari orang sekarang, mereka itu revolusioner karena cita-cita dan
usahanya menyusun dan membikin matang untuk itu, kelas yang harus akan
melaksanakan sistem baru itu.”
Soekarno dengan terus terang
mengatakan, “PNI adalah suatu partai yang ingin membikin revolusi-revolusi”.
Sayang, PNI tidak berkembang lama karena segera direpresi oleh penguasa
kolonial.
Belakangan, Soekarno punya rumusan
sendiri tentang apa itu revolusi. Soekarno merumuskan arti dan hakekat tiap
revolusi sebagai “perombakan, penjebolan, penghancuran, pembinasaan dari semua
yang tidak kita sukai, dan membangun apa yang kita sukai. Revolusi adalah
perang melawan keadaan yang tua untuk melahirkan keadaan yang baru.”
Kita akrab dengan pengertian
revolusi ala Bung Karno: menjebol dan membangun. Dengan demikian, revolusi ala
Soekarno tidak mengenal kata “berhenti”. Ia akan terus menjebol dan membangun.
Bahkan, dengan merujuk pada marxisme, Soekarno menganggap revolusi sebagai
lokomotif dari sejarah perkembangan manusia itu sendiri.
Ini yang membedakan dengan Bung
Hatta. Pada Desember 1956, Bung Hatta menyampaikan sebuah pidato penting. Di
pidato itu ia mengatakan, “sudah saatnya revolusi harus dibendung”. Hatta
menjelaskan, “tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama, sebab apabila tidak
dibendung dalam waktu yang tepat, pasak dan tiang yang jadi longgar tadi terus
berantakan. Sementara itu, anasir-anasir baru memasukinya, mengambil keuntungan
dari situ, dan antara merdeka dan anarki, tidak terang lagi batasnya…”
Setiap revolusi punya hukum-hukum.
Sebagai seorang penganut materialisme historis, Soekarno tahu betul bahwa
hukum-hukum revolusi tidak bisa dilepaskan dari tahap perkembangan masyarakat.
Bung Karno pun menjelaskan hukum-hukum
revolusi:
Pertama, setiap revolusi mesti punya
kawan dan punya lawan. Setiap kekuatan revolusi harus sanggup mendefenisikan
siapa kawan dan siapa lawan. Dan, setelah itu, harus ditarik garis pemisah yang
terang antara siapa kawan dan siapa lawan dalam revolusi Indonesia.
Pada tahap revolusi nasional
demokratis, musuh revolusi Indonesia adalah imperialisme dan feodalisme.
Dengan demikian, kawan dalam tahap revolusi ini adalah semua kekuatan
revolusioner yang menentang imperialisme dan feodalisme.
Kedua, setiap revolusi yang
benar-benar Revolusi bukanlah “revolusi istana” atau “revolusi pemimpin”,
melainkan Revolusi Rakyat; oleh sebab itu, maka Revolusi tidak boleh “main
atas” saja, tetapi harus dijalankan dari atas dan dari bawah;
Soekarno sangat menentang revolusi
istana. Ia, seperti juga Lenin, mengartikan revolusi sebagai “pesta rakyat
tertindas”: rakyat yang berabad-abah dihisap dan tak dapat kekuasaan apapun,
mencapai kebebasannya dalam saat-saat revolusi tersebut.
Ketiga, setiap revolusi adalah simfoninya
destruksi dan konstruksi, simfoninya penjebolan dan pembangunan. Sebab, kalau
destruksi atau penjebolan saja tanpa konstruksi atau pembangunan maka saja
dengan kekacauan, dan sebaliknya; konstruksi atau pembangunan saja tanpa
destruksi atau penjebolan berarti kompromi, reformisme.
Keempat, setiap revolusi selalu
punya tahap-tahapnya. Soekarno menggariskan Revolusi Indonesia harus melalui
dua tahap: tahap nasional-demokratis dan tahap Sosialis. Tahap yang pertama
meretas jalan buat yang kedua, tahap yang pertama harus dirampungkan dulu,
tetapi sesudah rampung harus ditingkatkan kepada tahap yang kedua; – inilah
dialektika Revolusi.
Kelima, Revolusi harus punya Program
yang jelas dan tepat. Soekarno mengambil contoh Revolusi Indonesia. Revolusi
Indonenesia dirumuskan sangat jelas dalam Manifesto Politik (Manipol).
Keenam, Revolusi harus punya
soko-guru yang tepat dan punya pimpinan yang tepat, yang berpandangan jauh
kemuka, yang konsekwen, yang sanggup melaksanakan tugas-tugas Revolusi sampai
pada akhirnya.
Soekarno menekankan, “kaum buruh dan
kaum tani, baik karena vitalnya maupun karena sangat banyak jumlahnya, harus
menjadi kekuatan pokok dalam revolusi dan menjadi sokoguru masyarakat adil dan
makmur di Indonesia.”
Sejak berkecimpung dalam pergerakan,
Soekarno sudah menekankan arti penting kepeloporan proletar. Alasannya, menurut
Soekarno, proletar sebagai klas berhadapan langsung dengan kapitalisme. Selain
itu, hanya proletar yang mengerti hukum objektif perkembangan
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Meski demikian, dalam tahap revolusi
yang pertama, nasional-demokratis, kunci kemenangan revolusi ada di kaum tani
dan marhaen pada umumnya. Sebab, merekalah kekuatan mayoritas dalam susunan
rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, mengingat perangnya
sebagai soko-guru revolusi, maka kaum buruh dan tani harus sadar-politik dan
sadar revolusi. Artinya, gerakan buruh dan tani harus memahami hakekat
perjuangan politik dan, secara bersamaan, tahu cara melaksanakan revolusi.
Setiap revolusi mesti punya tujuan
alias “hari depan”. Soekarno dalam pidato Manipol dengan tegas
mengatakan, “hari depan Revolusi Indonesia bukanlah ke kapitalisme dan sama
sekali bukan menuju ke feodalisme, akan tetapi menuju ke Sosialisme yang
disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang tepat di Indonesia, dengan rakyat
Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan rakyat
Indonesia.”
Karena Revolusi Indonesia mengarah
pada dunia baru bernama Sosialisme, maka Soekarno menegaskan bahwa Revolusi
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari revolusi besar dunia.
TIMUR SUBANGUN, Kontributor Berdikari Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar