Selasa, 22 Mei 2012

BUNG KARNO Dan SOAL-SOAL “REVOLUSI”


Banyak pemimpin sekarang alergi dengan kata “Revolusi”. Yang ada di kepala mereka: kata ‘Revolusi’ identik dengan kaum kiri. Kata itu paling sering digembor-gemborkan kaum komunis! Begitulah kira-kira anggapan sebagian pemimpin sekarang.
Tetapi, di jaman ketika Republik ini baru diperjuangkan, kata “Revolusi” sangat digandrungi. Hampir semua kalangan pergerakan, baik nasionalis, marxis, maupun islamis, sangat akrab dengan kata “Revolusi”.
Tidak terkecuali Bung Karno. Boleh dikatakan, sejak Bung Karno menginjakkan kaki di dunia pergerakan, ia sudah sangat akrab dengan kata “Revolusi”. Hampir tidak ada tulisan dan pidato-pidatonya yang absen menyebut revolusi.
Akibatnya, pada Desember 1929, Soekarno ditangkap. Penguasa kolonial menuding pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) ini sedang mempersiapkan sebuah “revolusi”. Maklum, Belanda masih trauma dengan revolusi-nya PKI pada tahun 1926/1927 di Jawa dan Sumatera.
Setahun kemudian, ia menjalani proses persidangan. Pidato pembelaannya diberi judul “Indonesia Menggugat”. Di situ, Soekarno secara khusus menggeledah pengertian revolusi dan revolusioner.
Revolusioner, kata Soekarno, berarti radikal, yaitu mau mengadakan perubahan dengan lekas. Bagi Soekarno, revolusioner tidak hanya melekat kepada “kaum merah”, tetapi kepada siapa saja yang menghendaki perubahan cepat.
Soekarno pun segera meminjam penjelasan Karl Marx:
“Kaum sosialis adalah revolusioner, bukan karena bertingkah laku keras, tapi karena anggapan mereka tentang tumbuhnya cara produksi, yakni: di dalam pertumbuhan itu harus ditimbulkan pengertian-pengertian dan bentuk baru tentang milik dan produksi. Sebaliknya anggapan dari orang sekarang, mereka itu revolusioner karena cita-cita dan usahanya menyusun dan membikin matang untuk itu, kelas yang harus akan melaksanakan sistem baru itu.”
Soekarno dengan terus terang mengatakan, “PNI adalah suatu partai yang ingin membikin revolusi-revolusi”. Sayang, PNI tidak berkembang lama karena segera direpresi oleh penguasa kolonial.
Belakangan, Soekarno punya rumusan sendiri tentang apa itu revolusi. Soekarno merumuskan arti dan hakekat tiap revolusi sebagai “perombakan, penjebolan, penghancuran, pembinasaan dari semua yang tidak kita sukai, dan membangun apa yang kita sukai. Revolusi adalah perang melawan keadaan yang tua untuk melahirkan keadaan yang baru.”
Kita akrab dengan pengertian revolusi ala Bung Karno: menjebol dan membangun. Dengan demikian, revolusi ala Soekarno tidak mengenal kata “berhenti”. Ia akan terus menjebol dan membangun. Bahkan, dengan merujuk pada marxisme, Soekarno menganggap revolusi sebagai lokomotif dari sejarah perkembangan manusia itu sendiri.
Ini yang membedakan dengan Bung Hatta. Pada Desember 1956, Bung Hatta menyampaikan sebuah pidato penting. Di pidato itu ia mengatakan, “sudah saatnya revolusi harus dibendung”. Hatta menjelaskan, “tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama, sebab apabila tidak dibendung dalam waktu yang tepat, pasak dan tiang yang jadi longgar tadi terus berantakan. Sementara itu, anasir-anasir baru memasukinya, mengambil keuntungan dari situ, dan antara merdeka dan anarki, tidak terang lagi batasnya…”
Setiap revolusi punya hukum-hukum. Sebagai seorang penganut materialisme historis, Soekarno tahu betul bahwa hukum-hukum revolusi tidak bisa dilepaskan dari tahap perkembangan masyarakat.
Bung Karno pun menjelaskan hukum-hukum revolusi:
Pertama, setiap revolusi mesti punya kawan dan punya lawan. Setiap kekuatan revolusi harus sanggup mendefenisikan siapa kawan dan siapa lawan. Dan, setelah itu, harus ditarik garis pemisah yang terang antara siapa kawan dan siapa lawan dalam revolusi Indonesia.
Pada tahap revolusi nasional demokratis, musuh revolusi Indonesia adalah imperialisme dan feodalisme.  Dengan demikian, kawan dalam tahap revolusi ini adalah semua kekuatan revolusioner yang menentang imperialisme dan feodalisme.
Kedua, setiap revolusi yang benar-benar Revolusi bukanlah “revolusi istana” atau “revolusi pemimpin”, melainkan Revolusi Rakyat; oleh sebab itu, maka Revolusi tidak boleh “main atas” saja, tetapi harus dijalankan dari atas dan dari bawah;
Soekarno sangat menentang revolusi istana. Ia, seperti juga Lenin, mengartikan revolusi sebagai “pesta rakyat tertindas”: rakyat yang berabad-abah dihisap dan tak dapat kekuasaan apapun, mencapai kebebasannya dalam saat-saat revolusi tersebut.
Ketiga, setiap revolusi adalah simfoninya destruksi dan konstruksi, simfoninya penjebolan dan pembangunan. Sebab, kalau destruksi atau penjebolan saja tanpa konstruksi atau pembangunan maka saja dengan kekacauan, dan sebaliknya; konstruksi atau pembangunan saja tanpa destruksi atau penjebolan berarti kompromi, reformisme.
Keempat, setiap revolusi selalu punya tahap-tahapnya. Soekarno menggariskan Revolusi Indonesia harus melalui dua tahap: tahap nasional-demokratis dan tahap Sosialis. Tahap yang pertama meretas jalan buat yang kedua, tahap yang pertama harus dirampungkan dulu, tetapi sesudah rampung harus ditingkatkan kepada tahap yang kedua; – inilah dialektika Revolusi.
Kelima, Revolusi harus punya Program yang jelas dan tepat. Soekarno mengambil contoh Revolusi Indonesia. Revolusi Indonenesia dirumuskan sangat jelas dalam Manifesto Politik (Manipol).
Keenam, Revolusi harus punya soko-guru yang tepat dan punya pimpinan yang tepat, yang berpandangan jauh kemuka, yang konsekwen, yang sanggup melaksanakan tugas-tugas Revolusi sampai pada akhirnya.
Soekarno menekankan, “kaum buruh dan kaum tani, baik karena vitalnya maupun karena sangat banyak jumlahnya, harus menjadi kekuatan pokok dalam revolusi dan menjadi sokoguru masyarakat adil dan makmur di Indonesia.”
Sejak berkecimpung dalam pergerakan, Soekarno sudah menekankan arti penting kepeloporan proletar. Alasannya, menurut Soekarno, proletar sebagai klas berhadapan langsung dengan kapitalisme. Selain itu, hanya proletar yang mengerti hukum objektif perkembangan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Meski demikian, dalam tahap revolusi yang pertama, nasional-demokratis, kunci kemenangan revolusi ada di kaum tani dan marhaen pada umumnya. Sebab, merekalah kekuatan mayoritas dalam susunan rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, mengingat perangnya sebagai soko-guru revolusi, maka kaum buruh dan tani harus sadar-politik dan sadar revolusi. Artinya, gerakan buruh dan tani harus memahami hakekat perjuangan politik dan, secara bersamaan, tahu cara melaksanakan revolusi.
Setiap revolusi mesti punya tujuan alias “hari depan”. Soekarno  dalam pidato Manipol dengan tegas mengatakan, “hari depan Revolusi Indonesia bukanlah ke kapitalisme dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme, akan tetapi menuju ke Sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang tepat di Indonesia, dengan rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan rakyat Indonesia.”
Karena Revolusi Indonesia mengarah pada dunia baru bernama Sosialisme, maka Soekarno menegaskan bahwa Revolusi Indonesia tidak bisa dipisahkan dari revolusi besar dunia.
TIMUR SUBANGUN, Kontributor Berdikari Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar