Oleh: Priyono
10 Oktober 2011 www.forum keadilan.com
Misi
utama demokrasi adalah terselenggaranya aturan-aturan hukum (rule of
law) dan terciptanya pemerintahan yang bersih atau good governance
(Rochman Achwan, 2000). Namun sejumlah peneliti memandang Indonesia di
masa transisi adalah bagaikan pasar bebas. Di dalamnya terjadi interaksi
antar aktor dan berbagai kepentingan yang melakukan transaksi-transaksi
ekonomi dengan cara melanggar hukum yang melibakan korporasi, pejabat
birokrasi, pelaksana hukum, dan politisi.
Oleh karena itu kajian sosiologis tentang relasi antara kekuasaan dan korporasi di masa Orde Baru maupun masa transisi, akan lebih jelas dan menarik bila dipadukan dengan kajian kriminologi yang menekankan pada aspek pelaku, modus (cara), motif, dan korban.
Di masa transisi, demokratisasi telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Namun, interaksi antara lembaga-lembaga pemerintahan dan lembaga politik dengan korporasi, telah memunculkan bentuk baru kekuasaan korporasi. Christian Chua (2008) melihat bahwa Indonesia di masa transformasi, pengusaha kaya turut memainkan peran penting dalam penyelenggaraan negara. Chua menyebut fenomena ini sebagai plutokrasi, yang secara harafiah dapat diterjemahkan dengan “peranan orang kaya” (plutokrat).
Jeffrey A. Winters (2001) memandang Indonesia belum beranjak dari negara oligarki, walaupun proses kemunculannya berbeda dengan fenomena terjadinya oligarki di masa Orde Baru. Oligarki adalah sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol kehidupan ekonomi dan politik. Oligarki muncul sebagai akibat adanya stratifikasi kekayaan. Di masa Orde Baru, menurut Winters, fenomena stratifikasi kekayaan muncul secara kentara sejak Soeharto berkuasa, yakni ketika dia membagikan kesempatan usaha dan investasi kepada sekelompok pengusaha tetentu.
Winters melihat bahwa di masa demokrasi muncul bentuk baru oligarki, yakni oligarki kekuasaan yang tidak tunduk kepada sistem hukum dan menyebabkan terjadinya berbagai tindak korupsi. Sebagai akibatnya, di satu sisi Indonesia menjadi negara paling demokratis, namun di sisi lain menjadi salah satu negara paling korup di dunia.
Paulus Wirutomo (2000) juga melihat bahwa demokratisasi tidak berjalan seiring dengan penegakkan hukum. Rasa keadilan masyarakat telah dikecewakan oleh berbagai keputusan pengadilan yang cenderung berpihak kepada para pemilik kekayaan atau modal. Dalam situasi ini, supremasi hukum praktis diartikan sebagai subordinasi masyarakat terhadap hukum (Wirutomo, 2000)
Karena demokrasi dan desentralisasi membutuhkan biaya, maka menurut sosiolog Singapura Vedi R Hadiz (2007) akitivitas partai juga dijalankan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi untuk memobilisasi massa. Selanjutnya, kepentingan kekuasaan yang bertemu dengan pertimbangan ekonomi, membawa dampak meluasnya korupsi, kekerasan, merebaknya money politics, dan munculnya politik gangster. Hal ini dikarenakan konstituen partai belum memiliki kemampuan dan kesadaran membiayai partai.
Dengan sudut pandang krimonologi, Muhammad Mustopa (2010:vii), menilai bahwa Indonesia di masa reformasi bergerak ke arah negara kleptokrasi. Suatu negara kleptokrasi dicirikan antara lain oleh adanya tingkat korupsi yang tinggi di kalangan birokrasi pemerintahan (eksekutif), birokrasi legislatif, dan birokrasi yudikatif.
Menurut Michael Johnston (2000:4), dalam situasi seperti itu yang menjadi penguasa adalah kekuatan pasar gelap, mafioso, ekonomi kartel, sistem klientelisme, bahkan tentara pribadi. Manakala ekonomi pasar bebas dicanangkan, yang tumbuh justru sektor-sektor illegal. Sebaliknya sektor legal justru sulit berkembang.
Jonhston menyimpulkan bahwa menggejalanya korupsi si suatu negara, menunjukkan lemahnya institusi-institusi negara, lembaga-lembaga demokrasi, dan partisipasi pasar. Dengan kata lain, institusi negara yang lemah akan menyuburkan korupsi. Sebaliknya, korupsi akan memperlemah institusi negara, lembaga-lembaga politik, dan persaingan ekonomi secara sehat.
Permasalahan yang diajukan dalam disertasi ini adalah kemunculan pola baru jaringan sosial kejahatan korporasi di Indonesia. Bila di masa Orde Baru jaringan kejahatan tersentralisasi pada kekuasaan oligarki Soeharto (George Junus Aditjondro, 2006:4) sebagai aktor utamanya, kini jaringan kejahatan korporasi melibatkan berbagai aktor dari lingkungan kekuasaan yang telah terdesentralisasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, baik di lembaga negara maupun lembaga-lembaga politik, bahkan lembaga-lembaga civil society seperti media massa.
Oleh karena itu kajian sosiologis tentang relasi antara kekuasaan dan korporasi di masa Orde Baru maupun masa transisi, akan lebih jelas dan menarik bila dipadukan dengan kajian kriminologi yang menekankan pada aspek pelaku, modus (cara), motif, dan korban.
Di masa transisi, demokratisasi telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Namun, interaksi antara lembaga-lembaga pemerintahan dan lembaga politik dengan korporasi, telah memunculkan bentuk baru kekuasaan korporasi. Christian Chua (2008) melihat bahwa Indonesia di masa transformasi, pengusaha kaya turut memainkan peran penting dalam penyelenggaraan negara. Chua menyebut fenomena ini sebagai plutokrasi, yang secara harafiah dapat diterjemahkan dengan “peranan orang kaya” (plutokrat).
Jeffrey A. Winters (2001) memandang Indonesia belum beranjak dari negara oligarki, walaupun proses kemunculannya berbeda dengan fenomena terjadinya oligarki di masa Orde Baru. Oligarki adalah sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol kehidupan ekonomi dan politik. Oligarki muncul sebagai akibat adanya stratifikasi kekayaan. Di masa Orde Baru, menurut Winters, fenomena stratifikasi kekayaan muncul secara kentara sejak Soeharto berkuasa, yakni ketika dia membagikan kesempatan usaha dan investasi kepada sekelompok pengusaha tetentu.
Winters melihat bahwa di masa demokrasi muncul bentuk baru oligarki, yakni oligarki kekuasaan yang tidak tunduk kepada sistem hukum dan menyebabkan terjadinya berbagai tindak korupsi. Sebagai akibatnya, di satu sisi Indonesia menjadi negara paling demokratis, namun di sisi lain menjadi salah satu negara paling korup di dunia.
Paulus Wirutomo (2000) juga melihat bahwa demokratisasi tidak berjalan seiring dengan penegakkan hukum. Rasa keadilan masyarakat telah dikecewakan oleh berbagai keputusan pengadilan yang cenderung berpihak kepada para pemilik kekayaan atau modal. Dalam situasi ini, supremasi hukum praktis diartikan sebagai subordinasi masyarakat terhadap hukum (Wirutomo, 2000)
Karena demokrasi dan desentralisasi membutuhkan biaya, maka menurut sosiolog Singapura Vedi R Hadiz (2007) akitivitas partai juga dijalankan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi untuk memobilisasi massa. Selanjutnya, kepentingan kekuasaan yang bertemu dengan pertimbangan ekonomi, membawa dampak meluasnya korupsi, kekerasan, merebaknya money politics, dan munculnya politik gangster. Hal ini dikarenakan konstituen partai belum memiliki kemampuan dan kesadaran membiayai partai.
Dengan sudut pandang krimonologi, Muhammad Mustopa (2010:vii), menilai bahwa Indonesia di masa reformasi bergerak ke arah negara kleptokrasi. Suatu negara kleptokrasi dicirikan antara lain oleh adanya tingkat korupsi yang tinggi di kalangan birokrasi pemerintahan (eksekutif), birokrasi legislatif, dan birokrasi yudikatif.
Menurut Michael Johnston (2000:4), dalam situasi seperti itu yang menjadi penguasa adalah kekuatan pasar gelap, mafioso, ekonomi kartel, sistem klientelisme, bahkan tentara pribadi. Manakala ekonomi pasar bebas dicanangkan, yang tumbuh justru sektor-sektor illegal. Sebaliknya sektor legal justru sulit berkembang.
Jonhston menyimpulkan bahwa menggejalanya korupsi si suatu negara, menunjukkan lemahnya institusi-institusi negara, lembaga-lembaga demokrasi, dan partisipasi pasar. Dengan kata lain, institusi negara yang lemah akan menyuburkan korupsi. Sebaliknya, korupsi akan memperlemah institusi negara, lembaga-lembaga politik, dan persaingan ekonomi secara sehat.
Permasalahan yang diajukan dalam disertasi ini adalah kemunculan pola baru jaringan sosial kejahatan korporasi di Indonesia. Bila di masa Orde Baru jaringan kejahatan tersentralisasi pada kekuasaan oligarki Soeharto (George Junus Aditjondro, 2006:4) sebagai aktor utamanya, kini jaringan kejahatan korporasi melibatkan berbagai aktor dari lingkungan kekuasaan yang telah terdesentralisasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, baik di lembaga negara maupun lembaga-lembaga politik, bahkan lembaga-lembaga civil society seperti media massa.