Sabtu, 30 Juni 2012

JARINGAN SOSIAL KEJAHATAN KORPORASI

Oleh: Priyono
10 Oktober 2011 www.forum keadilan.com

Misi utama demokrasi adalah terselenggaranya aturan-aturan hukum (rule of law) dan terciptanya pemerintahan yang bersih atau good governance (Rochman Achwan, 2000). Namun sejumlah peneliti memandang Indonesia di masa transisi adalah bagaikan pasar bebas. Di dalamnya terjadi interaksi antar aktor dan berbagai kepentingan yang melakukan transaksi-transaksi ekonomi dengan cara melanggar hukum yang melibakan korporasi, pejabat birokrasi, pelaksana hukum, dan politisi.
    Oleh karena itu kajian sosiologis tentang relasi antara kekuasaan dan korporasi di masa Orde Baru maupun masa transisi, akan lebih jelas dan menarik bila dipadukan dengan kajian kriminologi yang menekankan pada aspek pelaku, modus (cara), motif, dan korban.
     Di masa transisi, demokratisasi telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Namun, interaksi antara lembaga-lembaga pemerintahan dan lembaga politik dengan korporasi, telah memunculkan bentuk baru kekuasaan korporasi. Christian Chua (2008) melihat bahwa Indonesia di masa transformasi, pengusaha kaya turut memainkan peran penting dalam penyelenggaraan negara. Chua menyebut fenomena ini sebagai plutokrasi, yang secara harafiah dapat diterjemahkan dengan “peranan orang kaya” (plutokrat).
    Jeffrey A. Winters (2001) memandang Indonesia belum beranjak dari negara oligarki, walaupun proses kemunculannya berbeda dengan fenomena terjadinya oligarki di masa Orde Baru. Oligarki adalah sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan  untuk mengontrol kehidupan ekonomi dan politik.  Oligarki muncul sebagai akibat adanya stratifikasi kekayaan. Di masa Orde Baru, menurut Winters, fenomena stratifikasi kekayaan muncul secara kentara sejak Soeharto berkuasa, yakni ketika dia membagikan kesempatan usaha dan investasi kepada sekelompok pengusaha tetentu.
     Winters melihat bahwa di masa demokrasi muncul bentuk baru oligarki, yakni oligarki kekuasaan yang tidak tunduk kepada sistem hukum dan menyebabkan terjadinya berbagai tindak korupsi. Sebagai akibatnya, di satu sisi Indonesia menjadi negara paling demokratis, namun di sisi lain menjadi salah satu negara paling korup di dunia.
Paulus Wirutomo (2000) juga melihat bahwa demokratisasi tidak berjalan seiring dengan penegakkan hukum. Rasa keadilan masyarakat telah dikecewakan oleh berbagai keputusan pengadilan yang cenderung berpihak kepada para pemilik kekayaan atau modal. Dalam situasi ini, supremasi hukum praktis diartikan sebagai subordinasi masyarakat terhadap hukum (Wirutomo, 2000)
    Karena demokrasi dan desentralisasi membutuhkan biaya, maka menurut sosiolog Singapura Vedi R Hadiz (2007) akitivitas partai juga dijalankan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi untuk memobilisasi massa. Selanjutnya, kepentingan kekuasaan yang bertemu dengan pertimbangan ekonomi, membawa dampak meluasnya korupsi, kekerasan, merebaknya money politics, dan munculnya politik gangster. Hal ini dikarenakan konstituen partai belum memiliki kemampuan dan kesadaran membiayai partai.
      Dengan sudut pandang krimonologi, Muhammad Mustopa (2010:vii), menilai bahwa Indonesia di masa reformasi bergerak ke arah negara kleptokrasi. Suatu negara kleptokrasi dicirikan antara lain oleh adanya tingkat korupsi yang tinggi di kalangan birokrasi pemerintahan (eksekutif), birokrasi legislatif, dan birokrasi yudikatif.
Menurut Michael Johnston (2000:4), dalam situasi seperti itu yang menjadi penguasa adalah kekuatan pasar gelap, mafioso, ekonomi kartel, sistem klientelisme, bahkan tentara pribadi. Manakala ekonomi pasar bebas dicanangkan, yang tumbuh justru sektor-sektor illegal. Sebaliknya sektor legal justru sulit berkembang.
     Jonhston menyimpulkan bahwa menggejalanya korupsi si suatu negara, menunjukkan lemahnya institusi-institusi negara, lembaga-lembaga demokrasi, dan partisipasi pasar. Dengan kata lain, institusi negara yang lemah akan menyuburkan korupsi. Sebaliknya, korupsi akan memperlemah institusi negara, lembaga-lembaga politik, dan persaingan ekonomi secara sehat.
     Permasalahan yang diajukan dalam disertasi ini adalah kemunculan pola baru jaringan sosial kejahatan korporasi di Indonesia. Bila di masa Orde Baru jaringan kejahatan tersentralisasi pada kekuasaan oligarki Soeharto (George Junus Aditjondro, 2006:4) sebagai aktor utamanya, kini jaringan kejahatan korporasi melibatkan berbagai aktor dari lingkungan kekuasaan yang telah terdesentralisasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, baik di lembaga negara maupun lembaga-lembaga politik, bahkan lembaga-lembaga civil society seperti media massa.

BHAKTI INVESTAMA DAN TUDUHAN KEJAHATAN KORPORASI

  • Oleh : Syamsul Mahmuddin NO. 09 TAHUN XXI/18 - 24 JUNI 2012
  • Bhakti Investama beberapa kali dicurigai melakukan kejahatan korporasi. Pasalnya, tak mungkin praktik tak elok perusahaan itu bisa mulus bertahun-tahun tanpa ada upaya sistematis dari pengurus korporasi melakukan perbuatan melawan hukum untuk kepentingan korporasi.

    Rabu, 27 Juli 2011. Puluhan demonstran yang menamakan diri Gerakan Nasional Anti Korupsi (Gernas) mendatangi Gedung Media Nusantara Citra (MNC) yang terletak di Jalan Kebun Sirih, Jakarta Pusat. Mereka mengusung poster yang mengundang tawa. Gambar bos besar MNC, Hary Tanoesoedibjo, dengan pakaian seksi. Dalam gambar itu ia hanya memakai celana kolor dan penutup dada.

    Massa Gernas dalam aksi itu membeberkan dosa-dosa Hary Tanoesoedibjo yang telah melakukan manipulasi pajak sejak tahun 2001 hingga 2009. Dimana menurut Gernas, Hary Tanoesoedibjo sengaja merekayasa laporan keuangan PT Bhakti Investama ke publik. Divestasi Bhakti Investama sebesar Rp 4,7 triliun dalam laporan tertuang hanya Rp 2,2 triliun. Akibat pengecilan laporan tersebut, negara tak bisa menarik pajak dari Bhakti Investama sebesar Rp 86,6 miliar.

    Rekayasa laporan keuangan seperti itu tentu tak bisa mulus tanpa dukungan oknum penyelenggara negara. Bila berpedoman pada adagium tak ada makan siang gratis, maka dukungan itu tentunya harus menggunakan uang suap setiap kali Bhakti Investama diperiksa kewajibannya oleh petugas pajak. Juga suap pada Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Kementerian Keuangan agar penggelapan pajak itu bisa mulus selama 10 tahun.

    Kejahatan yang dilakukan oleh Bhakti Investama itu menurut massa Gernas yang berdemonstrasi saat itu, sebenarnya termasuk sebagai kejahatan korporasi. Pasalnya, tak mungkin kejahatan itu mulus selama 10 tahun tanpa ada upaya sistematis dari pengurus korporasi yang mengatasnamakan Bhakti Investama untuk menyuap penyelenggara negara agar bisa lebih sedikit membayar kewajiban pajak kepada negara.

    Kesimpulan massa Gernas bahwa kasus divestasi itu kejahatan korporasi memang masuk akal bila memang dilakukan dengan cara menyuap penyelenggara negara. Apalagi, bila berpatokan pada pendapat pakar seperti misalnya Sally A Simpson dan Mardjono Reksodiputro. Dimana intinya, pengurus atau pegawai korporasi melakukan suap kepada penyelenggara negara untuk kepentingan korporasi bukan keuntungan pribadi, bisa disebut sebagai kejahatan korporasi.

    Kembali ke kasus Divestasi Bhakti Investama, setelah aksi Gernas banyak LSM melakukan aksi serupa yang mendesak agar Hary Tanoesoedibjo dan Bahkti Investama diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di antaranya, LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang pada Juli 2011 silam sempat melaporkan kasus divestasi tersebut ke Kejagung dan KPK.

    Setelah sempat memanas di ruang publik selama beberapa pekan, aksi Gernas dan MAKI tersebut perlahan mulai dilupakan. Begitu juga dengan kejahatan korporasi yang dituduhkan kepada Bhakti Investama. Persis seperti dugaan kejahatan korporasi yang sempat dialamatkan beberapa pihak kepada Bhakti Investama ketika Kejagung mengusut kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sismibakum) Kementerian Hukum dan HAM pada Juli 2010 silam.

    Saat itu ketika Kejagung mulai membidik Hartono Tanoesoedibjo, banyak pakar berpendapat bahwa kasus Sisminbakum adalah kejahatan korporasi yang dilakukan oleh Bhakti Investama. Alasannya sangat sederhana dan masuk akal. PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) adalah perusahaan yang sengaja dibentuk oleh Bhakti Investama untuk mengelola Sisminbakum di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). 

    Dugaan Bhakti Investama melakukan kejahatan korporasi beranjak dari fakta PT SRD melakukan pungutan paksa dan ilegal saat mengutip biaya akses fee sebesar Rp1,35 juta setiap notaris melakukan pengesahan badan hukum. Pungutan paksa itu terlihat karena publik tak punya pilihan lain karena sistem pengesahan manual sudah ditutup. Sedangkan ilegal karena pungutan paksa itu dilakukan tanpa persetujuan DPR sebagaimana ketentuan undang-undang.

    Nah beranjak dari fakta yang membuat pungutan yang dilakukan PT SRD bisa dikualifisir sebagai pungutan liar atau pungli, banyak pihak berpendapat bahwa pertanggungjawaban hukum atas perbuatan tersebut tak bisa hanya dibebankan kepada Yohannes Waworuntu, Dirut PT SRD ketika mengelola Sisminbakum. Alasannya, pungutan yang dilakukan PT SRD adalah pungutan yang dilakukan oleh perusahaan yang secara ilegal menarik pungutan.
    Pakar hukum bisnis, Hotma Timbul, sebagaimana dikutip dari sebuah situs pada Juli 2010 silam dengan tegas menyebut kasus ini sebagai corporate crime. “Tidak masuk akal dari PT SRD hanya direktur utamanya saja yang bersalah. Penyidik semestinya mengecek ke mana sebagian besar aliran dana PT SRD. Dari situ akan ketahuan, siapa yang memakai PT SRD sebagai kedok untuk ‘merampok’ duit rakyat,” ujarnya saat itu.

    Analisis Hotma masuk akal. Apalagi Yohannes sendiri setelah diputuskan Mahkamah Agung (MA) bersalah dan dihukum lima tahun penjara serta membayar kerugian negara sebesar Rp 378 miliar, langsung buka suara siapa sebenarnya otak intelektual di balik PT SRD. Yohannes bahkan menyampaikan banyak dokumen, termasuk ke KPK, yang menempatkan Hartono Tanoesoedibjo dan Hary Tanoesoedibjo yang berperan utama di PT SRD.

    Bukti besarnya peran kakak adik tersebut dalam PT SRD terlihat dari dokumen yang ada dalam berkas perkara salah satu tersangka korupsi Sisminbakum yang sudah berada di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa Hartono Tanoesoedibjo dan Bhakti Asset Management (BAM) adalah pemegang saham PT SRD. Komposisinya, Hartono Tanoesoedibjo menguasai 1 persen saham dan BAM menguasai 99 persen saham.

    BAM adalah unit usaha PT Bhakti Capital Indonesia Tbk, anak perusahaan PT Bhakti Investama Tbk. Selain PT Bhakti Capital, ada dua lagi ‘anak’ Bhakti Investama yakni PT Global Mediacom Tbk yang menaungi MNC dan PT Citra Marga Nusaphala Persada yang mengelola jalan tol. Adapun presiden direktur PT Bhakti Investama adalah Hary Tanoesoedibjo. Bahkan sampai awal Juni 2010 Hary masih tercatat sebagai Komisaris Utama grup Bhakti.

    Yohannes yang pernah diwawancarai FORUM juga mengaku sekedar ‘bumper’ di PT SRD. Selain pengelolaan keuangan PT SRD dikuasai Hartono Tanoesoedibjo, ia juga pegawai Bhakti Investama yang dimutasi ke PT SRD. Bukti mutasi tersebut adalah surat yang dibuat kepala personalia PT SRD, Andreas Murcuanto, tertanggal Mei 2002 yang menyebutkan Yohannes adalah general manager Bhakti Investama yang dimutasi ke PT SRD.
  • Namun sayangnya, upaya Kejagung menyeret Hartono Tanoesoedibjo ke pengadilan akhirnya kandas setelah kejaksaan ragu-ragu meneruskan berkas perkara pengusaha itu ke pengadilan. Tidak lama setelah itu, satu persatu perkara tersangka korupsi Sisminbakum yang sudah diputuskan terbukti korupsi di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, akhirnya di Mahkamah Agung dibebaskan baik di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali (PK).

    Mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham Romli Atmasasmita dan Zulkarnain Yunus, misalnya, setelah dinyatakan terbukti korupsi di pengadilan tingkat pertama dan banding, di tengah pemberkasan perkara korupsi Hartono Tanoesoedibjo tiba-tiba dilepaskan MA dari tuntutan hukum. Begitu juga dengan Yohannes yang sempat diputuskan MA dalam putusan kasasi bersalah, dalam putusan PK malah dibebaskan.
    Ujungnya, seperti diduga, perkara Hartono Tanoesoedibjo bersama perkara mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra dan mantan Ketua Koperasi Pegawai Pengayoman Departeman Kehakiman (KPPDK) Ali Amran Djannah dihentikan penyidikannya oleh Kejagung 31 Mei 2012 silam. Konsekuensinya, Bhakti Investama dan pemiliknya untuk sementara lolos dari kejaran penegak hukum.
  • www.forumkeadilan.com

PENGUMPULAN LOGISTIK POLITIK LEWAT BUMN

Oleh : Syamsul Mahmuddin
FORUM KEADILAN NO. 06 TAHUN XXI/28 MEI - 03 JUNI 2012 
 
  • Dari 151 BUMN hanya satu saja yang untung. Sisanya menggerogoti APBN. Semua BUMN tersebut tidak untung karena disisipi kepentingan pengumpulan logistik parpol dan elit politik..

    Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana ketentuan UU No.19/2003 tentang BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan jenisnya, BUMN ada yang berbentuk persero dengan sedikitnya 51 persen sahamnya dikuasai negara dan berbentuk perusahaan umum yang seluruh modalnya dimiliki negara.

    Menilik data dari Kementerian BUMN, saat ini terdapat 151 BUMN yang terbagi berdasarkan sektor-sektornya. Yakni, sektor aneka industri, asuransi, energi, industri strategis, kawasan industri dan perumahan, kehutanan, konstruksi, logistik dan jasa sertifikasi, pembiayaan, penunjang pertanian, perbankan, percetakan dan penerbitan, perikanan, perkebunan, pertambangan, prasarana angkutan, sarana angkutan dan pariwisata, serta telekomunikasi.

    Data yang dikutip dari Kementerian BUMN, pada akhir tahun 2010, total aset BUMN mencapai Rp2.382,83 triliun. Total aset BUMN itu berarti setara 20,53% dari Gross Domestic Product (GDP) yang pada tahun 2010 nilainya mencapai Rp6.119 triliun. Kendati demikian, tampilan angka tersebut tak seindah di lapangan. Virus korupsi dan politisasi masih merasuk dalam tubuh BUMN. Apalagi menjelang Pemilu 2014.

    “Bayangkan, dari ratusan BUMN tersebut hanya satu BUMN yaitu PT Bank Mandiri, yang menghasilkan untung. Sisanya, hanya menggerogoti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mengapa BUMN-BUMN itu rugi, karena dijadikan sapi perah oleh elit penguasa dan partai pendukungnya,” ujar politisi PDIP, Eva K Sundari, kepada FORUM, Jum’at pekan lalu.

    Banyaknya BUMN rugi menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, beberapa waktu lalu, berawal dari kaderisasi koruptor-koruptor muda di institusi negara dan BUMN. Menurutnya, banyak koruptor muda muncul dari proses regenerasi korupsi tersebut. “Mereka pasti punya planning. Korupsi itu kan struktural dan memerlukan sejumlah unsur sehingga memerlukan sinergi. Karena ada sinergi maka (mereka) juga melakukan program,” kata Busyro.

    Busyro tak asal ngecap. Dalam kurun 2008-2011, KPK telah membuat tujuh pejabat BUMN dihukum karena terlibat kasus korupsi. Kasus pertama, pada 2008, KPK membongkar kasus suap Strategic Business Unit (SBU) II wilayah Jawa Bagian Timur PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Setelah menyeret General Manager PGN wilayah II Jawa Timur, Trijono, KPK menyeret Direktur Utama PT PGN, Washington Mampe Parulian Simanjuntak.

    Saat pembacaan vonis 3,5 tahun terhadap Washington, majelis hakim menyebutkan terungkap fakta bahwa terdakwa meminta para pimpinan proyek (pimpro) menyetor uang untuk biaya operasional, yang diantaranya disetorkan ke DPR. Para pimpinan proyek ini kemudian meminta sejumlah rekanan mengumpulkan uang. Uang dari enam pimpro total Rp2,425 miliar lalu disetorkan kepada anggota Komisi VIII, DPR Hamka Yamdu dan Agusman Effendy.

    Di luar itu, nama BUMN PT Adhi Karya (Persero) Tbk  juga kerap disebutkan oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Menurut Nazaruddin, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum adalah pihak yang memuluskan langkah PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dalam proyek Stadion di Hambalang, Sentul, Bogor senilai Rp1,2 triliun. BUMN pun akhirnya identik dengan politisasi dan korupsi.

    Juga BUMN lain yang juga masuk KPK adalah PT Pertamina (Persero), yaitu, kasus dugaan penerimaan suap Tetraethyl Lead (TEL) tahun 2005 dari PT Innospec oleh pejabat Pertamina. Direktur Pengolahan Pertamina Suroso Atmomartoyo ditetapkan sebagai tersangka. Mantan Dirut Pertamina Ari Hermanto Soemarno pun pernah diperiksa KPK dalam kasus tersebut.

    Tak ada asap tanpa api, begitu pepatah berbunyi. Mencuatnya perilaku korup sejumlah pejabat BUMN diduga terjadi karena adanya muatan kepentingan yang disisipkan dalam tubuh BUMN itu sendiri, sejak pengangkatan para pejabatnya. Setiap pengangkatan direksi sebuah BUMN, ujung-ujungnya adalah untuk keperluan pengumpulan logistic parpol tertentu untuk menghadapi pemilu.

    Sebut saja kasus Megananda Daryono. Pangkat terakhir Megananda, Deputi Menteri BUMN Bidang Industri Primer. Saat pensiun ia diangkat menjadi Direktur Utama Holding BUMN Perkebunan. Pengangkatan Megananda bersandar pada Peraturan Menteri Negara BUMN SK-88/MBU/2012 oleh Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Alasannya, Megananda memiliki pengalaman dalam mengelola industri perkebunan.

    Pembentukan Holding BUMN Perkebunan secara mendadak, dan tampilnya ´tangan kanan´ Dahlan itu, mengundang tanya banyak pihak. Pengangkatan Megananda yang ditopang Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, dan Dipo Alam itu, diduga berkaitan dengan aksi pengumpulan logistik kekuatan politik tertentu untuk menghadapi Pemilu 2014. Oleh karena itu ketentuan usia maksimal direksi 58 tahun pun ditabrak walau Megananda sudah berusia 60 tahun.

    Atau soal Ismed Hasan Putro, yang baru saja menjabat sebagai Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Ismed adalah mantan wartawan Jawa Pos dan pendiri lembaga Masyarakat Profesional Madani (MPM). Ismed yang dulu berkoar-koar soal BUMN jadi bancakan parpol kini belakangan mengaku tak tahu fenomena itu.”Saya gak tahu ya kalau perusahaan BUMN sering menjadi tempat cari uang partai,” ujarnya seperti dikutip sebuah situs berita.

    Motif seperti ini sebenarnya sudah lama menjadi rahasia umum dan seakan-akan sudah menjadi garis nasib semua BUMN mulai sejak pertama kali didirikan sampai sekarang. “Ya, kita tahulah untuk apa seseorang itu ditunjuk sebagai komisaris maupun direksi di sebuah BUMN. Kalau ada kader partai maka BUMN jadi ajang politisasi dan ladang mencari uang untuk kepentingan partai,” ujar Eva.

    Menurut Eva, praktik menjadikan BUMN sebagai sapi perah adalah warisan budaya orde baru yang masih dimanfaatkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang berkuasa dua periode terakhir ini. BUMN bukan lagi digunakan untuk hajat hidup orang banyak, tapi untuk kepentingan partai politik dan kroni-kroni Presiden. “Lihat, staf khusus Presiden SBY seperti Andi Arief dan Julian Pasha oleh SBY diangkat jadi komisaris di BUMN,” ujarnya.

    Nah perilaku SBY yang masih meneruskan tradisi buruk orde baru ini, menurut Eva, justru membuat SBY menjadi tersandera sendiri. Elit-elit politisi pendukungnya kemudian meminta bagian pula. “Bila SBY bisa, mengapa Hatta Rajasa, tidak bisa pula menitipkan orangnya di BUMN, misalnya,” ujar Eva saat ditanya FORUM mengenai dugaan adanya sejumlah tender di Pertamina yang diatur pemenangnya oleh orang titipan Hatta Rajasa.

    Begitu juga dengan partai politik lain yang mendukung SBY. Bila Partai Demokrat bisa menguasai BUMN, mengapa partai koalisi lain tidak. Akibatnya, BUMN-BUMN tersebut dibagi-bagi kepada orang-orang dari parpol anggota koalisi. “Bahasa awamnya, bila Demokrat dapat BUMN mengapa, misalnya, PAN, Golkar atau PPP, tidak dapat pula. Akhirnya yang terjadi adalah konspirasi garong,” jelas Eva lagi.

    Dilanjutkan Eva, untuk menghentikan kebiasaan mempolitisasi dan menjarah BUMN tersebut tergantung kepada integritas presiden. Bila presidennya bisa memberikan contoh baik dan tidak melakukan mallpraktik dalam pengelolaan BUMN, maka kebiasaan itu akan hilang. “Kurang bagus apalagi UU yang kita buat. Namun selalu saja dilanggar karena rendahnya etika dan integritas presiden,” katanya.

    Ini sebabnya, Eva pesimis kebiasaan mallpraktik pengelolaan BUMN ini akan bisa dihentikan dengan mengandalkan partai politik. Alasannya, parpol dan presiden sudah tersandera tindakan mereka sendiri terhadap BUMN menjadi lingkaran setan mallpraktik. “Satu-satunya harapan untuk mengubah ini hanya lah pada kekuatan civil society seperti pers sebagai lembaga penekan,” pungkasnya.